Kedai Buku Untuk Gelanggang Ilmiah



“Duduk di pasar-pasar itu tertjela,

tetapi ada pula di situ madjelis-madjelis jang berpudji

Maka djanganlah engkau dekati selain pasar kuda,

pasar sendjata dan pasar buku-buku.

Dua jang dimuka adalah alat para pahlawan,

dan jang terachir adalah alat para sastrawan”.

Sadjak di atas saya kutip dari halaman 55 pada buku yang saya sebutkan di bawah.

Ahmad Sjalaby menyebut tempat-tempat belajar sebelum dikenal sekolah di masa Islam, salah satunya adalah kedai-kedai kitab yang dimulai sejak masa Bani Abbasiyah. Ahmad Sjalaby menerangkan:

“Dipasar-pasar itu mereka mendeklamasikan sjair-sjair, mengadakan diskusi-diskusi dan mengutjapkan pidato-pidato. Demikian halnja dengan kedai-kedai tempat mendjual buku-buku. Kedai-kedai ini jang semulanja dibuka untuk urusan perniagaan tak urung telah mendjadi gelanggang ketcerdasan dan seminar keilmuan”.

Buku yang saya baca Sedjarah Pendidikan Islam karya Prof. Dr. Ahmad Sjalaby untuk kebutuhan penelitian, ternyata menyalakan imajinasi dan asa bagi saya untuk membicarakan tentang peluang membuka suatu kedai buku atau toko buku di Kota tempat saya beraktivitas.

Sudah menjadi pengetahuan pula, bahwa suatu ekosistem, apalagi ekosistem literasi, harus ditunjang dengan keberadaan bisnis atau perniagaan buku. Untuk mereka yang punya keinginan memiliki buku dan merintis perpustakaan pribadi, tak ayal butuh akses ke pasar buku. Sekalipun di suatu kota terdapat perpustakaan yang telah membantu menyediakan akses buku secara cuma-cuma, akan selalu ada anak-anak yang akan minta dibelikan buku, apalagi kalau di sekolah/kampus usdah bikin syarat nyumbang buku sebelum lulus.

Tapi bagi saya, menghadirkan toko buku bukan sekedar memfasilitasi kebutuhan buku saja, tapi menjadi ruang untuk memantik interaksi ilmiah dari para pengunjungnya. Inilah yang dimaksud dalam buku yang saya baca di atas, bahwa kedai kitab berfungsi sebagai gelanggang ilmiah bagi pelajar maupun ulama. Meski iklim itu berlangsung di masa silam, namun praktik itu sebenarnya telah kita temui juga di kota-kota besar di Indonesia. Misalnya saat saya ke Jakarta, ada Toko Buku Patjar Merah, @blooks.store, Post Bookshop di Pasar Santa, tempat-tempat itu setidaknya juga menjadi ruang diskusi.

Dari konsep-konsep itulah, saya punya hasrat yang cukup besar untuk memasuki dunia itu. Mungkin suatu saat jika Tuhan menunjukkan jalannya. Sementara ini, asa itu saya rawat di Kulibuku Maspul dengan sebuah kios (display) untuk buku terbitan.

Tetapi setidaknya bila hal itu sulit dilakukan dalam waktu dekat, maka saya menanti akan segera muncul banyak pengusaha yang mau ikut andil membuka toko buku, terserah bagaimana modelnya. Apakah sepenuhnya mencari untung, yang terpenting akses telah mulai terbuka. Bahkan jika memungkinkan setiap wilayah kecamatan ada toko buku atau lapak buku dalam pasar. Soal yang terakhir itu, memang saya teringat dan berutang memori pada lapak mini yang menjajahkan buku agama dan majalah di Pasar Kabere pada saat saya masih SMP. Karena memori itulah, saya juga merasa optimis. Yah, sekalipun di era pasar online, saya kok optimis pasar buku offline masih akan disambangi.