Siapa Bilang Enrekang-Kota itu Kampung?



Kenapa sih kamu harus risih bila kotamu itu bukan kota yang ada di benak mereka. Apakah perlu saya buat kota di pikiran Teman Kita itu? Seperti kota impian yang biasa kita saksikan di televisi milik Om Surya. Atau apakah Rio lupa saat pamit di Makassar, berucap “Bu Kos, tabe’ pulang kampung ka dulu.”

Tadi siang saja, kita bikin diskusi buku di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang, Teman Kita itu bilang “maaf, tidak sempat karena mauka pulkam“. Pulang kampus! pulang kampung! pulang kamar! Entahlah, karena saya memang lahir di Enrekang-Kota, jadi kamar saya di situ. Dan mungkin memang tidak akan habis-habisnya kita pulang, kecuali telah berpulang.

Nah ini, Rio itu memang pulang kampung dari Makassar. Tapi pulkamnya sempat ikut berdiskusi dengan kita. Lalu kenapa yah teman kita yang lainnya, yang katanya kuliah di kampung sendiri (Enrekang-Kota) ini, masih (asyik-asyiknya) pulang kampung tiap minggu. Mungkinkah selama ini dipikiran mereka Enrekang ini benar-benar “kota” yah? Bisa jadi kota itu hanya ada dalam pikiran, seperti rasa optimis (feel the wind of optimism) yang diciptakan Meikarta dalam kota(k) TV.

Tapi menarik juga yah, Teman Kita yang berkuliah di Enrekang dan pulang kampung itu mengganggap desanya lebih ramai daripada Enrekang-Kota. Ingat tidak yang dikatakan, “kampungku kayak kota mi, nakalah ramai Enrekang.” Oh, kalau begitu, ia sedang menyimpulkan ciri-ciri kota dengan kata kunci “ramai”.

“Kan pulang kampung adalah tradisi pada umumnya di Indonesia, apalagi kalau lebaran. Itu kan untuk memperkuat tali silaturahmi dan kekerabatan. Riri Riza saja pulang manguju di kampung Malua sana,” lanjut Teman Kita

Adilnya, kita anggap saja Teman Kita yang pulang kampung itu akan melakukan produktivitas lain. Bisa jadi lagi mempraktikkan agroliterasi, bung! Jadi tak harus ikut mumet dalam diskusi buku. Saya berpikir positif, kampung sedang menanti pengetahuannya dan orang tuanya menyambut ilmunya agar terbantu dalam ‘seni’ bertani. Sip lah, lanjutkan Mas!

Mari pulang ke kota. Maksudnya ke pembahasan tentang kota. Nah, agaknya memang Enrekang-Kota yang kita cintai ini ingin ditampilkan apa adanya. Oleh siapa? Mungkin oleh kita yang ingin bertahan dalam kultur agropolitan yang identik dengan kebersahajaan. Tak seperti kota dalam narasi kultur industri.

Kalau mau jadi kota (agro)industri pun juga sebenarnya ada juga peluangnya. Bahan baku untuk bikin industri makanan (food) tersedia. Berarti tinggal investor luar atau lokal yang kita nantikan menggarapnya. Tapi banyak sih pengusaha sukses berkelahiran Enrekang di luar sana (dan di dalam sini), sepertinya juga tak punya minat yang serius menggarapnya. Malah, lebih banyak yang pulang kampung dengan janji dan jalur politik “memajukan”. Yah, dugaannya, mereka ingin melihat Enrekang sebagai kota dalam pengertiannya.

Atau jangan-jangan Enrekang-Kota adalah kota kabupaten yang paling bersahaja di Indonesia. Ets, apalagi kota bersahaja itu? Apa harus saya terangkan lagi supaya pembaca mumet?

Nah, begini, saya beri konklusi. Mari kita defenisikan Enrekang sebagai kota dengan cara pandang kita masing-masing! Apakah nanti mau bilang kampung atau kota, terserah. Terserah konteksnya apa.  Tergantung hal apa yang anda telah praktikkan.

Bersambung! Eh, maksudnya, tabe’ kita lagi yang sambung Kanda diy jawab ini “siapa bilang Enrekang-Kota itu kampung?” Karena mau ka juga ini pulkam.

191 thoughts on “Siapa Bilang Enrekang-Kota itu Kampung?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *