Literasi Sebagai Pijakan Mahasiswa dan Peran Konstekstualnya



Pengantar Diskusi bersama Pikom IMM Faruq Altruis Cabang Enrekang (27 September 2019)

Literasi merupakan medium inspirasi dan aksi mahasiswa. Literasi bagi mahasiswa adalah keniscayaan untuk melakukan perubahan sosial. Ibaratnya pakaian, literasi menjadi kebutuhan yang harus selalu dikenakan dalam status mahasiswa. Karenanya, literasi bukan terma yang seharusnya baru dan seksi bagi mahasiswa. Pada periode mahasiswalah sesungguhnya literasi menjadi aktivitas utama, sekaligus basis untuk meneropong fenomena di luar identitasnya.

Memang literasi hari ini tidak lagi dimaknai secara tunggal pada soal aksara dan abjad. Sebab literasi sudah diartikan sebagai kecakapan abad 21 dalam menemukan “solusi teknis”. Melek yang dimaksud tidak sebatas beraksara, tetapi juga terampil dan well informed pada segala hal.

Bagi mahasiswa yang tergolong digital native, illiteracy itu bukan lagi soal mereka tidak bisa mengeja, tapi mereka yang malas memanfaatkan sumber informasi yang melimpah sebagai pijar. Boleh dibilang di dalam kultur multimedia ini, literasi mengisyaratkan multitalenta. Tak heran bila istilah literasi dikaitkan secara kontekstual, misalnya dalam istilah literasi digital, literasi gizi, literasi data, literasi finansial, dan sejumlah lainnya.

Ketika berbicara literasi yang melampaui aksara ini, peran mahasiswa adalah agen pengetahuan dan penyuluh informasi untuk masyarakat. Ia menjadikan literasi sebagai instrumen untuk mendorong keberdayaan masyarakat di desa. Sama halnya ketika sedang Kuliah Kerja Nyata, praktik literasi sebisa mungkin menjadi agenda yang dominan ketimbang program fisik. Yang ditinggalkan bukan semata papan nama kampus, tapi memori pengetahuan yang dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat. Sebagai agen sosial, mahasiswa berada dalam masyarakat senantiasa terpatri untuk memberikan pencerahan.

Berangkat dari narasi di atas, tentunya kita bisa meneropong kondisi lokal. Mahasiswa Enrekang, khususnya yang berkuliah di Enrekang, posisinya begitu strategis. Berbeda halnya mahasiswa rantau, yang akses dan interaksinya ke masyarakat lokal seringkali terbatas oleh jarak. Maka mahasiswa yang ada di ‘kampung’ sendiri, hendaknya menyerap pengetahuan dengan semangat membangun kultur agraris yang berpengetahuan. Pijakan pengetahuannya adalah bekal untuk dirinya dan yang didiaminya.

Mahasiswa di Enrekang sudah saatnya mendorong literasi di desa. Saat ia kembali di desa –ke rumahnya-, ia mengusahakan kegiatan literasi yang berdampingan dengan kegiatan olahraga dan seni yang selama ini sudah semarak. Para pemuda lainnya dijadikan sebagai partner dan subjek untuk membangun pendidikan informal. Tak menutup kemungkinan, pemuda-pemuda desa mau menjadi relawan literasi yang menumbuhkan minat membangun perpustakaan atau taman bacaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *