Transformasi Perpustakaan dan Perubahan Iklim: Praktik Baik dari Perpusdes dan Pojok Baca



Saat kegiatan Pra Event Pembelajaran Sebaya Nasional/Peer Learning Meeting Nasional, saya diminta untuk menjadi fasilitator Kelas BerGiSI (Berbagi, Seru & Inspiratif). Terdapat 10 topik yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut, dan saya sendiri masuk di topik 10 yang mengangkat topik “Dari Buku ke Aksi Lingkungan: Membangun Kesadaran Iklim Lewat Perpustakaan”. Topik ini selaras dengan tema PLM Nasional yaitu “Perpustakaan Membangun Masyarakat yang Berpengetahuan dan Literat dalam Menghadapi Perubahan Global”. Isu Perubahan Iklim ini memang merupakan isu global saat ini.

Saat diberi topik 10 itu, saya merasa antusias karena topik itu memang menjadi salah satu yang saya minati. Hal ini didasari sebab dalam beberapa kesempatan sebelumnya, saya sering membahas mengenai lingkungan atau ekologi lewat tulisan maupun di beberapa kesempatan berdiskusi dengan mahasiswa. Terakhir kali membahas mengenai ekologi, pada saat materi Intermediate Training (Latihan Kader II) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Enrekang pada bulan Agustus 2024. Termasuk beberapa tulisan pendek yang pernah saya tayangkan mengenai ekoliterasi di Kulimaspul.com sebagai catatan kegiatan Kemah Pustaka, yang juga sebenarnya mengangkat topik tersebut.

Dari peran sebagai fasilitator kelas topik 10 itu, saya sendiri mendapatkan sejumlah insight dari ketiga Narasumber yang berbagi melalui Zoom Kamis, 31 Oktober 2024. Prolog diantarkan oleh Untoro, Konsultan Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Kurang lebih prolog yang disampaikan senada dengan deskripsi dalam publikasi topik tersebut.

“Krisis ekologi perlu menjadi perhatian semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, dan swasta untuk bersama-sama melakukan adaptasi mitigasi iklim, termasuk perpustakaan sebagai pusat layanan informasi di masyarakat. Bagaimana perpustakaan dapat mendorong kesadaran iklim di masyarakat dan mendorong kebijakan lingkungan yang inklusif? Bisakah perpustakaan berperan memperkuat ketangguhan masyarakat yang rentan terdampak krisis iklim?”

Setelah prolog, saya selanjutnya memulai dengan memberi pengantar singkat, bahwa saat ini dampak perubahan iklim ini perlu segera kita hadapi dengan membangun kesadaran iklim lewat peran perpustakaan sebagai penyedia layanan informasi. Hal itu dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran perpustakaan dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan terkait upaya membangun kesadaran iklim. Seperti yang telah dilakukan secara nyata oleh Perpustakaan Desa Cerdas, Desa Paras Kabupaten Ngawi dan TBM Pojok Baca DWP BMKG Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh Melawi. Keduanya telah mengimplementasikan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial dengan beragam kegiatan pelibatan masyarakat. Salah satu kegiatan yang banyak difasilitasi yaiut edukasi sadar iklim dan pelatihan terkait pemanfataan sampah.

Di Perpusdes Cerdas Desa Paras, upaya dalam mengatasi perubahan iklim dilakukan dengan membuat program “Gerakan Cintai Bumi”. Pengelola Perpusdesa, Yuliana merupakan penggerak utama program tersebut. Ia menjelaskan kepada para peserta zoom yang hadir sekitar 150-an, bahwa program yang ia bangun itu menitikberatkan pada upaya mengurangi pengunaan plastik, mendaul ulang menjadi barang bernilai guna, mendorong produk ramah linkungan seperti ecoprint, mengurangi pengunaan bahan kimia, serta pengelolaan limbah secara tepat.

Dari upaya itulah, Yuliana kemudian membuatkan pelatihan-pelatihan dengan melibatkan masyarakat yang memang teridentifikasi mengalami persoalan terkait. Contoh pelatihan yang sudah dilakukan yaitu Pelatihan Ecoprinting, Pelatihan Membuat Lilin Aromatherapi dari Minyak Jelantah, Pelatihan Sabun Cuci Ramah Lingkungan, Pelatihan Aneka Bunga Hias dari Sampah Plastik dan kegiatan lainnya. Selain melakukan daur ulang, tentunya hasil pelatihan tersebut berguna untuk keseharian masyarakat, bahkan menghasilkan ekonomi baru.

