Dari Perpusnas, Ke Perpuskab Enrekang



Tepat pada tanggal 17 Mei, diperingati Hari Perpustakaan Nasional yang juga sekaligus merupakan Hari Buku Nasional.  Memasuki usia 41 Tahun, Perpusnas RI tentunya telah menunjukkan transformasinya, di antaranya yang kita saksikan ialah gedung layanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berdiri megah di pusat ibukota dan berlantai 24 di Medan Merdeka Selatan. Gedung ini disebut sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Berbeda dengan yang di Salemba Raya, layanan yang ada di Medan Merdeka Selatan (Marsela) ini dilengkapi dengan sarana yang modern seperti teater, auditorium, ruang data center, galeri, ruang anak dan lansia, ruang berkebutuhan khusus, ruang audio visual, ruang koleksi nusantara, ruang koleksi monograf, ruang koleksi langka, dan banyak lagi lainnya.

Selain sebagai pusat informasi ilmiah bagi masyarakat, Perpusnas Marsela saat ini juga telah banyak dikunjungi oleh masyarakat dalam rangka rekreasi. Letaknya yang berada di pusat kota dan dekat dari Monumen Nasional menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk berwisata-edukatif.

Perkembangan fisik dari Perpusnas ini, juga mulai diikuti oleh berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya bahkan sudah menggunakan APBD-nya untuk membangun gedung layanan Perpustakaan yang juga tak kalah menariknya. Sementara itu, sejak tahun 2019 dukungan APBN untuk pembangunan perpustakaan umum yang representatif di Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dialokasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan Subbidang Perpustakaan Daerah. Salah satu yang mendapatkan DAK ini yakni Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang, yang juga merupakan penerima manfaat dari program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.

Pembangunan gedung baru Layanan Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang yang dikerjakan tahun 2019 kini berdiri megah di Jalan Pancaitana Bungawalie. Gedung berlantai 3 ini  berada di kawasan revitalisasi Sungai Mata Allo yang kini menjadi area wisata dan ikon baru yang ramai dikunjungi masyarakat Enrekang. Tentu letaknya juga berada di kawasan pendidikan mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, Pesantren hingga Universitas, sehingga akan menjadi destinasi edukasi dan wisata yang strategis.

Sama dengan Perpusnas, antara Salemba dan Marsela, kini di Enrekang terdapat dua gedung perpustakaan yakni di Jalan Jenderal Sudirman yang dibangun sejak tahun 2007 dan Jalan Pancaitana Bungawalie. Bila dibedakan secara sederhana, di Salemba itu kini lebih tampak pada layanan administratif dan struktural, sementara di Marsela ialah layanan informasi dan Perpustakaan. Konsep layanan Perpustakaan yang ada di Marsela memang kelihatan sama dengan tujuan pembangunan gedung baru layanan Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang. Di mana setiap lantainya telah didesain secara fungsional-khusus dengan beberapa ruangan seperti di Perpusnas, di antaranya ruang baca anak, audio-visual, berkebutuhan khusus, layanan TIK, dan serbaguna untuk pusat berkegiatan masyarakat. Yang terakhir itu, berada di lantai 3 dengan konsep beranda sebagai tempat rekreasi.  Termasuk telah tersedia ruang kelompok pustakawan dan ruangan khusus kepala. Jika melihat aktivitas layanan yang saat ini berlangsung di Perpusnas Marsela, ekspektasi kita akan layanan perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang kiranya juga bernuansa dan semarak dengan layanan informasi dan pengetahuan tersebut.

