Menyelipkan Literasi



Tak ada persiapan yang begitu sempurna. Terkadang kita tak harus menunggu banyak waktu untuk bergerak. Ada masa di mana ide itu terbit karena terpicu oleh luapan emosi. Apalagi bila momen itu memang tepat dan mendesak. Kita pun merasa ada pertemuan yang tak terduga. Antara ide dan momen. Antara hasrat dan aksi. Antara kondisi dan keharusan.

Pertengahan bulan april yang lalu, atau seminggu sebelum perayaan Hari Buku Sedunia (23 April 2020), saya diterungku oleh aktivitas yang agak jauh dari ‘kenyamanan’. Meskipun saya sudah mendapatkan kelonggaran untuk tinggal di rumah bekerja, nyatanya amanah yang dipercayakan di desa, tiba-tiba harus ditunaikan. Sejumlah agenda saya tutup, seperti buku-buku yang tak tersentuh di Perpustakaan. Walaupun sebaliknya, kini saya punya waktu yang cukup untuk menyambangi buku-buku di rumah. Perhatian saya beralih dengan begitu cepat pada urusan kerelawanan mencegah Covid-19. Posisi strategis yang saya tempati di desa, pada akhirnya jadi keharusan yang saya sadari betul. Dan saat itu pula, saya menyadari sedang ‘merangkap’ dan atau mungkin terperangkap dalam situasi yang tidak biasa.

Tapi apakah saya memilih suntuk pada satu urusan, lalu mengabaikan yang lain? Tentu tidak. Sekali lagi tidak. Justru agar tidak mengalami ‘tegangan’ dari dua rutinitas yang bersamaan dan mengambil konsentrasi itu, saya berlari dengan sebuah agenda baru yang saya anggap bisa meneguhkan apa yang sebenarnya saya nikmati sebagai rekreasi. Jadilah seperti menyegarkan diri dengan fashion. Saya dengan segera bersama kawan-kawan Komunitas Literasi Massenrempulu (kulimaspul.com) memantik diskusi dan akhirnya mengatur kegiatan dengan cepat bernama Festival Online Literasi Massenrempulu.

Saya sadar betul, aktivitas literasi adalah selera yang tak bisa dipendam dan terhalang oleh pandemi. Karenanya tak mungkin menunggu obat Covid-19 beredar secara massal lalu kembali bergerak. Justru saya berpikir, sains mungkin bergerak pelan menuju penemuan vaksin dan mengapa tidak literasi harus berjalan terus mengisi ruang-ruang kosong dengan dialog virtual yang produktif. Kita tak boleh kalah cepat dalam soal gerak literasi sebab boleh jadi penemuan baru sebagai solusi hidup di masa pandemi dan potensi swakarsa warga terbit dari api literasi. Buku mungkin berhenti datang ke tangan pembaca, tetapi kontennya seharusnya mengalir lewat berbagai medium. Karena itu jugalah literasi yang saya kerjakan tak harus dimulai dari perpustakaan. Dan pada akhirnya memang saya pun memaknai pustaka harus melampaui soal buku semata, sebab “pustaka” yang bergerak itu adalah kita.

Dalam aktivitas yang berbarengan, belum lagi mengondisikan urusan yang formal dan nonformal, saya kemudian menyadari bahwa mungkinkah laku yang saya gerakkan musti berangkat dari perspektif pustakawan. Maka ketika kerja relawan itu menanti, saya selalu memikirkan bagaimana literasi bisa menyusup pada hal-hal seperti sosialisasi atau edukasi terkait Covid-19. Ditambah, yang juga menarik perhatian saya saat membaca situs resmi covid19.go.id di kolom edukasi menerangkan “pengetahuan adalah segalanya”.

Saya pun berpikir saat kawan-kawan di berbagai perpustakaan menawarkan diri berperan di masa pandemi ini melalui berbagai webinar atau diskusi daring yang bertema perihal itu. Apakah saya harus bekerja dari perpustakaan atau atas nama perpustakaan untuk berperan? Entahlah, yang pasti saya menganggap jiwa kepustakawanan itu bisa berangkat dari dan beranjak ke mana pun. Dan, mungkin ada baiknya untuk merasakan bagaimana hadir di tengah nuansa warga desa yang barangkali tak sedikit pun terlintas dipikirannya saat ini untuk diberikan buku.

Saya sempat melakukan eksperimen untuk peluncuran buku Musdin Musakkir (berjudul “Sedang Membaca” yang kami terbitkan di Kulibuku Maspul), dengan cara menyumbangkan 2 buku baru kepada seorang warga yang dirumahkan oleh perusahaannya dan melakukan isolasi mandiri di (rumah) kebun, di salah satu dusun desa Karrang. Saya menitipkan ke salah satu warga untuk dibawakan ke sana dan responnya bagus. Katanya “ada tambahan ilmu”. Dari situ saya mencoba mengajak teman-teman melakukan hal yang sama, tapi kemudian saya patah semangat setelah bergulat dalam pikiran sendiri. Ada semacam godaan sekaligus keraguan, apakah tepat untuk memberikan buku (sekalipun disertai sembako) pada orang yang sedang mengisolasi diri, apalagi bila ia tak mengharapkannya. Di sini ada baiknya berkompromi dengan ketidaktahuan sama sekali.

Saya sempat bersemangat untuk melanjutkannya dengan giat dan mencoba menawarkan hal itu di ruang Zoom pada acara FiLM, walaupun memang akhirnya putus tanpa tindaklanjut, bersamaan dengan selesainya FiLM.

Saya pun menimbang kembali untuk meminimalkan kesibukan eksternal di bulan Ramadhan. Hingga akhirnya saya kembali memutuskan untuk melanjutkan bacaan yang tertunda. Sembari menunggu panggilan tugas yang mendesak. Dan belajar mengambil jeda untuk memahami bahwa kepustakawanan sungguh bukan sekedar pekerjaan.