Media Online dan Pembacanya yang Tercipta



Di tengah ramainya lalu lintas informasi yang berlangsung di media online, kita sebenarnya terperangkap dalam kecepatan dan kelimpahan. Kita sendiri, dengan mengikuti banyak berita, lalu kecanduan media. Meyakini media online mampu memberi-tahukan segalanya, dan di atas semua itu kita mulai memanjakan diri dengan pengetahuan, tanpa harus bekerja atau mengadakan praktik.

Pertarungan kita lebih banyak terkuras dalam komunikasi yang membeludak. Seringkali hanya melahirkan debat kusir yang rasanya memindahkan budaya lisan ke media komunikasi. Alhasil, berpikir kurang mendapatkan tempat, karena larut dalam komunikasi yang bias.

Media pun rasanya bergerak untuk dirinya sendiri, menyatakan kepentingan komodifikasinya. Alih-alih membicarakan kepentingan publik dengan kekuatan komunikasi yang empatik.

Mungkin kita pernah mendapati berita online yang kadang tidak berimbang, kalau tidak dikatakan provokatif. Biasanya karena tidak berpegang pada prinsip cover both side. Atau kemungkinan motivasinya meliput disertai motif ‘berdagang’.

Praktik seperti itu tentu akan merugikan jurnalis online yang punya prinsip jurnalisme yang ketat. Karena tidak saja akan mengesankan hal yang kurang baik di mata masyarakat, juga membuatnya berpikir ulang apakah membaca berita itu “menyehatkan”.

Kondisi demikian seolah membenarkan Jean Baudrillard yang bilang “kita berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tetapi begitu hampa makna.”

Generasi yang dibesarkan dengan berita yang melimpah dalam media massa, sudah selayaknya mengasah kepekaannya, tidak dengan permisif dan mudah menerima sesuatu yang otoritatif.

Kerja jurnalis yang sebenarnya lekat dengan ‘literasi’ ini, seakan terdikte oleh pasar yang menutup kedalaman liputan. Jika belantara kata itu tak bisa kita lihat secara kritis, lambat laun kita semata akan menjadi pecandu aksara, jenuh dengan media.

Kejenuhan ini pada nantinya menumpulkan kesadaran massa. Diskusi kita malah mungkin meributkan soal siapa yang memberitakan apa. Bukannya melihat apa yang disorot media itu mampu mengaspirasikan suatu fakta dan narasi yang konstruktif.

Lalu bagaimana kita mengharapkan media itu representasi praktik literasi yang mencerahkan?

Memang media itu medium dengan praktik literasi. Kita pun tahu sudah banyak media yang berinisatif mempromosikan literasi dalam berita atau liputan khusus. Namun perlu ada perwujudan secara eksplisit tentang pentingnya literasi dalam dirinya. Sebab ini akan setali yang diharapkan, yakni bagaimana media tersebut menemukan pembaca. Ajakan seperti ini juga akan merefleksikan tubuh media online itu sendiri untuk senantiasa mengusahakan jurnalisme yang punya trust.

Saya kira pelaku media online memahami kondisi terkini dalam persaingannya. Pelaku di media baru tahu bahwa membeludaknya situs berita online, harus disikapi dengan improvisasi dan inovasi. Sebagai contoh, munculnya alternatif mengabarkan dengan slow news/journalism, yang tampil “setelah breaking news” atau bukan karena berpacu dalam detik.

Dalam kesempatan yang sama itu produksi informasi mungkin akan menyuguhkan liputan yang menawarkan kesegaran dan kedalaman bagi pembaca. Maka sebenarnya media online adalah literasi itu sendiri. Nantinya, “perlombaan” merayu pembaca kembali ditentukan pembacanya yang (telah diciptakan media online menjadi) kritis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *