Merenungi Belajar Untuk (Kualitas) Hidup



Sudah sejak tanggal 3 sebenarnya saya sangat atensi pada sebuah gelaran Sekolah Basis yang diadakan oleh Majalah Basis bekerjasama dengan Periplus, Perkumpulan Strada, Kepustakaan Populer Gramedia, dan Komunitas Utan Kayu. Namun di saat yang bersamaan, sepekan terakhir juga saya mengalami kondisi tubuh yang kurang fit. Batuk, flu, lalu berlanjut sakit kepala membuat saya banyak menghempaskan diri di atas kasur. Tapi beruntung pada tanggal 4 Januari ketika bahasan Sekolah Basis terkait Jurgen Habermas dan Komunikasi, saya sempat mengikuti melalui tautan yang saya peroleh via email pada Youtube. Sementara sehari sebelumnya, saya sudah melewatkan satu sesi yang tak kalah menarik yakni Pierre Bourdieu: Habitus, Kapital Budaya, dan Pendidikan. Lalu saya kembali mengikuti sisanya pada pertemuan ke 6 dan 7, atau 2 sesi akhir dalam Sekolah Basis ini. Dari 7 sesi, hanya 3 yang dapat saya ikuti.

Kabar baiknya, walaupun ada banyak yang mungkin belum sempat pula mengikuti keseluruhan, maka alternatif untuk mendapatkan ‘sekolah’ gratis itu dapat kita nikmati melalui saluran Youtube Majalah Basis. Saat saya menulis di sini pada detik ini, di tab sebelah, saya cek Youtubenya sudah ada dua sesi yang telah terpublis dan segera dapat disaksikan kembali. Rasanya kita beruntung dengan adanya siaran informasi, bisa mengejar pengetahuan yang tadinya sudah finish. Rekaman pengetahuan begini berguna sekali untuk dijadikan bahan belajar kapan saja.

Dari temanya saja, Filsafat Pendidikan: Non Scholae Sed Vitae Discimus (Kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup) sudah membuat saya penasaran dan bergairah. Apalagi saat ini memang sedang antusias mempelajari tentang dunia pendidikan. Sebuah disiplin ilmu yang benar-benar masih baru bagi saya. Dari 7 tema yang disajikan dalam Sekolah Basis ini, juga menghadirkan pembicara yang pakar di bidangnya. Mereka adalah pemikir dan pakar yang selama ini banyak saya jumpai ulasannya baik dalam buku maupun internet. Kembali pada tema sentralnya, memang cukup menyentil juga namun sekaligus membuat saya merenungkan bahwa itulah arti yang seharusnya bisa kita capai.

Hal pertama, agaknya sentilan ini juga akhirnya tertuju pada siapa saja yang menganggap belajar hanya diperoleh saat (ber)sekolah. Namun yang lebih ironi, sesungguhnya bila sekolah tidak lagi menggairahkan manusia belajar. Sebab kadangkala, pada kasus tertentu, bersekolah hanya dimaknai sebagai sebuah capaian administratif, pencantuman gelar. Itu sering tampak secara nyata di hadapan kita. Bayangkan misalnya, seorang lulusan magister masih harus memohon bantuan dibuatkan sebuah karya tulis. Hal seperti ini, mungkin tampak biasa saja, namun dalam iklim yang bersemangat untuk menumbuhkan tradisi berpengetahuan, hal itu justru menyurutkan trust pada lembaga pendidikan tinggi.

Hal kedua, banyak orang ingin belajar dengan suatu pemberian izin dan tugas, khususnya dalam lingkup pemerintah. Bila dibenturkan dengan frasa “merdeka belajar” maka seharusnya untuk terus belajar tak harus menunggu izin dan tugas. Namun istilah yang digunakan dalam dunia birokrasi tersebut, bisa jadi juga disinyalir dari paradigma yang melihat bahwa pekerjaan yang dilakoni oleh pegawai tak memberi banyak kesempatan untuk belajar pada tempat dan waktu formal. Yang ada hanyalah jam bekerja, sementara jam belajar dan sharing hanyalah dilakukan pada kondisi tertentu. Budaya belajar pegawai pun tak mendapatkan porsi yang cukup untuk menyiapkan organisasi pembelajar. Makna belajar akhirnya dapat melekat saat seseorang meminta bersekolah, entah lewat izin ada dapat tugas.

Sebenarnya jika dihayati lebih dalam tentang profesi dalam status ASN, maka dapat sebenarnya ditarik dari makna yang sama, misalnya pustakawan (profesi) sebagai nafas kehidupan. Pada saat makna itu yang tertanam, jadilah pilar yang akan membuat kita terus belajar. Jika dimaknai agak bebas dari tema Sekolah Basis di atas dalam konteks ini, maka saya nyatakan pustakawan (ASN) belajar untuk (kualitas) hidup. Terutama bahwa profesi ini menasbihkan diri pada pembentukan budaya baca (belajar), maka ia tak bisa hidup tanpa menjadi pembelajar.

Belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup, tema yang semakin membuat saya merefleksikan perjalanan panjang bersekolah yang telah saya lalui dan (mungkin) yang akan saya tuntaskan. Ibaratnya, sekolah basis ini memaksa saya untuk menyimak dengan penuh 7 tema yang disuguhkan untuk menarik benang merah dari tema sentral yang diusungnya. Tentu saya belum berpuas diri atau lantas merasa menemukan banyak hal baru tanpa membaca ulasan (diari) dan menonton semuanya.

Eh, juga di pekan yang sama, saya ditodong dengan kabar yang menanyakan perihal status saya bersekolah. Jawaban tak dapat saya berikan untuk segera dapat dipahami alasannya. Namun saya rasa mengambil jeda atau cuti untuk mengambil sikap yang hendaknya kembali saya utarakan bila hal itu balik lagi, paling tidak telah dapat saya siapkan jawabannya setelah (benar-benar) menggali pengetahuan dari Filsafat Pendidikan ala Sekolah Basis ini. Semoga, doakan kita, terus belajar untuk (kualitas) hidup.