Membaca Aksin Wijaya Menyingkap Ragam dan Pergeseran Epistemologi Islam



Awal tahun 2022 ini, hasrat memiliki buku baru tetiba muncul. Rasanya sulit untuk mengabaikan toko buku yang satu ini saat melewatinya di sebuah Mall. Begitu saat saya berada di Makassar Mall Ratu Indah pekan lalu berlibur bersama keluarga.

Seperti biasanya, saya masuk melihat buku-buku terbaru, dan banyak sekali buku yang ingin dimiliki. Bila bingun menentukan pilihan lalu ditahan oleh pertimbangan berhemat, maka tak ada cara lain, ambil 1 buku lalu ke kasir melakukan transaksi. Entah nanti uang untuk hal lain tersita, itu jadi urusan belakangan. Padahal jika dipikir sebenarnya untuk apa sih saya membeli buku, sementara saya sendiri bisa mengakses banyak buku di tempat saya bekerja. Belum lagi kan sudah tersedia di perpustakaan digital. Namun hasratlah yang mengalahkan semua itu, juga diam-diam merindukan bau buku baru.

Sebelum lanjut ke ulasan buku yang saya baca tanpa jeda selama 3 hari dan sebutkan judulnya ke sidang pembaca. Eh, 3 hari itu justru saya dibekap oleh demam sepulang dari Makassar. Saya ingin bilang, selamat datang kembali pada diriku di dunia blog. Hehe. Setelah sekian purnama terlewati dan terakhir kalinya menulis pada Mei tahun 2021, akhinya saya menemukan ‘titik’ untuk kembali menulis di blog. Tapi jangan salah, saya masih menulis, akhir-akhir ini saya justru dikondisikan menulis sejumlah makalah yang bahkan harus dijurnalkan, seperti karya yang baru saja terbit ini berjudul Kajian Tematik Ayat-Ayat Mengenai Degradasi, Konservasi, Etika Lingkungan Hidup”. Ets, maaf sekalian promosi yah. 😉

***

Nah inilah buku yang saya baca, judulnya “Satu Islam, Ragam Epistemologi” Karya Aksin Wijaya. Buku yang terbit oktober 2020 ini merupakan tindak lanjut dari proposal penelitian kompetitif kolaboratif yang diadakan Kemenag 2011/2012 yang sedianya akan diikuti oleh Aksin Wijaya bersama rekannya, namun tidak jadi, lalu dimasukkan ke program penelitian kompetitif individual di STAIN Ponorogo pada tahun yang sama.

Pada pengantarnya, Aksin Wijaya mengatakan bahwa bahasan dalam buku ini diambil dari tulisannya pada mata kuliah filsafat ilmu dan pelatihan sekolah epistemologi. Dari kegiatan itu, tulisannya terkumpul dan dibagi dalam dua buku. Buku yang pertama telah terbit pada tahun 2012 dengan judul “Nalar Kritis Epistemologi Islam”, sementara yang kedua, buku yang saya ulas ini. Meskipun saya sendiri belum membaca bukunya yang pertama, suguhan pada buku kedua ini dapat menggambarkan bagaimana tingkat penjelajahan Aksin Wijaya dalam Epistemologi Islam.

Dalam bagian pendahuluan buku ini, Aksin Wijaya membuka dengan kalimat “Islam sebagai agama diyakini tunggal karena ia lahir dari Yang Maha Tunggal. Namun ketika masuk ke dalam ranah pemahaman manusia, Islam tidak lagi tunggal”. Ketika membaca paragraf pertama ini, ada semacam antusias yang langsung muncul dalam diri saya untuk mau menuntaskan ini dengan cepat-cepat. Bukan karena pernyataan tersebut sebagai sesuatu yang diamini, melainkan dalam konteks selaku pembaca, saya terantar untuk mempertanyakan kedirian yang  belum ‘berdiri’ pada mazhab atau afiliasi kelembagaan Islam tertentu. Walaupun secara wilayah atau yang dikatakan oleh Aksin Wijaya dengan istilah Islam Historis yakni yang telah terikat oleh ruang dan waktu, dapat saja orang akan ‘menggolongkan’ pada suatu mazhab atau aliran, misalnya karena saya berada di Enrekang, pernah kuliah di UIN, atau keterkaitan yang lainnya.

Penjelasan keragaman “Islam historis” ini menarik karena munculnya pelbagai aliran itu dilatari oleh epistemologi yang berbeda-beda. Akan menjadi alasan logis bila kemudian belum adanya ikrar pada mazhab atau afiliasi tertentu pada seseorang, karena belum adanya epistemologi yang dipegangi. Boleh jadi seseorang memiliki keterhubungan dengan ormas Islam tertentu, misalnya karena garis keturunan atau karena secara struktural namanya tertera. Namun bila ingin memaknai setiap gerak-gerik kultural dari Islam Historis, baik yang sedang dijalani atau dimasuki, maka proses pencarian epistemologis hendaknya dapat dilakukan. Sementara berbicara tentang bangunan epistemologi maka tak dapat dilepaskan dari basis ilmu pengetahuan. Mengikuti perkataan Aksin Wijaya bahwa pengetahuan tanpa dasar epistemologi akan rapuh dan tak mempunyai karakter, maka identitas seseorang yang berada pada suatu lembaga keagamaan jika tak diikuti dengan dasar tersebut, dirinya tak kelihatan kukuh pada apa yang dimasuki.

