Suatu keberagaman tentunya membutuhkan imajinasi persatuan yang tegap. Sebagaimana bangsa ini ditumbuhkan dari ikatan bersama dalam “komunitas terbayang” (Anderson). Keragaman budaya ini menjadi peluang dan sekaligus tantangan gerakan literasi untuk menumbuhkan imajinasi persatuan.
Jika imajinasi dapat tumbuh dari kultur literasi, tentunya gerakan literasi dapat membingkai nalar kebangsaan yang kuat. Literasi menjadi penting digelorakan, apalagi jika rekatan kebersamaan goyah oleh riak-riak politik identitas, isu rasisme atau radikalisme. Tak terkecuali, suatu kebijakan dan migrasi ibu kota dapat dibangun dengan kekayaan imajinasi dari pondasi literasi (demokrasi) yang kuat.
Contoh nyata yang digerakkan oleh pegiat pustaka hari ini dalam merawat kebhinekaan, yaitu dengan berkirim buku atau mobilisasi pengetahuan yang dilandasi keinginan untuk maju bersama. Perhatian seperti itu, dalam bentuknya yang sederhana, menggetarkan rasa kebangsaan di atas pijar literasi.
Literasi sebagai energi bersama memang menjadi terma yang sudah seharusnya diformulasikan secara sistematis. Dalam berbagai lembaga/ kementerian, literasi pun kini menjadi instrumen untuk menuntaskan persoalan kemiskinan dan berkaitan dengan pembangunan nasional. Karenanya, diperlukan sinergi multi-stakeholder yang nantinya menyalakan literasi sebagai makro pembangunan nasional, sebagaimana ajuan Adin Bondar dalam Media Pustakawan. Upaya-upaya seperti Gerakan Literasi Masyarakat, literasi untuk kesejahteraan, dan konvergensi literasi desa, merupakan program yang telah diluncurkan untuk membangun energi literasi.
Munculnya sejumlah perhatian ini, tak luput dari kesadaran akan pentingnya sumber daya manusia yang literat di era disrupsi saat ini. Upaya menerapkan berbagai kategori literasi sebagai solusi, seperti literasi gizi, literasi keuangan, literasi digital, dan istilah literasi lainnya di masing-masing sektor terkait seakan menyiratkan perlunya membangun ekosistem masyarakat berpengetahuan.
Apalagi literasi untuk orang dewasa dianggap masih rendah, hal ini juga tak lepas dari kondisi masyarakat yang functionally illiterate. Maka sudah sewajarnya bila perhatian terhadap literasi terapan dapat menstimulasi kelas pekerja dan petani meningkatkan produktivitas dan kreativitasnya. Model yang demikian tentu mengharapkan ruang literasi seperti perpustakaan dan taman bacaan tidak lagi sebatas ruang membaca, tetapi bertransformasi sebagai pusat belajar kontekstual dan berkegiatan, sekaligus ruang interaksi publik yang demokratis. Dimana pengetahuan/kearifan lokal dapat dibagikan sebagai praktik baik bersama, sehingga kelak terbangun kolaborasi yang bersandarkan berbagi pengetahuan untuk kesejahteraan.
Kita menyadari masih terdapat warga yang buta aksara, sebagaimana misalnya yang dirilis Indeks Alibaca, Provinsi Sulawesi Selatan dikategorikan rendah, merupakan salah satu provinsi yang padat buta aksara (4,63 persen). Dan inilah salah satu alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjuk Sulawesi Selatan sebagai tuan rumah Hari Aksara Internasional, disamping adanya komitmen dari pemerintah provinsi dan forum TBM/komunitas literasi mendorong kabupaten/kota untuk menyelesaikan persoalan tuna aksara ini.
Tentu saja problem illiterate ini dapat dituntaskan sembari menyediakan alternatif perolehan pengetahuan oleh mereka yang masih dalam belenggu itu lewat pendekatan yang inklusif. Inisiatif masyarakat atau pegiat literasi pun dapat memberikan konstribusi yang lebih, dalam posisinya selaku sub-sistem sosial. Saat kita bicara era disrupsi dan revolusi industri 4.0, maka sudah saatnya pemerintah juga menggunakan inovasi (disruptif) dalam menuntaskan buta aksara ini, laiknya bimbingan belajar yang berbasis digital itu.
Sejumlah gagasan ini pada akhirnya mendorong eksekusi dan sinergi dalam kebijakan pengembangan literasi masyarakat di Sulawesi Selatan, apakah dengan perda literasi atau penguatan lembaga literasi. Kita mengharapkan literasi menjadi bagian yang fundamental dalam menghubungkan ragam budaya di Sulsel, sekaligus mengeksplorasi literasi lokal yang memuat spirit dan kearifan lokal di masa lampau.
Adapun visi pemerataan pembangunan di provinsi Sulsel, sekiranya mengakomodasi pembangunan infrasturuktur pengetahuan. Perpustakaan, taman bacaan, dan bahan bacaan yang saat ini bisa dihadirkan lewat dana desa, sudah seharusnya didorong secara serius oleh pemerintah provinsi hingga ke pemerintah desa.
Saya kira gelaran Festival Literasi Indonesia di Makassar (5-8 September 2019) kali ini juga menambah semangat para pegiat literasi di Sulawesi Selatan untuk membangun kultur literasi, mulai dari pegiat TBM, perpustakaan, hingga sanggar kegiatan belajar.
Salah satu langkah yang diusung oleh Forum TBM dalam Hari Aksara Internasional yakni #ENERGILITERASI. Program tersebut diiniasiasi untuk mengajak berbagai pihak yang ingin mendukung dan melakukan kegiatan literasi sebagai mitra pengembangan literasi dan minat baca di Indonesia. Semoga literasi bergerak dalam sinergi demi mewujudkan SDM unggul dan bangsa yang berkemajuan.