Banggalah dengan Satu-satunya Indomaret di Kota Enrekang



Seorang aktivis penolak kapitalisme diam-diam belanja di indomaret kotaku. Namanya aku tak tahu. Saya hanya tahu dari wajahnya yang memang sama dengan yang kulihat di facebook. Tapi kok statusnya di dinding maya tidak persis sama dengan yang kulihat di depan mata telanjang.

Mungkin saya salah orang. Atau mungkin juga orang itu salah kutip teori saat menulis status. Kalaupun memang dia salah, Kantor Polisi di depan indomaret itu tak lantas dan pantas untuknya. Sekalipun ia menyebarkan “hoaks” atas nama baiknya sendiri di mata warga net macam saya ini. Pastinya, tidak salah kan kalau saya mengira-ngira seperti itu.

Baiklah. Jujur, saya pembeli setia di indomaret. Jadi kalau ada yang bilang saya tidak pro rakyat kecil, maka saya menerima dengan lapang. Walaupun saya juga minum kopi di gerobak-gerobak kecil milik rakyat juga. Malah, saya juga beli susu di mana saja, termasuk di dalam pesanan kopi susu.

Hal lain yang perlu saya katakan, ketika berbelanja suatu kebutuhan, misalnya susu, saya tidak pernah membandingkan harga antara Toko Yang Agung, Toko Yang Baru dan Indomaret. Yang saya perhatikan justru, apakah salah satu tempat itu tersedia stok susu yang saya butuhkan pada saat itu juga.

Maklum, susu yang saya maksud itu terbilang cukup mahal karena bukan susu sapi, tapi susu kedelai alias soya. Karena itu jugalah, alih-alih tersedia secara umum di kios kecil milik rakyat, atau lapak barang campuran yang dijalankan dengan modal terbatas.

Saya sebenarnya tidak sedang sombong untuk menceritakan hal itu. Kenapa misalnya saya pilih soya, itu karena alasan kesehatan sang anak yang alergi dengan susu sapi. Artinya, saya mau bilang, hanya di toko modern tersebut tadi yang tersedia. Sering hanya ada di indomaret. Makanya saya memilihnya karena alasan fungsional atau ketersediaan.

Lalu kenapa saya harus membeli barang lain sebagai tambahan, semisal Aqua di situ. Itu karena soal teknis saja. Tak harus saya tunjukkan keseriusan saya pro pada kios kecil dengan beli Aqua di sana setelah beli soya di Indomaret kan, Ferguso?

Memang saya bangga dengan hadirnya Indomaret yang satu-satunya di kota ini. Karena satu-satunya cara untuk bilang kota ini juga terbuka dengan siapa pun, jika dianggapnya itu produk kapitalis. Lalu kalau Indomaret dilambangkam komedernan kota oleh orang tertentu, nah paling tidak itu sudah memenuhi persepsinya.

Kalau dulu orang bilang, kota Enrekang tanpa lampu merah. Sekarang kan sudah ada 2 lampu di satu titik, 2 gereja, 2 hotel, 1 kampus, 1 toko “Cina” Tionghoa. Ets kok jadinya menghitung begitu. Nah sekarang, kita juga bisa bilang kota Enrekang sudah punya satu indomaret. Kalau-kalau kita mengangguk lampu merah dan indomaret adalah ciri dan cara menjadi kota. Jika memang lewat itu jalur menjadi aman dan stok yang dibutuhkan tersedia. You are fungsional.

Jadi saya juga hendak bilang indomaret bukan lagi semacam teori atau imajinasi di Enrekang. Ia sudah mengada sebagai minor dalam narasi ekonomi kerakyatan ala “yang diharapkan”. Ibaratnya Indomaret ini umpan untuk kita membicarakan kenyataan apa yang sesungguhnya akan terjadi dari spekulasi kita selama ini. Lalu boleh jadi umpan itu memancing kita mengikuti gayanya melayani pembeli. Anggaplah indomaret itu jadi standar untuk bikin toko modern dari orang lokal bermodal.

Agar anak-anak muda kota ini tidak kaku memasuki indomaret pada suatu kesempatan di kota lain nantinya, Indomaret ini bisa jadi percobaan dan pengalaman pertama baginya. Seperti cinta pertama, akan mengajarkan banyak hal.

Saya tak harus bicara banyak lagi kenapa saya bangga dengan indomaret di kota ini. Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah indomaret masih setia dengan parkirnya yang gratis. Ets, tunggu dulu, karena itu berlaku juga di toko lainnya. Mungkin toko tempat kita berbelanja berbeda, tapi kita semua patut bersyukur di kota ini kita masih menikmati bebas biaya parkir.

Bersyukurlah kamu ada di kota Enrekang.