Pada setiap konten, ada media yang mewadahi. Media ini merupakan ‘infrastruktur’ yang menjadi ruang untuk menghimpun, mengelola, dan menyebarkan isi. Ibarat manusia, isi itu adalah pikiran dan hati. Maka bicara mengenai literasi sebagai konten maka perpustakaan adalah salah satu medianya. Dalam perpustakaan terdapat berbagai media, berupa kumpulan koleksi bahan pustaka, yang kemudian dilestarikan dalam media besarnya itu. Tak salah bila ada yang memandang perpustakaan tanpa buku (e-book) adalah mustahil. Dan berikutnya, ironi bila sebuah perpustakaan tanpa pustakawan, sama halnya dengan perpustakaan tanpa jiwa. Sama, bila pustakawan tak menghayati profesinya, badannya tanpa jiwa. Tanpa memperhatikan kinerja pustakawan, tanggalkan terlebih dulu pembicaraan mengembangkan perpustakaan. 2023, Siap(a) menghayati?
Dalam konteks perpustakaan, agaknya kalau boleh mengartikan berbeda “Medium is the Message” dari yang dimaksudkan Marshall McLuhan, saya menganggap perpustakaan adalah konten, dan pustakawan sebagai the messenger.
Sentuhan yang pertama dalam soal pengembangan perpustakaan haruslah selalu tentang pemberdayaan subyek, bukan seberapa besar budget untuk menggerakkan subyek bekerja. Agar ketika mereka merasakan mustahil untuk berbuat banyak dengan anggaran yang terbatas, maka jalur penguatnya, atau satu-satunya yang membuat mereka melampaui itu semua adalah sebuah spirit dan nilai. Apakah itu nilai religius dan nilai pengabdian (kerelawanan), mungkin iya, tetapi tidaklah cukup bagi setiap orang yang berbeda prinsip, mungkin hampir sama dengan nilai ideologis yang tertancap sebagai spirit the messenger. 2023, Siap(a) menanamkan spirit apa?
***
Sebuah infrasturktur telah berdiri megah di tengah kota Enrekang. Bersumber dari APBN pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Perpustakaan yang tujuannya untuk mengembangkan layanan perpustakaan umum dalam mempercepat implementasi transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Tahun 2022 pun dirampungkan melalui APBD pemerintah daerah Kabupaten Enrekang. Inilah gedung layanan Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang yang saat ini juga sekaligus jadi kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang. Kalau gedung ini dilihat sebagai kantor dinas, maka mungkin inilah kantor yang terbesar, tetapi bila dikatakan gedung layanan, tentu masih ada rumah sakit (1), kampus (2), kebun raya (3) dan beberapa unit layanan lainnya yang juga sebanding. Yang tampak dari sebuah gedung layanan tersebut ialah nuansa pelayanan (1), demokratis (2) dan riset (3). Ciri dan karakter layanan mustilah terbentuk. 2023, Siap(a) membentuk kultur layanan?
Kalaulah sekarang bicara literasi masih terfokus soal infrastruktur, maka kiranya mulai tanggal 2 Januari 2023 dapat menyiapkan suprastruktur, dan pembangunan suprastruktur ini tidak bisa dengan asal jalan, sebisanya ada peta jalan. Haruslah dibina dan didampingi secara berkelanjutan dengan jaminan operasional sebagai apresiasi pada komitmen. Ketika suprastruktur ini menguat secara konsisten, maka pelan tapi mendekati impact, kabupaten Enrekang dapat menuai manusia-manusia yang berpengetahuan. Namun kerja ini bukanlah hal mudah dan instan, oleh sebab itu dibutuhkan komitmen dan paradigma pembangunan yang komprehensif, bukan semata dalam rangka dan jangka tertentu. Perpustakaan dibawa bekerja dalam satu narasi besar, namun pembawa misinya bisa melakukan banyak strategi untuk tiba di visi yang digariskan. Siap?
***
Di tengah populernya istilah literasi, bagi pekerja di bidang pengelolaan dan sirkulasi pengetahuan macam pustakawan, hendaklah terus memikirkan bagaimana kiranya mendorong urusan ini (betul-betul) menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Literasi sebagai pendorong kemajuan tentu tak dapat mengabaikan peran perpustakaan sebagai sumber pengetahuan. Karena itu, meskipun urusan ini begitu penting namun tak lantas disambut dengan formulasi yang membawa kita bergiat secara konkret dan beroperasi di daerah, sementara telah diketahui dalam dokumen RPJMN 2020-2024, budaya literasi merupakan salah satu prioritas nasional. 2023, siap(a) prioritaskan di daerah?
Dari suara ‘akar rumput’ di daerah tentang pentingnya literasi, saya pikir menjadi afirmasi yang terakumulasi dan direspon menjadi kebijakan pusat. Meskipun di satu sisi diberi otonomi kewenangan daerah, namun urusan ini sesungguhnya telah disadari dengan hadirnya sebuah dinas perpustakaan. Di tambah telah adanya regulasi semacam Peraturan Daerah terkait penyelengaraan perpustakaan dan gerakan literasi. Tinggal bagaimana menguatkan lembaga perpustakaan dengan sumber daya yang dapat memastikan progres pembangunan literasi masyarakat. Sebab komitmen dalam kebijakan biasanya ditentukan dari peraturan, anggaran, dan program yang keberlanjutan.
***
Kalau dicermati, dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten, Enrekang memiliki peluang menyampaikan narasi, aspirasi dan koordinasi dalam pembangunan bidang perpustakaan. Di runut pada level pusat, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi kepada Anggota DPR RI dari dapil Sulsel III (Enrekang) pada Komisi X yang salah satu fungsinya membidangi urusan perpustakaan dan tentunya koordinasi dengan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional RI sendiri telah menunjukkan dukungan konkretnya melalui pembanguan gedung layanan perpustakaan bersama sejumlah perangkat pendukung layanan perpustakaan. Kewenangan keduanya terkait langsung dengan urusan literasi dan perpustakaan, dan tidak menutup mata, dari relasi keduanya yang terhubung langsung secara kekerabatan dengan Kepala Daerah dapat lebih memacu prioritas pembangunan literasi di Kabupaten Enrekang.
Di tingkat provinsi, pun terdapat legislator wakili dapil Enrekang terkait urusan perpustakaan, pada Komisi E DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Legislatif dan eksekutif di kabupaten apalagi, bahkan telah berkonstribusi bagi lahir Perda Inisiatif terkait Penyelengaraan Perpustakaan dan Gerakan Literasi. Yang terakhir, pemerintah daerah telah menggelontorkan APBD untuk lanjutan pembangunan gedung Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang. Dapat dikatakan, bila kekuatan sinergi multistakeholder ini begitu padu ditambah dengan keterlibatan dunia usaha/swasta, lembaga pendidikan dan komunitas penggerak literasi, maka dukungan terhadap pengembangan perpustakaan di Enrekang akan kian luar biasa. Kalaulah mau jadi episentrum pembangunan manusia atau role model pengembangan perpustakaan, rasanya sudah cukup siap menuju ke sana.
Atau, kalau mau “berlomba-lomba dalam kebaikan” pun tak jadi soal. Berlomba mengembangkan perpustakaan dengan kewenangan dan kapasitas masing-masing. Bagi penggerak literasi, keberpihakan dan dukungan konkret terhadap pengembangan literasi dan perpustakaan selalu menjadi penantian. Akhirnya, pada tahun 2023 ini, mari kita tunggu, siap(a)kah prioritaskan literasi?