Di tengah proses dan dinamika konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini, ada satu hal yang patut untuk diwacanakan ke publik. Yakni literasi politik, sebuah topik yang mungkin sunyi dari bahasan namun memiliki sifat yang mendesak. Mengapa hal ini begitu strategis? Sebabnya kita masih berharap besar terhadap hadirnya iklim demokrasi yang subtantif.
Setelah melewati Pemilu, maka saatnya memasuki Pilkada serentak. Tahun 2024 ini memang menjadi tahun yang tepat untuk menggencarkan kampanye literasi politik. Isu ini harusnya sama bergema dengan kampanye pilkada yang berjalan aman dan damai, karena itu juga butuh strategi untuk melakukannya agar sampai di telinga dan pikiran masyarakat. Dalam konteks ini, Kabupaten Enrekang sebagai daerah yang juga turut merasakan pesta demokrasi lokal, perlu menggaungkan kampanye literasi politik.
Salah satu akademisi yang konsen terkait isu literasi politik, Gun Gun Heryanto menyampaikan tujuan dari kampanye literasi politik bagi masyarakat, di antaranya diarahkan untuk memunculkan transformasi pada aspek pengetahuan kognitif yang ditandai dengan pengetahuan warga terhadap isu-isu politik, lalu dari sana terjadi perubahan sikap, hingga terjadi perubahan perilaku. Sampai di sini tentu yang menjadi pertanyaan dasar kita, siapa yang akan menjadi pegiat literasi politik ini, katakanlah di Enrekang?
Jika merujuk pada upaya yang dilakukan untuk menghadirkan literasi politik, setidaknya telah dilakukan sejak dulu, baik melalui pendidikan, diskusi terbuka, publikasi maupun bentuk lain. Dalam buku Strategi Literasi Politik: Sebuah Pendekatan Teoritis dan Praktis yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto dan Kawan-kawan, isu literasi politik sebagai pendidikan demokrasi dapat dilihat perkembangannya melalui beragam penamaan sejak tahun 1957. Nama pendidikan ini berganti sesuai era pemerintahan, misalnya pada orde lama disebut dengan civics, Manipol dan Usdek, Pendidikan Kemasyarakatan, kemudian di era orde baru dengan nama pendidikan kewarganegaraan, PPKn, memasuki era reformasi disebut dari tahun 2000 hingga sekarang dengan pendidikan kewargaan.
Seperti halnya membangun ekosistem literasi dalam arti yang umum, selain melalui pendidikan formal, literasi politik juga penting dihadirkan melalui pendidikan noformal atau gerakan literasi. Lembaga yang terkait langsung dengan urusan kepemiluan tentu saja harus melakukan pendidikan politik. Sementara, dalam bentuk gerakan dapat dilakukan oleh siapa saja, dan terdapat gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan literasi politik. Seperti The Political Literacy Institute yang tujuannya untuk mengajak warga negara peduli pada politik dengan semboyan citizen care political empwerment. Gerakan yang saya sebutkan ini telah menghadirkan pentingnya isu literasi politik melalui gagasan atau buku yang telah saya sebutkan judul bukunya di atas.
Pada buku Strategi Literasi Politik tersebut beragam isu yang dipaparkan, seperti strategi literasi politik di kalangan desa, di media massa dan media sosial, pada partai politik, komunitas keagamaan, kalangan guru sekolah/madrasah, dan kalangan profesional, serta kalangan millenial. Isu-isu yang diangkat tersebut cukup komperhensif dan ditulis dari berbagai peneliti dan akademisi yang memang bernaung dalam gerakan literasi politik.
Tentu beberapa isu yang relevan dengan perhelatan pilkada juga dapat menjadi inspirasi bagi pemerhati demokrasi atau pegiat literasi politik di berbagai daerah untuk mengedarkan kampanye literasi politik tersebut, termasuk di Kabupaten Enrekang. Upaya ini mustinya dapat diperankan dari kalangan akademisi dan kalangan terdidik di Enrekang untuk berkonstribusi dalam literasi politik. Meskipun sudah jadi rahasia umum setiap pilkada, kalangan pendidik (terutama ASN) seringkali mengalami dilema pada konteks netralitas, karena terdapat oknum-oknum yang terlibat secara aktif dalam mengerahkan kandidat. Kenyataan tersebut memang begitu ironis, namun upaya untuk mendorong literasi politik adalah bagian dari upaya membangun kesadaran, bahkan mungkin diawali dari kalangan pendidik itu sendiri. Konstribusi pendidik sebagai kalangan terdidik sangat diharapkan dalam menanamkan nilai-nilai yang terkait demokrasi dan literasi politik kepada peserta didik yang saat ini digolongkan kalangan milenial dan pemilih pemula. Sebagai kalangan yang digugu dan ditiru, profesi mulia di mata masyarakat ini juga harus menunjukkan otonomi, turut ambil bagian dalam penguatan demokrasi.
Hal lain yang menarik, mengenai bahasan gerakan literasi di media massa dan media sosial. Mark Poster (yang dikutip Dedi Fahruddin dan Laras Sekar Seruni pada buku di atas) mengulas cyberdemocracy dan menyatakan bahwa Habermas dengan konsep public sphere-nya (yang mempertemukan di ruang seperti cafe) menjadi terabaikan karena digantikan oleh media massa, baik elektronik, cetak maupun online. Di samping itu, diterangkan pula bahwa kondisi saat ini media massa banyak dikomodifikasi. Seringkali yang muncul di media hanya kalangan yang memiliki kekuatan modal, sehingga publik pun terpapar dengan pilihan yang terbatas. Jarang ada suguhan alternatif yang mencuat dari hasil tangkapan media massa terhadap suara-suara kelompok sipil yang mungkin memiliki tawaran tokoh.
Tentu dari semua upaya untuk menghadirkan literasi politik ini juga bertumpu pada wacana dan gagasan yang disirkulasikan oleh para politisi yang terlibat langsung dalam pilkada. Karena dari sanalah respon terhadapnya memunculkan beragam diskusi dan kajian sebagai praktik literasi politik. Jika misalnya, para kandidat di Enrekang tidak banyak melontarkan gagasan politiknya baik di ruang publik atau media, ataukah hanya menganggap pilkada sebatas perhelatan elite-elite yang tak tersentuh oleh partisipasi publik, maka tak ayal kita masih berada dilevel demokrasi prosedural. Demokrasi partisipatoris hanya akan terbuka sejalan dengan terbukanya ruang dialog antar kandidat, politisi dengan warganya, dan disitu pula literasi politik dapat bergerak.