Pustakawan Lahir Dari Membaca



Suatu ketika saya menjumpai salah seorang yang hidupnya lekat dengan buku. Argumen pertama yang menyentak, ketika ia mengenalkan pekerjaannya. “Pekerjaan saya adalah membaca. Ibaratnya terkejut, saya betul-betul menyadari kehadirannya. Ia lantas bilang kepada saya, bahwa ia punya target membaca 100 hingga 150 buku pertahun.

Jujur, kalimat itulah yang membuat saya menyadari betapa tertinggalnya diriku. Hari demi hari, kurajut diri dengan membaca apa saja, termasuk membaca seluruh koran yang ada di taman baca depan kampus. Itu berlangsung sekira 2 tahun, hingga pada waktunya saya kembali ke kampung. Meninggalkan kota yang menyediakan banyak akses membaca, terutama koran yang betul tersaji bagai sarapan pagi.

Beranjak ke kampung, yang orang kadang pasrah mengasumsikannya “jauh dari peradaban”, seperti mulai menjauhkan saya dengan aktivitas itu. Mungkin karena koran bukan hidangan pagi di kota kecil kami, tapi sore menjelang malam. Perjalanannya memang cukup panjang untuk bisa mendarat di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang.

Koran-koran yang lambat itu pun akhirnya mengajak saya untuk melupakan secara perlahan berbagai opini hangat dan informasi yang menarik. Apalagi jarak rumah dengan perpustakaan yang 20 km itu, bisa membuat jam pulang bergeser ke malam hari. Jika harus memaksa untuk tinggal menunggunya.

Praktis, saya mengatur waktu dengan memotret opini atau halaman yang menarik lewat kamera HP, untuk saya simpan dan baca nantinya. Tapi tumpukan dokumentasi itu hanya benar-benar jadi simpanan yang juga mengambil ruang memori. Saat memori HP penuh dan mendadak harus mengabadikan suatu momen, terkadang dokumentasi itu jadi pilihan untuk dihapus. Dan itulah saatnya saya akan bilang selamat tinggal.

Kesibukan teknis perpustakaan memang mengambil sebagian besar waktu untuk sempat membaca. Setiap hari buku digenggam, tapi sebatas memeriksa bibliografinya tanpa sempat mengambil satu buku untuk dibaca di rumah.

Kadang saya kembali teringat dengan kata-kata di atas tadi, kapankah saya bekerja sebagai pembaca? Ataukah seorang pustakawan tak perlu membaca dengan begitu dalam (serius), hanya karena ia harus mengutamakan pelayanan untuk pemustaka. Bagaimana dengan pegawai tidak tetap yang tak punya kesibukan berarti di perpustakaan tapi tak membaca? Padahal saya selalu membayangkan mereka habis waktunya dengan membaca di sela-sela menanti peminjam dilayani.

Beberapa orang yang saya perhatikan memang kadang tak punya aktivitas sama sekali. Ketimbang menyadari dirinya ada dalam ruang yang dianuherahi banyak sumber pengetahuan. Alih-alih menyerap pengetahuan, malah ada yang larut dalam game dan aktivitas tak produktif.

Sering pula saya bersikukuh mengatakan, rekrutmen ataupun penempatan orang bekerja di perpustakaan, haruslah punya selera buku, atau paling ideal adalah pembaca. Bisa dirasakan, bila pekerja di perpustakaan adalah dominan pembaca, mungkin tak perlu khawatir dengan ide-ide menciptakan layanan perpustakaan yang ramah dialektis dan dialogis.

Bayangan seperti itu sekali lagi dapat terwujud bila kita menyadari bekerja di perpustakaan seperti berada di rumah pengetahuan. Alasan itu, saya pun akhirnya memaksa diri untuk menyempatkan membaca setiap malam. Meletakkan buku di dimana saja di rumah sebagai pengingat.

Mengapa malam? Sebab jam kantor (siang) tak memberi kesempatan yang nyaman untuk melakukan itu. Bagi saya malam adalah kerja kultural, dan siang identik dengan kerja struktural. Mengatur waktu pada malam hari memang membutuhkan konsistensi dan kekuatan yang prima setelah mengeluarkan energi pada siang hari. Konsekuensinya menunda istirahat beserta pekerjaan rumah yang juga meminta harmonisasi.

Sejauh ini motivasi membaca memang digerakkan oleh keinginan menghilangkan stigma bahwa pustakawan tak memulai dari dirinya dengan buku. Maksudnya, sebelum mengajak orang membaca, maka wajib bagi pengajak itu punya budaya baca. Karena ajakan yang konkret itu berupa teladan dan sikap yang linear.

Namun, saya menyadari bahwa pustakawan membaca bukan hanya menepis stigma, tetapi bagaimana turut merasakan makna jadi pembaca. Jika misalnya Muhidin M. Dahlan bilang, jika nanti perpustakaan tak lagi punya pengunjung, maka pustakawan adalah pengunjungnya. Jika perlu menjadi pembaca untuk perpustakaan yang dikelolanya. Maka sejatinya pustakawan adalah pemustaka yang pertama dan yang terakhir, bukan?

Hari-hari ini, saya dijejali banyak peristiwa literasi dan sejumlah ide yang terpapar. Saya berusaha sebisa mungkin punya waktu membaca, meski saya tahu akan cukup berat. Saya hanya bisa realistis tahun ini paling tidak membaca sepuluh buku. Sepuluh itu mungkin sudah termasuk buku yang saya terbitkan.

Saya juga tahu ada kawan-kawan saya yang mengajak bergiat “beyond book” atau keluar dari buku. Tapi apa daya, saya harus menuntaskan urusan yang satu ini.

Membaca untuk apa? Membaca untuk melahirkan diri menjadi pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *