Mau membuka pintu untuk membicarakan literasi itu adalah sumber daya. Suatu daya yang dimulai dari keinginan bersama yang akhirnya dipraktikkan, itu lebih baik.
Setelah sekian lama bergiat dalam agenda kerja yang “mengejar” angka, saya kembali merenungkan lagi perihal upaya membangun makna dari suatu aktivitas literasi. Namun memang tidak mudah untuk merajut dan berfokus pada upaya cipta makna. Sebabnya, di satu sisi, saat mendapatkan support program bantuan pemerintah, tentu kita tak dapat lepas dari target kuantitatif sejak dari perencanaannya.
Saya sesungguhnya menyadari, sebagai pekerja di dunia birokrasi, terkadang pola kuantifikasi itu ‘terbawa-bawa’. Apalagi di beberapa program yang turut mengajak insan pustaka lain berpacu dalam kuantitas. Tadinya saya berpikir bisa mengoperasikan cara kerja sendiri melalui komunitas literasi yang saya bentuk lewat Kulibuku Maspul. Agar di ruang itu banyak kedinamisan dan kerangka kerja yang bertumpu pada pemaknaan. Namun, saat mendapat bantuan pemerintah, saya pun akhirnya mengambil posisi yang mungkin “moderat” , setelah memikirkan cukup dalam, mencoba menyintesiskan dua hal: antar upaya pencapaian angka dan makna. Memahami bahwa tanpa kuantitatif memang tak akan muncul kualitatif. Mempertemukan diri dalam sebuah kerja integratif: kerja dalam kerangka pemerintah dan kerja sebagai komunitas. Menautkan kedua dimensi itu dengan spirit untuk menguatkan kapasitas profesi plus penggerak.
Refleksi saya yang lain, saat mempublikasikan program yang akan kami fasilitasi lewat medsos. Ajakan mendaftar yang sifatnya memancing minat dan antusias peserta terhadap program, memang jadi semacam ‘survei’. Hasilnya agak mengecewakan, hingga akhirnya kembali ke solusi administratif. Pada beberapa ruang dan orang yang tadinya saya anggap punya relevansi dan potensi untuk banyak terlibat dalam literasi, pun tampaknya belum ‘terpanggil’. Juga semacam konfirmasi antara antusiasme pada isu literasi ternyata belum tiba pada antusias untuk terlibat. Saya akhirnya memikirkan, bila suatu peristiwa literasi hanya disukseskan sebatas pertemanan atau saling menghormati, mungkin kita tak akan banyak beranjak maju.
Literasi sebagai kerja yang masih perlu didengunkan, juga tak kunjung disambut serius dari para pekerja media di daerah ini. Mereka kelihatannya masih menunggu, tinimbang pro aktif mengabarkan aktivitas literasi. Meskipun kita menyadari bahwa sudah waktunya penggerak literasi pun mampu mengelola media yang punya daya tarik. Itu juga yang sebenarnya ingin dicapai dalam kegiatan semisal lokakarya pengelolaan medsos dan menulis berita bagi komunitas literasi pada Kulibuku Fest bulan oktober 2024 lalu. Apa daya karena unsur yang hadir bukan sepenuhnya yang telah bergerak, namun baru dipantik untuk turut terlibat. Saya menyadari, di tengah arus media online yang lebih mengejar follower, dibutuhkan kemampuan branding dari para penggerak itu sendiri.
Saya mulai memikirkan alternatif, bisakah praktik literasi ini digerakkan dengan tidak lagi berpaku pada nama? Mengapa gerakan tanpa nama? Jawaban sederhananya: berbeda dengan gerakan literasi yang sering dipimpin oleh organisasi formal atau individu terkenal, gerakan ini berjalan secara organik, mungkin melalui inisiatif komunitas yang tidak terstruktur. Tujuan utama dari gerakan ini adalah mengutamakan proses berliterasi sebagai aktivitas alamiah di kalangan masyarakat. Gerakan literasi tanpa nama ini tentunya harus menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif. Mungkinkah?