Merefleksikan Hari Buku, Hari Bumi dan Spirit Kartini dari Perspektif Ekoliterasi



Secara berturut-turut dari tanggal 21-23 April tahun ini diperingati Hari Kartini, Hari Bumi Sedunia dan Hari Buku Sedunia. Dari tiga peringatan tersebut, penulis akan membahasnya dalam perspektif yang penting untuk kita refleksikan hari-hari ini yakni isu literasi, lebih spesifik pada ekoliterasi. 

Sebagaimana diketahui bahwa isu perubahan iklim dan degradasi lingkungan saat ini menjadi perhatian global. Dalam berbagai riset dan opini, menyebutkan bahwa aktivitas manusia menjadi faktor yang signifikan mempengaruhi terjadinya perubahan iklim. Salah satu yang menyebabkan karena adanya konversi hutan biodiversitas ke pola pertanian/perkebunan monokultur. Ada pula yang melihat faktor modernisasi yang eksploitatif turut berkonstribusi terhadap kerusakan lingkungan. Lalu, pengetahuan lokal yang selama ini menjadi kearifan dan daya tahan alamiah belum dikuatkan, bahkan seringkali terabaikan.

Sementara bicara literasi dasar dalam hal ini membaca buku, adalah isu yang masih jadi soal fundamen bangsa. Berbagai rilis di media tentang tingkat kegemaran membaca, mengabarkan Indonesia masih ketinggalan dengan negara-negara lain. Berdasarkan hasil PISA 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-71 dari 81 negara untuk kemampuan literasi membaca pada anak usia belajar 15 tahun.

Berkaitan dengan literasi ini, maka penting pula untuk menyiarkan spirit literasi Kartini sebagai momentum kebangsaan. Kartini, seorang perempuan yang berjuang dalam gerakan emansipasi dan membangkitkan peran Perempuan. Kartini percaya pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang penting untuk mengedukasi anak-anak bangsa. Perempuan atau ibu, sebagaimana dalam ungkapan “perempuan adalah madrasah pertama”, menjadi penggerak utama untuk membangun literasi bagi anak sejak dini, sejak dari rumah tangga. 

Dari refleksi singkat ketiga peringatan tersebut, maka secara elaboratif, dapat kita terangkan bahwa dari perspektif ekoliterasi, sesungguhnya peran ibu dan menjadi ‘Kartini’ zaman now begitu urgen dalam merawat bumi dan juga membangkitkan literasi. Relevansi spirit kartini, dijadikan sebagai titik balik untuk memberdayakan perempuan agar tampil memberikan pencerahan lewat gerakan edukatif. Menumbuhkan kesadaran iklim dan lingkungan dalam bingkai pendidikan informal. Hal itu dapat pula dirajut secara simultan oleh kaum perempuan dengan praktik literasi yang mengintegrasikan ekopedagogi, ekoteologis dan ekoliterasi itu sendiri. 

Maka dalam konteks pendidikan untuk kesadaran ekologis menjadi relevan saat ini dalam narasi pembangunan berkelanjutan. Jika dihubungkan dengan konsep meaningful learning, sudah seharusnya tercipta pembelajaran yang bermakna dengan mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Hal ini pula akan berpeluang membawa pada kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. 

Dan berbicara mengenai literasi, bagi penulis, membaca buku masih tetap relevan di samping ketersediaan bacaan digital. Tanpa mendikotomikan hal itu, memang akan lebih baik jika dua format tersebut dipadukan sebagai bahan bacaan. Sebab dengan adanya proses digitalisasi bacaan, setidaknya memperpanjang usia bacaan dan sekaligus solusi atas keseimbangan pemanfaatan bahan dasar buku yakni kertas, yang notabene dihasilkan dari pohon-pohon. 

Dalam berbagai narasi, bumi selama ini diimajinasikan sebagai “suara ibu”, karena sifat alam yang memberi. Menghormati alam dengan merawat keseimbangan ekosistemnya seperti menghormati ibu. Karena itu, seringkali diksi-diksi yang digunakan dipadankan dengan hal feminitas. Meskipun dalam wacana ekofeminisme, banyak mengkritik diksi yang menunjukkan dominasi pesan patriarkis, seperti “alam diperkosa”.

Mengingat kejadian beberapa waktu lalu seperti longsoran dan luapan air dari bukit atau kebun-kebun di Sulsel, misalnya yang terjadi di Enrekang beberapa hari lalu, maka perlu kiranya untuk merenungkan kembali paradigma antroposentris yang selama ini mendominasi. Memang menuju titik keseimbangan antara dua isu yakni ekologi dan ekonomi tidaklah mudah dicapai, namun hal itu harus dipikirkan dan digerakkan, tentu salah satunya dengan inisiatif dari para perempuan literat. Berbagai kelompok strategis seperti PKK, Dharma Wanita, Kelompok Wanita Tani, Bunda Literasi atau Kelompok Bunda lainnya bisa dijadikan medium bagi perempuan untuk menerbitkan literasi yang berbasis lingkungan. Namun dalam memulainya, harus dipantik juga dengan ruang pencerahan dari dan oleh perempuan itu sendiri agar kelak terbit kesadaran deep ecology. 

Dalam beberapa kesempatan, penulis mendapatkan beragam praktik ekoliterasi yang telah digerakkan oleh kaum perempuan di perpustakaan desa yang berbasis inklusi sosial. Mereka mengajak ibu-ibu mengolah limbah plastik agar tidak menjadi sampah lalu merubahnya dengan suatu produk kreatif, membacakan nyaring (read aloud) anak-anak tentang perubahan iklim, sosialisasi pangan organik dan lainnya. Praktik baik dari TBM seperti yang dilakukan oleh Pohon Pustaka di Kabupaten Enrekang dengan program “one book, one tree”, juga menjadi gerakan alternatif untuk mengajak kepedulian terhadap lingkungan. Sebuah program yang mengonversi setiap donasi buku yang masuk di Pohon Pustaka dengan penanaman buku oleh relawan ekoliterasi di kaki gunung Latimojong. 

Peran seperti dapat dimassifkan lagi bila perspektif ekoliterasi ini dapat digaungkan ke dalam berbagai pendekatan, baik dalam tripusat pendidikan, majelis taklim, dan tentunya perumusan program kerja di desa-desa (pemerintah dan masyarakat). Dan jangan lupa, literasi keluarga menjadi ruang penting sebagai inkubator ekoliterasi yang dapat menumbuhkan kesadaran terhadap iklim dan lingkungan.