Itulah salah satu alasan yang memantik saya untuk mulai membuat daftar bacaan yang hendaknya menjadi jalan reflektif untuk menemukan ‘Islam’ dalam ragam epistemologi yang ada. Dan saya kira paparan yang disuguhkan oleh Aksin Wijaya secara historis dan diikuti dengan peta pergeseran epistemologi membantu untuk menyalakan upaya untuk menemukan kerangka pemahaman yang lebih kontekstual.

Aksin Wijaya mencatat bahwa pergeseran epistemologi Islam dari klasik hingga saat ini didasarkan pada perkembangan revolusioner epistemologi Islam itu sendiri. Pergeseran ini niscaya adanya karena keragaman fokus dan kecendrungan yang berbeda dari setiap pemikir Islam pada bidang keilmuan yang digeluti. Pembacaan mereka antara satu dengan yang lainnya berbeda, sehingga menghasilkan pemahaman dan sudut pandang yang beda pula. Misalnya, Aksin Wijaya membagi dua aliran epistemologi yakni epistemologi yang berbasis pada keyakinan dengan epistemologi yang berbasis pada keraguan. Dari dua aliran dasar inilah yang kemudian diteruskan Aksin Wijaya dengan membahas tokoh-tokoh pemikir epistemolog Islam.

Aksin Wijaya mendasarkan pada nalar epistemologi filsafat Islam yang dilihatnya dari hubungan syariat dan filsafat. Sementara pada alur pembahasannya mengacu pada tiga unsur yakni tentang filsuf (tokoh), pra wacana, dan nalar epistemologi yang berdasar pada tiga hal yakni manusia dan alat pengetahuan, objek pengetahuan dan proses mengetahui.  

Dalam bab 3, dengan penjelasan yang detail mengenai pergeseran nalar epistemologi Islam, pembaca dapat mengetahui bahwa epistomologi Islam pada masa klasik diawali dengan corak epistemologi peripatetik-emanasionis dengan tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina. Ketiganya dikatakan filsuf peripatetik. Dimaksud peripatetik karena mengikuti tradisi Aristoteles yang menetapkan peran akal dalam menangkap kebenaran. Emanasi diartikan sebagai cara berpikir dengan logika menurun. Filsuf muslim peripatetik yang dijadikan sebagai “representasi” nalar epistemologi Islam ini lebih dilihat pada filsafat teortetis-metafisik yang berfokus pada kajian ketuhanan.

Berikutnya, datang sebagai penanggap, Imam Al-Ghazali bergerak pada model epistemologi keraguan sufistik. Nalar tasawuf yang dikembangkan oleh al-Ghazali menyoroti secara kritis filsafat yang dikaji oleh pemikir filsafat sebelumnya. Sosok ilmuwan ini dianggap menghakimi filsafat dalam keilmuan Islam. Imam Al-Ghazali menggunakan keraguan untuk mencari kebenaran yang sejati dan meyakini intuisi sebagai alat untuk menuju ke sana, sementara menganggap indra dan akal tidak dapat melakukannya. “Keraguanlah yang dapat menyampaikan orang pada kebenaran”, katanya. Aksin Wijaya, kemudian memandang Imam Al-Ghazali ini sebagai penganut epistemologi keraguan metodologis.

Masih pada corak filsuf peratetik. Berikutnya, ditampilkan Ibnu Rusyd yang merupakan pelanjut kritis dari filsuf pendahulunya yang bercorak peripatetik-emanasionis-teosentris, tampil berhadapan langsung dengan Al-Ghazali yang dianggapnya sebagai biang keladi jatuhnya filsafat. Filsuf Sunni ini juga dianggap memiliki pandangan bahwa antara agama dan filsafat dapat bertemu dengan damai. Aksin Wijaya menjelaskan Ibnu Rusyd mengedepankan ilmu teoretis pada bidang metafisika dengan nalar epistemologi bersifat teleologis-metafisik. Maksudnya, nalar berpikirnya dari meneliti alam sebagai obyek inderawi yang bersifat spesifik menuju pada Tuhan yang obyek universal. Atau juga dikatakan dari data/realita empiris menuju ide universal.

Selain menjelaskan epistemologi perpatetik teleologis Ibnu Rusy, Aksin Wijaya juga menyuguhkan filsafat ilmunasi (hikmah al-isyraq) Suhrawardi. Dan satu lagi yang dilansir oleh Aksi Wijaya yakni Mulla Sadra dengan filsafat transendetal (hikmah al- muta’aliyyah).

