Bisakah Perpustakaan Umum Memfasilitasi Bedah Gagasan Para Caleg?



Satu persatu perguruan tinggi saat ini sedang mengabarkan kegelisahannya terhadap situasi demokrasi terkini. Mereka bilang kampus adalah balancing power. Dari sana, kampus menegaskan kebebasan akademiknya dengan menyuarakan kritiknya secara otonom. Walaupun beberapa tahun belakangan, intervensi pemerintah melalui pemilihan rektor di PTN menjadi persoalan. Dan kini, ada semacam keberanian kolektif untuk menunjukkan gerakan moral, bahwa kampus adalah mata air.

Jika kampus memiliki keistimewaan itu, lalu bagaimana dengan perpustakaan umum yang sering diibaratkan dengan “universitas rakyat”? Selain koleksi bukunya yang tak mengenal pembatasan konten, bisakah perpustakaan umum menjadi ruang yang bebas memfasilitasi diskusi apa saja, misalnya membedah gagasan para caleg?

Sering pula dilontarkan, dengan merujuk UNESCO bahwa perpustakaan adalah benteng terakhir demokrasi. Sebaliknya sering didengar demokrasi membutuhkan perpustakaan sebagai ruang publik, semacam harapan Jurgen Habermas. Hal ini juga dikatakan dalam buku “Libraries and Democracy : The Cornerstones of Liberty” yang dieditori Nancy Kranich di bawah ini:

Democracies need libraries. An informed public constitutes the very foundation of a democracy; after all, democracies are about discourse—discourse among the people. If a free society is to survive, it must ensure the preservation of its records and provide free and open access to this information to all its citizens. It must ensure that citizens have the resources to develop the information literacy skills necessary to participate in the democratic process. It must allow unfettered dialogue and guarantee freedom of expression. Libraries deepen the foundation of democracy in our communities.

Maka, agak ambigu, bila ingin membangun demokrasi tanpa perpustakaan, minim ruang literasi. Urgensi perpustakaan umum ini, bukan semata ruang yang paling demokratis untuk belajar, tapi juga harusnya ruang berdialog yang demokratis.

Mengutip “Manifesto Perpustakaan Umum 2022: IFLA – UNESCO”, Suharyanto Mallawa menerangkan bahwa:

“Perpustakaan umum sebagai  pusat informasi lokal, menyediakan berbagai macam pengetahuan dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat setempat dan terus beradaptasi dengan cara-cara baru. Perpustakaan umum juga merupakan ruang terbuka bagi semua orang yang dapat diakses oleh masyarakat  untuk berkarya menghasilkan pengetahuan, berbagi dan bertukar informasi dan budaya  dan promosi yang melibatkan masyarakat.”

Perpustakaan direpresentasikan sebagai ruang yang memenuhi rasa keadilan terhadap akses informasi. Di mana segenap pemikiran dan gagasan disirkulasikan untuk menjadi pandu. Karenanya perpustakaan tidak boleh diam dengan alasan kesibukan teknisnya, tapi ia membukakan jalan bagi masyarakat mengenal isu terhangat dan subyek yang dibicarakan. Anggaplah seorang petani ingin mengetahui siapa sosok yang sering ia lihat tampil di spanduk saat berjalan menuju kebunnya. Di saat yang sama sebenarnya sedang membutuhkan informasi. Karena itu saat orang diperhadapkan pada menemukan alasan untuk menentukan sikap politik atau preferensi, tak ayal perpustakaan dapat memfasilitasi kegiatan-kegiatan literasi politik.

Demikian pula saat memberikan kebebasan bagi pembaca untuk memperoleh buku sesuai yang dikehendaki di perpustakaan, selayaknya pula bila ada upaya untuk merespon hajatan pemilu dengan memberi ruang pendidikan politik. Peran katalisator ini pada akhirnya melampaui peran fasilitator, sebab tidaklah sekedar mendesainnya sebagai ruang publik saja.

Berikutnya, bila perpustakaan umum tak memiliki buku-buku atau akses informasi mengenai profil dan gagasan dari calon legalislator, maka salah satu inisiatif yang dapat dibuat ialah menyediakan ruang untuk mengenal gagasan dan menakar visinya. Hal ini bagi kalangan tertentu, terutama mereka yang memandang perpustakaan umum dari aspek birokrasi, agaknya kurang setuju. Meskipun bukan berarti undangan kepada Caleg ke perpustakaan umum dalam rangka memfasilitasi kampanye, melainkan untuk menyediakan ruang bagi komunitas atau non-goverment melakukan dialog publik secara langsung.

Dibawa ke ranah pengawasan pemilu, jika pepustakaan umum dilihat sebagai fasilitas pemerintah atau gedung kantor maka besar dugaan responnya akan dianggap ‘sensitif’, karena khawatir melanggar, sebagaimana disebutkan dalam pasal 280 ayat 1 h UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Walaupun sebenarnya KPU telah menerbitkan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum, di mana KPU membolehkan bila mendapat izin dari penanggungjawab tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah, dengan syarat tanpa menggunakan atribut kampanye. Ditambah dengan memberitahu KPU dan tembusan ke Bawaslu mengenai pelaksanaan kegiatannya.

Hal tersebut bisa dibaca dalam berita pada website KPU berjudul Kampanye Boleh Dilakukan Di Tempat Pendidikan Atas Izin Penanggung Jawab Perguruan Tinggi.

“Pada dasarnya kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah adalah dilarang, kecuali atas izin penanggung jawab tempat pendidikan, fasilitas pemerintah, tanpa menggunakan atribut kampanye. Maka adalah mutlak dilarang sama sekali adalah tempat ibadah,” kata Hasyim.

Paradigma itu wajar sebab perpustakaan umum di Indonesia dikelola sebagai bagian dari kelembagaan pemerintah. Bahkan terkadang sulit untuk dibedakan antara kerja kedinasan dengan kerja kebudayaan. Kesannya, antara dinas perpustakaan dan perpustakaan umum adalah kesatuan yang birokratis. Tentu ini masih debatable.

Maka, alih-alih perpustakaan umum secara kelembagaan berani melampaui tugas normatifnya, para pustakawan pun kadangkala tidak mau (dan mampu) menemu-kenali makna dari profesinya. Bagi saya, pustakawan dalam analogi: “dosen” universitas rakyat ini, juga memiliki tantangan untuk mentransformasikan gagasannya mengenai perpustakaan umum. Namun semua ini adalah pilihan, apakah pustakawan hanya berpacu pada beban kerja teknis yang selama ini sering dikeluhkan, atau out of the ‘books’-nya. Untuk menjadi aktivis sosial-budaya seperti yang dibilangkan oleh Putu Laxman Pendit. Jika begitu, maka pustakawan harus mulai mengedarkan narasi demi merubah paradigma para outsider memandang eksistensi perputakaan umum, termasuk insider terhadap kediriannya.

Enrekang, 3 Februari 2023