Seminggu yang lalu saya larut dalam acara pemilihan pustakawan berprestasi. Dari tanggal 13-19 Agustus 2019, saya merasakan atmosfer yang cukup “menegangkan”. Bukan semata amanat yang dititipkan sebagai wakil provinsi, tetapi pada seberapa besarkah pengaruh yang saya tampilkan dan gagasan yang memang ingin saya aspirasikan.
Saya berpikir realistis pada apa yang telah dikerjakan. Sebagai pustakawan yang baru saja melangkah, tentu ada ikhtiar untuk melakukan ujicoba. Saya menyadari kurung waktu 4 tahun, belum tampak suatu hal yang luar biasa. Dan tak ayal, pertanyaan serupa memang saya jumpai saat sesi wawancara.
Saya setuju, prestasi kerja memang tidak musti menitikberatkan pada kuantitas dan jenis perpustakaannya, tapi juga pada makna atau value apa yang dipersembahkan dalam setiap kerja. Namun saya pun menyadari kerja tak dapat diceritakan sepenuhnya di atas portofolio, lantas demi menanti apresiasi. Itulah sebabnya saya cukup ‘gugup’ menyatakan apa yang pernah saya lakukan pada persepktif outcome dari keberadaan saya di perpustakaan.
Anggaplah, kerja yang saya lakoni melebihi dari porsi tugas, atau jam kerja yang melebihi batas kenormalan bagi pekerja normatif. Itu tidak dapat diakumulasi dan diutarakan demi suatu apresiasi. Karenanya, penjiwaan kepustakawanan adalah unsur yang tak bisa dikuantifikasi.
Yang patut saya syukuri dari momen kemarin, ialah saya bisa menikmati proses tersebut dalam suasana yang penuh keakraban. Lalu pastinya, belajar dari gagasan-gagasan sejawat pustakawan lewat presentasi mereka yang prestisius. Ada sejumlah praktik kepustakawanan yang memang penuh gairah ditunjukkan, yang memompa semangat saya untuk giat lagi berkarya.
Tema yang ditampilkan memang memancing pustakawan menunjukkan inovasinya selama ini. Terma pustakawan berkarya mengisyaratkan kerja yang signifikan pada kebermanfaatan perpustakaan bagi masyarakat. Karya di sini tak mutlak berupa produk, kebijakan, atau layanan semata, tetapi juga termasuk penciptaan kultur literasi. Orientasi ini mungkin bukan hal yang baru di kalangan akademisi, tetapi bagi perpustakaan umum (tempat saya), adalah bagian dari upaya transformasi ataupun revitalisasi.
Memang relevan, upaya perpustakaan memberikan konstribusi bagi pembangunan nasional, dimulai dari ikhtiar pustakawan berkarya. Di beberapa kesempatan yang saya ikuti, termasuk saat menjalankan tugas selaku trainer transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, pembahasan perihal upaya menurunkan angka kemiskinan begitu mengundang brainstorming. Respon tentang bagaimana memfasilitasi pengembangan potensi masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup menjadi diskusi yang memantik pengembangan perpustakaan yang melampaui sekedar ruang baca.
Isu kemiskinan yang dikorelasikan dengan kualitas SDM yang rendah pun melatari konsep program literasi untuk kesejahteraan yang didorong Perpustakaan Nasional RI. Tentu saja, hal ini tak lepas dari tujuan pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang diuraikan dalam SDG. Karenanya pustakawan diharapkan dapat mendukung pembangunan nasional lewat sumber daya literasi.
Dukungan ini pada akhirnya juga menuntun pustakawan menyiapkan diri sebagai fasilitator pengetahuan yang peka terhadap lingkungan sosialnya. Paradigma ini selaras dengan konsep inklusi sosial yang membuka ruang berbagi dan belajar secara kontekstual. Pustakawan menyadari posisinya dalam lingkungan sosial bisa memberikan suatu perubahan-perubahan kecil.
Berangkat dari situ, pustakawan tak sekedar bergerak dalam tugas fungsionalnya, tapi mulai beranjak keluar melakukan aktivitas sosial budaya dengan isu literasi untuk orang dewasa dan literasi terapan. Kolaborasi dengan berbagai pegiat literasi (gerakan masyarakat) pada titik tertentu dapat menciptakan gerakan literasi yang prinsipnya sama-sama mendukung pembangunan nasional.
Sudah saatnya isu literasi direspon oleh berbagai pihak, dan tidak hanya dijalankan perpustakaan. Mengajak berbagai elemen bersinergi (multi-stakeholder) dalam gerakan literasi nasional. Sembari menanti gagasan Adin Bondar (Kabag Perencanaan PNRI) pada Media Pustakawan (2019) dapat diwujudkan yakni menjadikan literasi sebagai makro pembangunan nasional. Saya kira, gagasan tersebut penting untuk disuarakan para pustakawan sebagai oleh-oleh bersama, sembari kembali menelurkan karya dan inovasi di daerah masing-masing.
Yang terpenting pula dari acara itu, kita dapat merajut kekuatan bersama, saling mengisi dan merawat semangat kepustakawanan, seperti yang disampaikan dalam Asta Etika Pustakawan Indonesia. Berbagi perihal bagaimana perkembangan perpustakaan di setiap daerah sangat dibutuhkan sebagai stimulan. Dan rasanya ini yang perlu dirawat melalui komunikasi di media berkabar Whatsapp.
Akhirnya, saya harus menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan pustakawan berprestasi setiap provinsi atas kehangatannya selama sepekan. Saya yakin, tagline pustakawan berkarya belum berakhir di acara itu, sebab selanjutnya ada asa yang tumbuh untuk terus berkarya demi bangsa yang kita cintai ini.