Seperti Dokter dengan Kliniknya, Pustakawan dengan Microlibrary-nya



Setelah 4 tahun jadi pegawai dan melihat kondisi perbukuan di kabupaten Enrekang, di mana tidak adanya penerbit beserta toko buku yang memadai, saya pun menunaikan tekad untuk mengisi kekosongan itu. Dengan cara yang paling sederhana, saya memulainya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan yang terserak dari sejak mahasiswa hingga jadi pustakawan, dari tulisan yang terbit di Koran dan Blog pribadi. Akhirnya pada Maret 2019, buku Agroliterasi dicetak sebagai tanda penerbit siap mengudara. Di atas akta notaris, jadilah CV Kulibuku Enrekang.

Bersama dengan adik Ilham MR yang saat itu sedang berkuliah di Yogya dan memimpin LPM Arena UIN Sunan Kalijaga, kami bersepakat untuk mendirikan sebuah penerbitan kecil bernama Kulibuku Maspul. Hingga saat ini, sudah ada 10 judul buku yang diterbitkan. Sebagai penerbit pemula dan mengakomodir penulis pemula dan lokal, tentu masih berjalan begitu pelan. Kami menerbitkan buku sambil mengajak orang mau menulis. Di samping itu, kami juga berusaha mengembangkan diri dan mempelajari dunia perbukuan.

Kulibuku Maspul yang tadinya hadir sebagai penerbit, mulai memperluas unit usaha saat pandemi. Ini digawangi oleh Ilham MR dengan menyuguhkan Kulibuku Cafe di Dusun Botto Lamoro, Desa Karrang. Usaha ini kemudian kehilangan nafas saat Ilham MR memilih masuk pesantren sehabis di wisuda secara online karena dampak Covid-19, untuk mengabdi kepada almamaternya sebagai ustadz Bahasa Arab di Pondok Pesantren Modern Rahmatul Asri Maroangin. Sementara itu, saya sudah menyiapkan ruang baru untuk Kulibuku Maspul, semacam kantor penerbitan sekaligus mewujudkan unit baru bernama Microlibrary. Sejak tahun 2021, hasrat untuk segera membuat ruang microlibrary selalu diulur-ulur oleh kesibukan sana-sini di perpustakaan. Di tambah tentunya modal yang tak menentu. Barulah pada tahun lalu, saya mulai merealisasikan hasil desain ruang depan rumah yang gambarnya tiap malam terpanjang di layar laptop-ketika membukanya.

Sejujurnya, saya pun telah penuh hati untuk menghadirkan toko buku, namun modalnya harus dialihkan ke penataan ruang depan. Saya menundanya sementara waktu, sembari tetap memupuk usaha itu, paling tidak dengan menjual beberapa buku hasil terbitan Kulibuku Maspul yang masih tersedia stoknya. Yang pasti, Kulibuku sedang berupaya bergerak dalam tiga unit yakni penerbit, toko buku, dan microlibrary. Goresan ini paling tidak juga menjadi pengikat janji yang harus ditunaikan. Saya memilih mencoba tiga hal ini bukan semata karena dunia bisnis, tapi ingin merasai bagaimana ekosistem ini bisa berjalan dalam satu kesatuan. Kalaupun nanti jadi besar, saya sudah menaruh arah seperti kewirausahaan sosial yang berbasis pada pengetahuan. Syukur-syukur dari kerja ini bisa menjadi peletak jalan bagi impian lainnya yakni membangun Madrasah yang berbasis perpustakaan dan ekoliterasi. Sebuah impian yang akhir-akhir ini dipengaruhi pustakawan seperti al-Qayrawan yang merangkap sebagai pengajar saat mengelola perpustakaan Madrasah Nizamiyah.

Soal cita-cita tadi yang ingin menghadirkan madrasah, ini tak terlepas dari adanya pemahaman terhadap pentingnya pendidikan, literasi dan kepustakawanan menjadi satu nafas dalam proses pendidikan. Apalagi hingga detik ini, di wilayah adminisitrasi saya bekerja, belum menjumpai satu pun sekolah yang benar-benar menunjukkan perpustakaan sebagai aspek penting dalam memupuk kemandirian belajar yang menyiapkan pembelajar sepanjang hayat. Padahal bila belajar dari sejarah, ada ruang belajar nonformal yang mengandalkan ruang baca/ilmu pengetahuan (katakanlah konsep perpustakaan) sebagai pemantik jadi pendidikan formal. Integrasi ini sudah seharusnya dipraktikkan dengan memulai langkah-langkah kecil, dengan beragam inisiatif. Salah satu langkah itu, dengan menarasikan bahwa ibarat dokter dengan kliniknya, maka pustakawan dengan perpustakaannya (Kulibuku mircrolibrary). Pustakawan sebagai profesi juga musti membuka ruang praktik dan konsultasi berupa ruang diskusi, agar dari sinilah gaung pustakawan kian memberi arti. Sebagai pandu dalam dunia membaca, pengelolaan perpustakaan dan penggerak literasi, sangat wajar bila pustakawan tak boleh melepaskan hidupnya dengan dunia buku di luar jam formal bekerjanya. Maka wajarlah bila dikatakan pula bahwa suatu perpustakaan adalah pustakawannya.

Microlibrary atau perpustakaan mini tak berarti nanti koleksinya hanya sedikit dan tak dikembangkan, mungkin akan terus bertambah. Jika nanti ada perluasan layanan pun juga tak masalah, ada bantuan buku atau apa saja yang mendukung, akan kita jadikan contoh dalam pemanfataannya yang sesuai fungsi dan harapan. Bahkan bila nanti buku yang kami jual tak laku, tak apa buka segel plastik dalam kurun waktu tertentu. Jual buku itu seperti membantu orang memiliki buku dan memudahkan aksesnya, agar mereka tak harus ke Makassar. Syukur-syukur bila pembeli buku Kulibuku akhir buat perpustakaan pribadi juga.

Anyway, Kulibuku mungkin saat ini masih sunyi, tapi semangat untuk menyala akan terus mengiringi. Bismillah.