Di Marsela, gairah berpengetahuan begitu nyata. Para pemustaka menikmati setiap layanan yang memanjakan mereka dengan fasilitas yang nyaman. Suasananya tak kalah dengan kampus ataupun mimbar akademik yang dihiasi dengan percakapan ilmiah. Hal-hal yang kaku dan kesan birokratis tidak kelihatan sama sekali. Nuansa ini serupa dengan organisasi fungsional lainnya yang fokus dalam layanan fungsional seperti rumah sakit, sekolah, kampus, dan organisasi lainnya (UPT) yang dominan diurus oleh ASN profesionalisme atau pejabat fungsional. Karenanya berkaca pada Marsela, kiranya gedung baru Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang dapat menampilkan gairah yang sama dengan Perpusnas Marsela. Dan yang tak kalah penting, migrasi secara fisik ke Pancaitana Bungawalie ini kiranya diikuti dengan “hijrah” ke budaya organisasi yang berselera pengetahuan dan para tenaganya yang siap bertransformasi mewujudkan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Tanpa hal itu, barangkali layanan kita sekedar bergeser, bahkan mungkin tersembunyi di balik riuh Sungai Mata Allo.

Hal lain, berbeda dengan Perpusnas dari aspek kelembagaan yang memang mengurus perpustakaan, layanan Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang merupakan bagian dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang. Artinya sebagai lembaga struktural maka peran Dispustaka meliputi dua hal yakni perpustakaan dan kearsipan. Karena itu pula, adanya dua gedung saat ini yang dimiliki oleh Dispustaka Enrekang memberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kedua bidang ini. Apalagi memang keberadaan arsip sama pentingnya dengan perpustakaan, sebab itu keduanya butuh fasilitas dan ruang yang representatif. Komitmen tersebut tak lain dari upaya menjadikan kedua layanan ini punya konstribusi dalam kemajuan daerah, dan ini paling tidak ditunjukkan dengan simbol yakni gedung yang representatif.

Optimalisasi gedung Dispustaka (Jalan Jenderal Sudirman) untuk ruang arsip yang memadai merupakan peluang sekaligus tantangan, seiring dengan upaya meyakinkan begitu pentingnya arsip. Dengan berpindahnya perpustakaan ke gedung baru, arsip pun dapat mendesain ruangan yang ditinggalkan untuk melengkapi layanan arsip hingga membuka galeri arsip, diorama, dan portal arsip desa yang menunjukkan identitas lokal. Seperti dengan daerah lainnya, katakanlah Maros dan Barru, mereka telah memiliki gedung tersendiri untuk pengelolaan arsipnya. Semoga dengan begitu, penghargaan sebagai lembaga kearsipan daerah terbaik pada tahun lalu dapat meningkat menjadi yang terbaik.[1] Sudah saatnya pula bila mimpi meraih generasi emas dirajut dari menjaga arsip dan dokumen dengan segenap kesadaran akan pentingnya memori.

Di balik refleksi Perpustakaan Nasional kali ini, apa yang menarik dari perkembangannya saat ini ialah tokoh yang memimpin lembaga ini. Adalah Muh Syarif Bando putra Enrekang yang tak dapat dipungkiri telah banyak berkonstribusi bagi perkembangan perpustakaan di Indonesia, termasuk di Enrekang. Lewat tokoh ini, sebenarnya kita dapat merefleksikan secara internal untuk pengembangan literasi di Enrekang. Pertama, kiprahnya merupakan role model yang dapat diteladani dari aspek manajemen, visi, wawasan, spirit bergerak hingga komunikasi sosialnya. Di berbagai kesempatan, ia merupakan motivator literasi yang selalu bersemangat.  Kedua, adanya ikatan emosional yang kuat dengan Enrekang telah memberikan sumbangsih untuk pengembangan literasi di Enrekang. Dan tak menutup kemungkinan, pengaruhnya (role model, putra daerah) dapat menggairahkan literasi agar menjadi prioritas di Enrekang.

Akhirnya, dengan belajar dari transformasi Perpusnas dan pemimpinnya pada momen milad ini, semoga terpantik sebuah gelora membawa perpustakaan umum untuk senantiasa bertransformasi dan memberikan nilai kebermanfataan bagi masyarakat di Enrekang.


[1] Sehari setelah peringatan Hari Perpustakaan Nasional, insan kearsipan juga akan merayakan Hari Kearsipan.