Selama ini kalau kita menyebut istilah perpustakaan dan membaca, yang terbayang hanyalah soal buku dan tantangan digitalisasi. Padahal perpustakaan lebih dari itu, ia adalah lembaga pengetahuan yang hari ini harus tetap ada, diminta atau tidak, diaspirasikan atau tidak. Coba bayangkan bilang pengetahuan berhenti dilestarikan dan disirkulasikan sejak dulu, apa yang akan terjadi? Apakah kita akan melakukan pembacaan ulang lagi, sementara perkembangan teknologi yang kita nikmati hari ini adalah bagian tak terpisah dari mata rantai pengetahuan?
Sessungguhnya, pertanyaan dasar seperti itu bisa didialogkan bila ada kesediaan secara terbuka untuk mendengarkan narasi mengenai mengapa membaca itu baik. Ditambah tentunya kesabaran mendengarkan, sebab hal ini penting, mengingat bila ada pertemuan, terkadang kita lebih menyiapkan diri pada formalitas tinimbang dialog yang menjadi inti dalam sebuah sosialisasi.
Kerja membangun ekosistem literasi tidak bisa hanya dipandang sebagai kerja struktural, sebab kerja membangun literasi tak lain adalah membangun manusia. Di berbagai desa yang telah dan sedang saya dampingi, agaknya sektor atau bidang pembangunan manusia ini masih dinomor-sekiankan oleh pemangku kepentingan setempat dalam skala prioritas.
Kurangnya komitmen untuk menerangkan sebagai langkah edukatif agar masyarakat paham pentingnya literasi juga kurang disambut. Menanti masyarakat sendiri menyuarakan literasi dan pepustakaan di desanya tanpa memberikan penjelasan mengapa itu semua penting dibangun, ibarat saling menunggu.
Isu literasi ini masih diragukan untuk muncul dalam isu strategis daerah dan desa dalam agenda musyawarah-musyawarah, sementara pusat melalui BAPPENAS telah menjadikannya sebagai bagian dari RPJMN yang lalu pada bidang revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Di sini pula nampak bahwa tidak selalu prioritas nasional bisa delivered ke dareah.
Desa dengan otonomi yang diberikan melalui Dana Desa-nya pun tidak lantas menggerakkan Gerakan Literasi Desa yang telah diluncurkan Kemendes baru-baru ini, apalagi bila nanti tak dikawal dengan optimal oleh pemda.
Hal ini tentunya menjadi otokritik, namun daya yang kita miliki sebagai pustakawan dalam lembaga struktural harus terus dinyalakan dengan beragam strategi advokasi. Sebab kadangkala informasi mengenai program dan gerakan terkait literasi ini di level penentu kebijakan dianggap belum mendesak.
Seringkali bahkan bidang seperti pemberdayaan masyarakat dan perencanaan APBDesa, anggarannya hanya berkisar pada 5% atau paling banter 15%, hanya karena misalnya di sana ada penyertaan modal usaha untuk BUMDEs. Mungkin, Ibarat mendorong usaha agar bisa produktif dan berharap tumbuhnya ekonomi kreatif tanpa menyiapkan kapasitas dan pengetahuan manusianya, adalah penantian panjang.
Menyuarakan penyiapan generasi masa depan tidak bisa hanya bertumpu pada pendidikan formal, karena itu gerakan masyarakat yang peduli terhahap pendidikan nonformal dan literasi juga harus dihadirkan. Dan saya kira komunitas literasi dan gerakan pustaka lainnya bisa ambil bagian itu, menjadi kekuatan awal yang bergerak secara kultural.
Bagi saya pribadi, gerakan pustaka ini memang penting dinyalakan di tengah pembangunan desa. Tentunya modal utama gerakan ini ialah bagaimana membangun kolaborasi lintas komunitas agar mau merelakan waktunya untuk terjun ke lapangan. Mekipun tantangan di depan sana pastinya akan menjadi ujian bagi komitmen, namun semua ini harus dimulai dari tekad.
Dari pengalaman pribadi, semangat berliterasi yang tumbuh saat mahasiswa, menjadi harapan besar agar para mahasiswa yang ada di Enrekang juga turut serta dalam gerakan ini. Dengan spirit muda yang penuh rasa pengabdian, harapannya gerakan pustaka ini dapat lebih menyala! Ayo pantik “api perjuangan”, dan nyalakan gerakan pustaka.