Setelah menjelaskan perbedaan setiap tokoh, Aksin Wijaya menunjukkan pergeseran epistemologi Islam sebagai bentuk revolusi atas keragaman epistemologi Islam.  Namun menurutnya, epistemologi peratetik-emanisionis yang bergeser ke epistemologi skeptis-sufistik, lalu kembali ke peripatetik dengan corak teleologis, kemudian menuju epistemologi ilmuniasi dan ke transendental, ini masih berkisar pada lingkup filsafat teoretis-teosentris.

Pada bab selanjutnya, epistemologi Islam menghadapi tantangan baru manakala terjadi pergumulan antara epistemologi ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu sekuler. Hal ini disinyalir bermula dari adanya pemisahan oleh manusia modern antara sains dan agama, bahkan seringkali dinarasikan bertentangan. Mengutip Aksin Wijaya, ia mengatakan bahwa masuknya sains modern ke dalam Islam (meskipun muslim pernah menjadi pelopor sains) telah menyebabkan lahirnya sekularisme, terutama lambatnya “pergumulan epistemologis”  yang dilakukan oleh para pemikir muslim. Ia menganggap jika ranah epistemologi yang saat ini dikuasai Barat diabaikan, maka akan menjadi lahan bagi Barat melakukan apa yang disebut Ziauddin Sardar dengan “imperialisme epistemologis”.

Di antara tokoh yang dilansir oleh Aksin Wijaya sebagai tokoh yang melakukan pergumulan epistemologis dengan ragam bentuk yakni Mehdi Ha’iri Yazdi dengan epistemologi Ilmuniasi-Empiris, kemudian mengangkat tokoh muslim Nusantara yakni Nurcholish Madjid dengan epistemologi sekularisasi, Naquib Al-Attas dengan epistemologi Islamisasi Ilmu yang kemudian disediakan penjelasan mengenai respon positif dari Ismail Raji Al-Faruqi dan respon kritis Fazlur Rahman terhadap islamisasi pengetahuan. Dan tokoh kelima yang dilansir yakni Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan epistemologi pribumisasi Islam. Aksin Wijaya menyebut corak epistemologi tokoh tersebut sebagai epistemologi Islam Modern.

Bab 5, setelah membahas mengenai pergumulan nalar epistemologi, maka mulai timbulah upaya atau semacam proyek integrasi keilmuan. Hal ini juga mengarah dari epistemologi Islam modern ke epistemologi integralisme yang bersifat praksis-antroposentris. Seiring dengan gencarnya epistemologi islamisasi pengetahuan, bergulir pula upaya dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yakni dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ke Universitas Islam Negeri (UIN). Keinginan untuk membangun integrasi keilmuan berangkat dari kegelisahan mengenai dikotomi yang terjadi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman.

Berkaitan dengan epistemologi integralisme, ada 3 tokoh yang ditampilan Aksin Wijaya yakni Kuntowijoyo dengan gagasan pengilmuan Islam atau Islam sebagai Ilmu, Amin Abdullah dengab jaring laba-laba keilmuan yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Imam Suprayogo dengan pohon keilmuan di UIN Malang.

Pada bab berikutnya, Aksin Wijaya menyimpulkan bahwa epistemologi Islam telah mengalami pergeseran revolusioner dan beragam, hingga ia kemudian membangun titik temu ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu keislaman, kemudian melansir epistemologi Islam kontemporer yakni epistemologi antroposentrisme Islam atau atroposentis-transformatif. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya problem yang kini mengemuka yang perlu direspon dengan praksis.

Aksin mengemukakan “bagaimana menjadikan Islam tidak hanya berbicara pada tataran konsep keilmuan yang bercorak teosentrisme dan teoantroposentrisme dengan semua tolak ukur kebenaran, hal yang lebih penting adalah menjadikan konsep tersebut menukik pada persoalan-persoalan praksis kemanusiaan (bercorak antroposentris) sembari menjadikan semua kebenran itu menyatu sehingga melahirkan teori yang holistik yang mencakup wilayah teoretis-praksis-teoantroposentris”.

Pada bagian akhir, Aksin Wijaya mencatat terdapat beberapa implikasi dari revolusi keragaman epistemologi dan dialektika islam dengan realitas yang telah diterangkan di atas yakni munculnya Islam yang berkaitan dengan doktrin ajarannya dan aliran atau Islam Aliran, yang berkaitan dengan politik atau disebut Islam Politik, kawasan, identitasnya dan pemikiran Islam yang berkaitan dengan fungsinya bagi kehidupan (Islam Nalar).

Revolusi belum usai. Islam yang diyakini bersifat tunggal, pemahamannya akan terus bergeser seiring dengan keragaman pemikiran Islam. Inilah “satu Islam, ragam epistemologi”.

01.01 WITA Karrang, 24/1/2022