Menanti Buku dan Penguatan Perpustakaan Sekolah



Tulisan ini telah terbit di Koran Tribun Timur dan dapat dibaca di makassar.tribunnews.com

Beberapa pekan yang lalu kita memperingati hari pendidikan, dan tanggal 17 Mei 2024, kita merayakan Hari Buku Nasional yang bersamaan dengan hari jadi Perpustakaan Nasional RI yang ke-44. Momentum ini bisa dijadikan sebagai refleksi untuk meninjau kembali perhatian terhadap buku dalam konteks Pendidikan dan perpustakaan hari ini.

Hubungan antara pendidikan dengan perpustakaan memang tak dapat lepas dari pembicaraan mengenai perbukuan. Sebab buku adalah media atau sumber belajar yang begitu penting, walau masih dianggap terbatas di tengah meriahnya digitalisasi bacaan. Dari masa ke masa, keberadaan perpustakaan juga dinarasikan sangat krusial dalam keberhasilan pendidikan, namun dari setiap pergantian kurikulum penguatan perpustakaan sekolah agaknya belum juga mendapatkan perhatian khusus.

Ahmad Sjalaby dalam bukunya Sedjarah Pendidikan Islam, memandang perpustakaan adalah suatu cara yang ditempuh oleh pembelajar terdahulu dalam menyiarkan ilmu pengetahuan. Bahkan dikatakan mendirikan perpustakaan merupakan suatu hal yang musti bagi yang ingin memberi pelajaran dan menyiarkan ilmu. Berangkat dari sejarah lembaga pendidikan Islam seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Universitas Darul Hikmat di Kairo, perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam pada masa itu juga menjalankan fungsi pendidikan di samping fungsinya sebagai perpustakaan. Ahmad Sjalaby mempertegas dengan mengatakan seorang yang menulis tentang pendidikan Islam tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang perpustakaan.

Sementara bila melirik yang terjadi di sekolah/madrasah berdasarkan pantauan penulis, malah terdapat sekolah yang perpustakaannya tidak terurus, kalau tidak ingin dikatakan hanya sebagai pelengkap sarana pendidikan. Belum lagi, fenomena pengelolaan perpustakaan di daerah, khususnya yang berada pada level sekolah dasar dan menengah, tampak masih didominasi dengan koleksi buku teks pelajaran. Pada waktu tertentu, koleksi perpustakaan jadi kelihatan berkurang, karena buku-buku paket dipinjam untuk kegiatan pembelajaran satu semester. Maka terkesan perpustakaan hanya dijadikan penitipan buku teks.

Pada kebijakan Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu Untuk Literasi Indonesia, mulai mendorong ketersediaan buku melalui pengiriman 15 Juta eksmplar buku bacaan untuk jenjang PAUD dan SD dengan menyasar daerah 3T. Selain itu, penerima manfaat program itu diberikan pelatihan untuk memanfaatkan buku dengan melibatkan guru dan pustakawan sekolah. Namun karena program ini baru dimulai 2 tahun lalu, tentunya masih banyak perpustakaan yang ada di Indonesia yang belum menjadi lokus program, termasuk di Sulsel. Selama ini, dana BOS menjadi harapan para pustakawan dapat mengembangkan buku yang beragam sesuai minat anak juga ternyata belum mampu memperkaya koleksi perpustakaan. Kekurangan buku non-teks yang penuh dengan ilustrasi ini berefek pada gairah peserta didik ke perpustakaan, maka alih-alih tumbuh kesenangan membaca di perpustakaan. Akhirnya, perpustakaan tidak berfungsi menjadi tempat rekreasi dengan bacaan yang variatif dan menumbuhkan imajinatif.

Hal ini juga tidak diiringi dengan meriahnya toko buku di daerah-daerah yang bisa memicu tumbuhnya kecintaan buku pada anak-anak sekolah. Asumsinya, dengan daya beli buku sebagai investasi gemar membaca, anak dan orang tua bisa diajak secara pelan-pelan membuat perpustakaan keluarga sebagai sarana interaksi pendidikan informal. Selama ini buku dianggap langka di pasaran, kios atau toko modern, sementara ketika pelajar mulai tumbuh minat memiliki koleksi buku secara pribadi, hal itu tidak disambut dengan keterjangkauan toko buku.

Meskipun sudah banyak bertransformasi ke toko buku online, namun ongkos kirimnya menjadi hambatan yang nyata. Sebab itu penting juga memikirkan bagaimana keterjangkauan toko buku ini bagi masyarakat, di samping ketersediaan perpustakaan. Jika mungkin, pemerintah di daerah bisa membantu munculnya para usahawan buku agar dapat mempengaruhi ekosistem perbukuan. Selama ini, banyak sekolah yang ingin menambah buku hanya dengan menunggu bantuan, sementara buku yang diterimanya kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena itu hadirnya toko buku bisa menjembatani antara kebutuhan bacaan dengan pengadaan koleksi yang relevan dengan minat anak-anak.

Di samping itu, keterbatasan buku cetak ini harusnya juga disiasati dengan menyediakan komputer atau tablet di perpustakaan sekolah/madrasah sebagai akses ke bacaan digital melalui beragam aplikasi, misalnya melalui website buku.kemendikbud.go.id, budi.kemendikbud.go.id, atau aplikasi Ipusnas dan Bintang Pusnas. Jika diamati, masih banyak perpustakaan sekolah di tingkat dasar dan menengah yang belum memiliki komputer layanan membaca, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti menjalankan sistem otomasi pun belum difasilitasi oleh sekolah. Karena itu dibutuhkan komitmen pengembangan perpustakaan sekolah jika ingin mengintegrasikan pembelajaran multiliterasi dari para pendidik dengan keberadaan bacaan berbasis multimedia di perpustakaan.

Pemanfaatan perpustakaan juga tentunya sangat bergantung dari pandangan dan komitmen kepala sekolah guru terhadap keberadaan perpustakaan. Guru harus bisa memicu bagaimana timbul daya baca peserta didik melalui perpustakaan, hingga terjadi proses belajar secara mandiri. Ahmad Baidhowi dalam opininya di Media Indonesia mengenai “Guru dan Absurditas Buku Teks”, mengatakan bahwa penggunaan buku teks oleh guru selama ini tidak diawali dengan analisis mendalam melalui review buku. Ia pun mengusulkan agar dalam pelatihan guru atau calon guru dilatihkan kemampuan review buku. Hal yang sama juga diharapkan oleh Tati Wardi, bahwa calon guru musti memiliki pengetahuan yang baik melalui beragam buku, karena menurutnya guru adalah sosok yang sentral dalam pendidikan literasi. Dengan begitu, guru pembaca akan menjadikan buku sebagai bagian penting dalam proses pendidikan, terutama dalam memastikan hal itu dapat tersedia di perpustakaan melalui kolaborasi pustakawan.

Untuk itu, memadukan ketersediaan buku cetak dan buku digital di perpustakaan sekolah merupakan hal yang vital dan mendesak dalam mendukung peningkatan literasi di Indonesia. Skor PISA yang selama ini menempatkan Indonesia di posisi kurang baik dalam soal literasi membaca, sudah saatnya direspon dengan merevitalisasi perpustakaan agar berfungsi sebagai episentrum berliterasi. Peningkatan literasi di sekolah ini harus dikuatkan eksositemnya, dari peran SDM dan sarana prasarana, dan pembelajaran/program yang terintegrasi dengan perpustakaan.