Siapa pun Bisa Jadi Pustakawan?



Hal yang menarik dari perbincangan pustakawan adalah pemaknaan pustakawan itu sendiri. Sejumlah argumen terlontar untuk memberi tafsir pada apa dan siapa pustakawan. Lebih jauh, pertanyaan retorik semacam untuk apa pustakawan harus ada, tak ketinggalan diajukan.

Paparan pengalaman dan gagasan yang variatif tentang pustakawan memang akhirnya mengilustrasikan keragaman perspektif. Bukan karena jenis perpustakaan atau institusi yang mempengaruhi perbedaan, tetapi juga adalah cara kita memaknai perpustakaan.

Dengan membaca narasi setiap pustakawan (blogger), kita meneroka arti pustakawan dalam sebuah dialog yang acak (serba-serbi), yang boleh jadi timbul tafsir baru atas nama warna-warni itu. Ibaratnya menuju ke epicentrum yang baru, atau boleh jadi secara implisit terajut redefenisi pustakawan.

Di beberapa kesempatan, saya menjumpai penulis dan sastrawan yang mencantumkan biodatanya selaku pustakawan. Contoh ini saya ambil dari mereka yang mengelola perpustakaan komunitas, untuk sekaligus mengonfirmasi upaya menyegarkan kembali arti perpustakaan (yang selama ini melekat stigma negatif di masyarakat awam). Seakan ada pula penafsiran bahwa istilah seperti “taman” pun, bisa saja tak senada antara kata dan makna filosofis yang diusung. Dan begitulah dengan pustakawan yang menemukan pemaknaan berbeda di setiap pustakawan.

Maka mendefinisikan pustakawan tidak bisa dilakukan dengan satu (defenisi) pustakawan yang sama. Dalam forum yang menghimpun manusia dari beragam jenis perpustakaan, tentunya pustakawan tak dapat ditafsir secara tunggal. Bahkan boleh jadi sastrawan yang tadinya mengelola perpustakaan komunitas pun dapat diakomodir dalam berbagai wacana yang membicarakan makhluk apa itu pustakawan.

Dalam upaya seperti pustaka bergerak, apakah ia pustakawan atau pegiat literasi akhirnya perlu dibincangkan. Sebab selama ini tak sedikit yang mengaku pustakawan juga menyebut dirinya pegiat literasi. Lalu, apakah sebaliknya ada pegiat literasi menyebut dirinya pustakawan? Sementara, mungkin sastrawan belum tentu menyebut dirinya sebagai pegiat literasi kan?

Ada masa dimana seseorang misalnya menyebut guru pada orang yang dianggapnya berjasa dalam hidupnya. Padahal sebetulnya istilah guru yang disebutkan bukan karena orang itu pernah mengajar secara formal. Maka jika dibayangkan seperti itu, ada kalanya kata pustakawan pun adalah sebutan bagi mereka yang senantiasa menyediakan bacaan. Mungkin kedengarannya agak lucu bagi pustakawan yang ‘mempertahankan’ gap. Apalagi bila sudah bicara undang-undang perpustakaan dan argumen seperti “jika dokter adalah lulusan ilmu kedokteran, maka seharusnya pustakawan pun adalah lulusan ilmu perpustakaan”.

Saya pernah mendengar ucapan terlontar dari seorang mantan menteri, katanya begini, “pustakawan adalah simpul pegiat literasi”. Lantas pertanyaannya, bagaimana pustakawan bisa menyimpul mereka yang bergiat, bila ternyata pustakawan tak giat keluar dari ruangnya. Ini pun sama, bila pustakawan tak mampu berkolaborasi dengan mereka. Sedangkan para pegiat literasi adalah kolaborator yang saling memacu dalam segala bentuk ruang pustakanya (kolaboratorium). Jadi siapakah yang hendak disimpulkan? Pegiat literasi kah yang menyimpul pustakawan?

31 thoughts on “Siapa pun Bisa Jadi Pustakawan?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *