Hal pertama yang patut dibayangkan saat berkarir sebagai knowledge worker di Enrekang adalah tumbuhnya institusi pengetahuan dan akademik. Tidak hanya karena itu secara internal akan meramaikan upaya memantik kultur berbagi pengetahuan (literasi) di Enrekang, juga oleh paradigma bahwa sebuah wilayah akan hidup dengan percakapan publik yang antusias dan terisi beragam dinamika yang positif bila institusi pengetahuan seperti universitas ‘berdiri’ di tengah masyarakat.
Kalau semula kota ini cenderung dihiasi dengan layanan publik dan administrasi perkantoran, maka hadirnya sebuah universitas akan menambah nuansa kota dengan aktivitas pendidikan, dan tentu sebagai efek sampingnya yang mungkin didambakan adalah terbukanya keran dialog-dialog kritis di ruang publik (yang turut tercipta).
Karenanya, transformasi menjadi Universitas Muhammadiyah Enrekang dari status sebelumnya perlu disambut optimis oleh masyarakat di Bumi Massenrempulu, khususnya para insan pendidikan. Di dalam transformasi ini tersirat pula suatu gengsi, kepercayaan, dan harapan sebagaimana makna yang terpancar pada kata “universitas”. Dengan begitu, kita pun menanti potensi Universitas Muhammadiyah Enrekang akan sama kompetitifnya dengan universitas-universitas di Indonesia.
Menjadi universitas pertama (dan satu-satunya) di Enrekang, prospeknya tidak ditunggu sekedar “gravitasi” dalam diskursus lokal, namun jika memungkinkan terancang kurikulum dan program yang berkorespondensi dengan kondisi lokal-aktual masyarakat. Menawarkan suatu spirit keilmuan dan kemajuan iptek yang menyapa lokalitas dalam pengembangan sumber daya manusia. Dan momen itu, kiranya mampu menstimulasi insan akademik yang tampil sebagai pencipta inovasi dan pengabdi bagi terwujudnya masyarakat yang produktif dan tercerahkan.
***
Apresiasi saya atas peluncuran universitas ini bukan tanpa alasan. Pertama, saya menyadari bahwa insan akademis sangat berkaitan dengan praktik (budaya) literasi. Yang mau tak mau, ketika ingin mendorong literasi, keterlibatannya sebagai subjek sangat diharapkan. Dari berbagai pengalaman pula yang telah kita saksikan di kota-kota besar, mahasiswa maupun dosen adalah penggerak literasi yang begitu menonjol. Dengan kata lain, kampus adalah corong bertumbuhnya gerakan literasi dan relawan-relawan yang mau memikirkan ketersediaan akses literasi (membaca).
Kedua, secara spesifik pada prospek lulusannya, perhatian saya tertuju mulanya pada jurusan pendidikan Non Formal (dulunya Pendidikan Luar Sekolah) yang tidak hanya akan mengasilkan tenaga kerja yang mengisi institusi pendidikan masyarakat (nonformal) yang diselenggarakan pemerintah. Tetapi pada dasarnya memiliki peran strategis dalam menciptakan ruang-ruang berbagi pengetahuan secara nonformal, baik melalui sanggar belajar, PKBM, TBM hingga perpustakaan rakyat. Karena itu alumninya, selain menjadi pamong belajar, fasilitator dikmas, maupun tutor, juga bisa mengabdi selaku penggerak literasi yang partikelir dengan skill/wawasan kewirausahaan kreatif. Prodi (yang tertua) itu, menurut saya begitu relevan untuk menggiatkan literasi kontekstual dalam kultur agraris seperti Enrekang ini. Walaupun konsep literasi kontekstual (serupa agroliterasi maupun ekoliterasi) sesungguhnya dapat diwacanakan ke dalam kajian lintas disiplin mahasiswa pada prodi Agroteknologi dan Biokewirausahaan karena selaras dalam visi pembangunan kultur agraris (agropolitan).
Demikian halnya yang terbaru adalah adanya prodi yang secara akrab disebut Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi. Kehadiran prodi ini terbilang potensial untuk membangun perpustakaan di Enrekang, apalagi bila lulusan diberi jalan yang menjanjikan untuk mengabdikan kompetensinya di kabupaten Enrekang. Jika mulai dari perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, perpustakaan masjid, hingga taman bacaan, para pekerjanya diisi oleh lulusan ilmu perpustakaan dan informasi, sudah pasti ini akan melengkapi keseriusan pemerintah dalam membangun SDM. Di saat yang sama, pembukaan prodi ini berbarengan dengan pembangunan gedung baru perpustakaan umum yang kini nampak megah dan tidak jauh dari kampus (kompeks pendidikan) ini.
Dalam soal literasi, bukan berarti mahasiswa dari prodi-prodi lain tidak punya keterlibatan mendorong literasi. Sebab, dalam beberapa kesempatan selama ini, mereka yang tidak dalam kajian itu justru lebih antusias menggerakan literasi. Walaupun literasi yang digerakkan masih pada pusaran bagaimana meningkatkan minat baca di kalangan mahasiswa.
Di satu sisi kita membayangkan universitas sejatinya adalah “menara iqra”, yang mengilustrasikan aktivitas yang penuh dan inheren dengan budaya membaca sebagai tradisi yang berkesinambungan sejak bersekolah. Namun di sisi lain, literasi dasar (baca, tulis dan diskusi) yang niscaya akrab bagi pelajar muslim (falsafah iqra) dan merupakan identitas mahasiswa, pada kondisi ini masih menjadi problem yang elementer. Karena itu, sembari tetap mencurahkan literasi dasar, harapan-harapan yang telah tiba pada pembicaraan tentang konstribusi insan akademis dalam literasi kontekstual untuk masyarakat juga harus senantiasa digelorakan.
Akhirnya, tulisan singkat ini tak lain adalah ‘ucapan’ selamat atas peluncuran Universitas Muhammadiyah Enrekang dan pelantikan Rektor. Selamat berkiprah dan mewarnai Enrekang dengan pijar keilmuan dan Islam berkemajuan.