Esai Politik dan Praktik Dokumentasi



Dua buku yang saya beli di Toko Buku Intuisi saat Festival Massenrempulu Membaca 2019, menjadi penutup acara tersebut. Di sela-sela mandeknya saya menuntaskan buku Humanisme dan Humaniora terbitan Jalasutra, yang sudah hampir 2 bulan tak kelar, saya melompat ke buku Muhidin M Dahlan berjudul Politik Tanpa Dokumen. Rencananya setelah tulisan ini terbit di blog, saya akan membaca satu lagi Pada Sebuah Kapal Buku.

Perhatian awal saya pada buku ini ialah desain sampul depannya yang berwarna putih polos. Lalu judulnya tercetak secara “timbul-tenggelam” dan masih dapat dibaca dengan terang, bahkan mungkin bisa dengan cara merabanya. Menurutku, ini desain sampul yang abstrak, apalagi ilustrasinya tidak mudah ditafsir.

Praktis hanya judul yang akan mengantar kita meraba-raba isi buku ini, sebab tak ada keterangan apapun tentang bahasan buku ini, seperti lazimnya tercantum di bagian sampul belakang. Malah mungkin kita mengira sampul belakang adalah sampul depannya. Untuk disusun di rak secara berdiri atau berbaring, punggung bukunya tentu terbaca.

Jika belum mengenal Muhidin M. Dahlan, mungkin anda akan bertanya, buku ini membahas apa? Apakah ini buku puisi, karya ilmiah, esai atau cerita pendek. Lalu, jika hanya sekedar tertarik pada judulnya atau karena kebetulan tergoda label limited edition (suatu strategi yang menurutku khas dari buku terbitan Muhidin), maka segeralah membacanya!

Saya mengikuti halaman facebook dan blog Rumah Tulisan Muhidin M. Dahlan, dan dari sana saya tahu bahwa ia aktif menulis esai. Boleh dibilang salah satu penulis yang getol membicarakan kiri.

Buku Politik Tanpa Dokumen ini bukan sekedar kumpulan esai, tapi juga menunjukkan praktik dokumentasi yang selama ini dikerjakan Muhidin di Warung Arsip. Ia betul-betul punya narasi penting perihal dokumentasi dan arsip.

Bagian pertama yang disajikan yaitu Politik Tanpa (Pusat) Dokumentasi. Baginya, ketiadaan lembaga yang serius mengurusi dokumentasi terkait politik di Indonesia, mirip prosa buruk. Tidak seperti misalnya pengarsipan Seni Rupa yang diurus oleh lembaga arsip macam IVAA. Sementara Muhidin menganggap warga pun memiliki kecapakan sendiri membaca dokumentasi/arsip. Hingga ia membayangkan dokumentasi adalah persoalan sehari-hari dalam kehidupan sosial, bukan sekadar objek yang dimuseumkan.

Memang dokumen yang dimaksudkan lebih banyak merujuk pada teks. Namun tentu Muhidin paham bahwa dokumentasi tidak hanya yang tercetak. Sebagaimana dalam Menuju Era Baru Dokumentasi, Blasius Sudarsono mengemukakan dokumentasi mencakup berbagai objek, tak hanya pustaka, tapi mewujud berupa hewan, tumbuhan, maupun objek tertentu. Hal yang sama pada kata pustaka sendiri yang dapat diartikan pada bahan-bahan rujukan non tercetak. Apalagi memang praktik arsip dan dokumentasi juga lekat dengan perpustakaan.

Sikap Muhidin pada objek pengetahuan (buku, arsip dan dokumen) agaknya sama, hal ini dapat dilihat dalam ajakannya memaknai cara mengerjakan dan menghidupkan objek tersebut. Argumennya, objek itu merupakan “organisme yang tidur” yang harus dibangunkan oleh pustakawan, arsiparis, dan dokumentalis.

Pergulatan Muhidin dalam tiga praktik dokumentasi tersebut, secara tidak langsung juga menampakkan kerjanya sebagai dokumentalis pustaka yang tekun. Atau istilah lain yang disebutnya dokumentator. Ia bukanlah pustakawan dan arsiparis partikelir yang berserah pada kerja administrasi. Lebih dari itu, ia punya usaha kuat menyajikan sejarah yang luput dan sengaja ditimbun oleh arus politik yang tak senafas.

Dengan gamblang ia membangunkan (ingatan) sejumlah peristiwa dalam esai-esai politiknya; politik dokumentasi, politik demokrasi elektoral, politik enam lima, politik olahraga, politik jurnalisitik, dan politik agama.

Saya kira praktik dokumentasi itulah yang memberi kekuatan esai-esai Muhidin. Sebab, ia betul-betul mengamini Pramoedya Ananta Toer yang berkata, “jika kamu rajin mengarsip, kamu tak akan pernah bisa dibohongi oleh kekuasaan apa pun”.

Apa yang dikerjakannya serupa dengan prospek kajian ilmu dokumentasi baru, yang mengharapkan konvergensi lembaga dokumenter atau pusdokinfo (arsip, dokumentasi dan perpustakaan). Dan menariknya, Muhidin seakan menunjukkan praktik mengonvergensikan kerja dokumentasi; kerja pengarsipan, dokumen, dan pustaka.

***