Setelah 3 hari mengikuti proses pemilihan pustakawan berprestasi terbaik tingkat nasional di Hotel Aryaduta, Jakarta, yang lumayan menguras konsentrasi. Tiba waktunya, pada tanggal 16 Agustus 2019 kami diberi kesempatan mengikuti Sidang Bersama DPR/MPR RI dan Pidato Kenegaraan di Gedung MPR/DPR.
Dari sekian poin yang disampaikan oleh Presiden pada pidato kenegaraannya, satu hal yang menarik buat saya ialah ketika ia bilang “data lebih berharga dari pada minyak”. Kita tahu, bahwa maraknya pencurian data pribadi di dunia digital, kini menjadi perhatian serius pemerintah. Karena itulah Presiden mengumandangkan kedaulatan data di hadapan kita.
Pidato tersebut semacam penegasan bahwa di era big data ini, segala hal tentang kita dapat dikuantifikasi dan dijadikan komoditas bagi tawaran niaga elektronik. Tak hanya itu, sejumlah media sosial yang meminta data pribadi, akhirnya rentan disalahgunakan untuk suatu kepentingan. Kekhawatiran itu memang patut mencuat saat melihat banyaknya tawaran yang masuk di ponsel dan akun medsos kita secara permisif.
Dalam pidato Presiden, ia pun menghendaki adanya regulasi terkait perlindungan data pribadi. Menurutnya, ke depan data menjadi kekayaanan baru bangsa. Artinya, di samping Presiden khawatir efek negatif big data, juga menyadari betul era disruptif tak lepas dari pemanfaatan data besar dan postensinya menciptakan bisnis baru.
Mengamati hal ini, saya melihat ada prinsip yang sama ketika membicarakan pengetahuan sebagai kekuatan (kekayaan). Taglinenya, siapa yang menguasai data maka ia mampu memegang tampuk bisnis hari ini. Tentang bagaimana mengolah data yang besar itu menjadi peta pengetahuan yang bisa melahirkan keuntungan. Data pun menjadi aset dan modal yang ditimbun untuk bisnis informasi.
Tekait bahasan data itu, kebetulan saja relevan dengan agenda mengunjungi Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) hari itu, setelah dipandu Perpustakaan Nasional menyambangi Perpustakaan DPR, yang menurutku juga bisa menjadi pusat data dan informasi DPR. Saya pikir, panitia sangat tepat mengenalkan kami terkait manajemen pengelolaan data media ke Tempo.

Bertempat di ruang Tempo yang dinamis, saya mendengarkan bahwa data pada PDAT dikelola sebagai layanan yang berbasis profit. Katanya, semula berbasis pada cost center kini bergeser ke profit center.
Di sini saya belajar, bahwa suatu perusahaan yang bergerak pada produksi informasi, mustilah menyimpan datanya dengan baik. Sebab kelak, orang atau pihak tertentu akan membutuhkannya untuk kepentingan riset atau analisa tertentu. Boleh dikata, data bagi media adalah investasi layanan.
Kunjungan pustakawan ke PDAT ini, pada prinsipnya melihat kerja manajemen informasi yang selama ini lekat dalam aktivitas pustakawan. Tentu dalam perspektif yang berbeda, karena media menyimpan informasi bukan sekedar sharing, tapi mengelola bahan (informasi) mentahnya untuk diproduksi.
Saya membayangkan, penyajian data oleh media di era ini akan semakin kompetitif. Contoh pemilu yang lalu, bagaimana pernyataan setiap calon presiden, diverifikasi media (online/TV) secara aktual dengan menelusur data yang terpencar. Proses pengecekannya tentu ditopang oleh analis dan sistem yang memadai.
Adalah tantangan sekaligus peluang bagi pustakawan untuk berperan menyiapkan keterampilan mengolah dan menganalisis data besar ini. Dalam harapan itu, pustakawan penting membekali diri dengan ilmu data dan analisis data, hingga dapat disajikan dalam format semacam infografis.
Kekayaan sumber pengetahuan yang dimiliki perpustakaan, dapat diekstraksi dalam bentuknya yang mudah dipahami masyarakat, apakah itu dalam bentuk qoute atau ikhtisiar. Contoh yang kita lihat, ialah ketika para toko buku daring dengan ketekunannya mempublikasikan kata-kata yang dianggap merepresentasikan buku yang dipasarkannya.
Kerja yang demikian memang tak mudah, tapi inilah yang harus dipersiapkan, bukan hanya kita (pustakawan), tetapi juga para akademisi Ilmu Perpustakaan, agar merespon big data ini dari kacamatanya untuk selanjutnya didiskusikan dalam kuliah. Jika perlu mata kuliah statistik yang selama ini disarikan dalam JIP, dapat mengantarkan mahasiswa memahami ilmu data dan analisis data, serta kemampuan untuk mengerjakan visualisasi data.
Lantas bagaimana pustakawan di Perpustakaan Umum memandang big data ini?
Berangkat dari penggunanya yang beragam, Perpustakaan Umum punya tugas mengjangkau khalayak luas. Namun persentuhannya dalam inklusi sosial, dapat menitik-fokuskan pada masyarakat yang selama ini jauh dari layanan informasi. Peran sebagai fasilitator misalnya, dapat menghubungkan masyarakat dengan data-data yang dibutuhkan. Jika perlu mengadakan pelatihan pemanfaatan data dan informasi publik yang tersebar untuk kepentingan bisnis, advokasi, maupun edukasi.
Potensi lain yang dapat dikelola oleh pustakawan Perpustakaan Umum (‘pustakawan publik’), misalnya, dengan menggali data-data pemustaka yang diperoleh dari media sosial maupun sistem otomasi perpustakaan. Tujuannya untuk mengklaster minat dan kecenderungan pemustaka, lalu pustakawan menawarkan subjek yang relevan dan tersedia di perpustakaan. Maka cara klasik menarik pemustaka bukan sekedar sosialisasi, tetapi dengan melakukan adaptasi pada kecenderungan pemustakanya.
Cara kerja ini juga secara tidak langsung menghubungkan data dan pemustaka. Hal ini serupa spesialis subjek (‘pustakawan data’) yang bergerak. Mendekati pemustakanya dengan tawaran informasi terapan yang relevan dengan pengembangan potensinya.
Saya kira, perjalanan ke PDA Tempo kemarin perlu dimaknai bukan sekedar kunjungan. Melainkan bagian dari ajakan pustakawan berkarya. Bukan begitu?