Membawa buku di tempat wisata merupakan inisiatif yang menarik. Meski buku bisa saja kelihatan kontras bagi seseorang yang sedang menikmati liburan atau festival. Tapi kita tentu tahu juga, orang yang lekat dengan buku, akan melihatnya sebagai hal yang menggembirakan. Apalagi yang suka membaca di nuansa terbuka.
Minggu (8/12/2019) siang, saya tiba di Dante Pine dengan Motor Pustaka. Dengan harapan sederhana “moga ada yang membaca.”
Motor Pustaka diparkir di area Kuliner Fest yang berada tepat di gerbang masuk acara Mammesa’ Festival. Di lokasi yang cukup lapang itu kami menggelar tikar dan matras, menyetel sound system, menyiapkan banner Talkshow Literasi. Menanti pembaca dan peserta talkshow.
Jalan masuk Dante Pine pada hari itu, berhias lapak-lapak kuliner tradisional dan Pasar kopi. Aroma kopi Arabika Kalosi Enrekang dari berbagai desa di Enrekang cukup dominan. Kemasan kopi berjejer rapi, seakan bersatu dalam ragam merek atau brand. Di depan lapak kopi, disediakan kursi dan meja untuk mencicipi kopi.
Mammesa’ Festival tidak hanya menampilkan produk lokal dan seni tradisional. Terdapat pula produk sponsor acara, yang salah satunya turut mensponsori Musik Fest. Unsur modernnya, tergambar melalui Musik Fest yang menghadirkan Fiersa Besari dan beberapa band lokal.
Kebetulan saat talkshow akan dimulai, Bupati Enrekang beserta rombongannya menyempatkan diri ikut lesehan. Momen yang tak terduga itu, menambah suansana talkshow jadi spesial dan menyita perhatian pengunjung.
Talkshow membicarakan topik “Merajut Kekuatan Baru dengan Literasi, Seni dan Ekonomi Kreatif”. Menghadirkan 5 orang pemuda kreatif yang membahas topik tersebut. Ono adalah pegiat wisata, Agil dikenal selaku pegiat kopi Arabika, Suhe’ akrab dengan melukis dan akademisi seni, dan Naim sebagai penggerak literasi.
“Ini tahun kedua acara Mammesa’ Festival. Dan boleh dibilang Mammesa Festival ini memadukan unsur tradisional dan modern,” kata Hardiono, ketua panitia festival yang tampil sebagai pembuka talkshow.
Ono yang juga founder wisata Dante Pine ini memang dikenal giat mengembangkan wisata dengan cara mandiri. Berkat kegigihan bersama timnya, ia menjadikan Dante Pine sebagai destinasi baru yang terkenal. Sebelumnya ia juga pernah mengangkat potensi Bukit Cekong sebagai wisata. Berbagai media telah meliput lokasi ini sebagai salah satu rekomendasi bagi pelancong.
“Bicara tentang wajah daerah itu dapat dilihat dari seni dan kebudayaannya. Saya kira festival ini bisa merepresentasikan hal itu,” ujar Suherman yang memberi pengantar perihal seni.
Suherman menerangkan seni dari kacamata akademis perihal bagaimana seni tampil sebagai identitas kebudayaan.
Sembari mendengar suara dari speaker, di lokasi talkshow juga terdengar bunyi bambu yang ritme bunyinya diatur dari aliran air. Kalau dicermati seakan berpadu dalam musik bambu tradisional. Konsepnya saya kira semacam “musik dari alam”. Ini terbilang menarik perhatian dan menambah nuansa seni di lokasi tersebut.
Lanjut ke Agil, pegiat kopi satu ini menceritakan kegiatan yang pernah dilakukan bersama komunitasnya yakni Jelajah Kopi. Kegiatan ini mengajak orang dari berbagai daerah untuk menyambangi langsung kebun-kebun kopi di Buntu Tembo’, Enrekang. Jelajah Kopi ini serupa wisata alam yang juga terdapat semangat edukatif melihat kopi secara dekat. Menikmati indahnya perkebunan dan para petani yang bersahaja.
Ia pun membayangkan adanya semacam festival kopi di Enrekang yang memang di dalamnya hanya kopi yang jadi pusat.
Setalah Agil, giliran Naim yang berbicara perihal literasi. Baginya literasi itu seperti sifat air dan bisa ada dimana pun. Katanya, ketika ia berada di komunitas, di ruang itu ia akan mengajak orang-orang minat membaca.
Hari itu, Naim juga membacakan prosa dalam buku Pelukis Rasa karya Aldika Djufri. Prosa ini dibacakan setelah Aldika Djufri menyampaikan testimoni proses kreatif hingga terbitlah karyanya.
Di peluncuran bukunya itu, Aldika Djufri mendaku dirinya termotivasi menulis setelah mendengar Syarif Bando Kepala Perpusnas berbicara di acara Safari Perpustakaan pada tahun 2018. Ia merasa bermimpi ketika menyadari tulisannya bisa terhimpun jadi buku. Sebab ia menulis tidak dengan pena, tapi lewat dinding media sosial yang rajin ia isi dengan lukisan pesan moral atas fenomena yang diresponnya.
Aldika Djufri bercerita tentang dirinya yang menggunakan smartphone sebagai akses untuk membaca dan menulis. Jarang sekali membaca buku karena kurang mampu membeli buku.
Di hadapan Bupati Enrekang, Aldika Djufri pun memotivasi peserta talkshow dengan mengatakan “yang pendidikannya saja sampai SMK bisa menulis, apalagi yang menempuh pendidikan di bangku kuliah.”
“Semoga daerah kita ini maju dengan literasi dengan kearifan lokalnya yang beraneka ragam,” tutupnya dengan penuh harapan.
Di akhir acara, Bupati menerangkan sejumlah program pengembangan wisata yang akan dijalankan. Ia pun melihat potensi ekonomi kreatif merupakan sektor yang dapat ditumbuhkan melalui pengembangan literasi.