Sementara di Pojok Baca DWP BMKG Statsiun Meteorologi, Indah Fitriyani selaku penggerak TBM juga tak kalah antusias membagikan pengalamannya dalam memfasilitasi kegiatan terkait edukasi membangun kesadaran terkait perubahan iklim. Hal yang menarik, TBM ini bergerak sebagai bagian dari upaya untuk mendukung tupoksi dari Badan Meteorologi. Karena itu, sejumlah kelas-kelas yang dilakukan sejalan dengan lembaga yang menaungi, seperti kelas berkebun untuk perubahan iklim bagi anak-anak SD, Kelas Edukasi Daur Ulang Minyak Jelantah menjadi Aroma Lilin, Kelas Membaca Nyaringdan Kelas Bootcamp Cuaca dan Perubahan Iklim.

Selain mengadakan kegiatan di TBM sendiri, Indah Fitriyani juga memiliki program yang menyasar di berbagai sekolah yang ada di sekitar dengan menggandeng relawan dari berbagai profesi. Tujuan untama mereka mengadakan program Goes To School dan Melawi Mengabdi ialah memberikan edukasi mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim kepada pendidik dan peserta didik.

Dari dua praktik baik mengenai upaya mereka membangun kesadaran lingkungan, dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Indah di TBM lebih berfokus pada edukasi, sementara pada Perpusdes Desa Paras, Yuliana memandu aksi nyata kepada masyarakat dengan memanfaatkan sampah untuk menjadi produk baru dan ramah lingkungan. Hal itu juga menandakan bahwa informasi dari buku dapat menjadi inspirasi untuk melakukan aksi lingkungan, dari perpustakaan mereka dapat lebih terampil dan menghasilkan nilai baru.

Setelah kedua narasumber perpustakaan menyampaikan praktik baik mereka, selanjutnya Pak Steni selaku narasumber ahli yang mendalami mengenai isu perubahan iklim dan lingkungan diberi kesempatan untuk berbagi gagasan mengenai topik tersebut. Ia memulai dengan penjelasan terkait pemanasan global, penyebab dan dampak perubahan iklim. Hal yang lebih konkret, ia mengusulkan upaya mengatasi perubahan iklim dengan mengubah perilakuk konsumsi makanan. Ia menyebut dengan istilah “strategi makanan” yaitu memilih makanan yang sehat sekaligus makanan yang ramah lingkungan.

Di akhir presentasi, Steni juga menyampaikan gagasan untuk perpustakaan dengan mengajak untuk membuat perpustakaan lapangan atau Taman bacaan yang disatukan dengan taman pertanian organik. Hal ini mengingatkan saya pada kegiatan diskusi Virtual Literacy, di mana Pustaka Kementan menunjukkan salah satu Badan Standarisasi Pertanian yang memiliki perpustakaan dan taman Agro sebagai promosi pertanian lokal.

Selain itu Steni juga mengajak peserta ikut berkampanye mengenai pentingnya makanan yang sehat lingkungan. Termasuk ia mendorong edukasi untuk mencegah maraknya produk makan impor ke kampung-kampung. Karena selain akan menambah sampah plastik kemasan plastik, juga berpotensi mengancam kesehatan.

Dari Kelas BerGISI tersebut, saya pun makin mendapatkan semangat untuk segera melakukan praktik yang sama. Hal baik yang telah dilakukan di dua tempat, menjadi contoh nyata bahwa perpustakaan telah memulai kontribusinya untuk mengatasi perubahan lingkungan. Langkah kecil namun bila terus didenyutkan, terutama melalui perpustakaan, tentunya akan memberikan kontribusi. Saya teringat pula, pasa suatu proyek pembelajaran berjudul “Pustaka Tanggap Bencana”, meskipun mungkin tak banyak yang akan yakin bahwa perpustakaan bisa melakukannya, namun aksi nyatalah yang akan menjawabnya.

Dari diskusi tersebut, saya juga semakin menemukan titik temu dari berbagai isu yang selama ini dibincangkan seperti ekoliterasi dan agroliterasi. Kedua isu ini, saya yakin akan menjadi suatu hal yang makin menyita perhatian, apalagi isu mengenai perubahan iklim ini pada tahun-tahun berikutnya akan menjadi fokus pemerintah.

Hal lain, saya melihat tema dan topik yang dibicarakan mengenai perubahan global ini, juga dibarengi dengan upaya berkelanjutan dalam melakukan perubahan (transformasi) perpustakaan. Dapat dikatakan bahwa untuk mendorong perubahan perilaku melalui kesadaran, haruslah dimulai dari perpustakaan yang transformatif. Dan tentu saja pengelola perpustakan/pustakawan berperan penting dalam menyiapkan perpustakaan transformatif: tetap relevan, dinamis, dan solutif.