Kelimpahan informasi yang tersebar di jagad internet, membawa arus akses informasi yang variatif dan praktis. Laiknya kotak ajaib, informasi datang kapan saja dipanggil lewat tombol pencarian. Munculnya internet memang telah menjadi instrumen baru mengerjakan berbagai kepentingan, dari menambah wawasan, eksistensi, bisnis, hingga politik.
Adaptasi kerja berbagai organisasi dan kelompok ke dalam internet pun pada akhirnya menjadi pilihan yang “musti”. Sehingga tak ayal, informasi menjadi bahan dasar sebuah kompetisi yang tak lagi dapat dibendung keberadaan dan kecepatannya. Tak sedikit yang bilang kapitalisme informasional pun kian menggema. Demikian revolusi industri yang menyertakan ‘internet untuk segala’ (IoT), data besar (big data), dan kecerdasan buatan (artificial intelegence).
Dalam ruang berdemokrasi, internet lalu menjadi instrumen alternatif dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi dengan segala macam motifnya. Internet pada fungsinya memudahkan masyarakat informasi berinteraksi dan bergerak sosial, tetapi juga menjadi beban sosial manakala digunakan secara tidak bijak.
Pergeseran cara-cara berkomunikasi yang semakin multi dan intens, mengantarkan masyarakat semakin interaktif, tanpa mengenal batas waktu lagi. Lewat sifatnya yang perantara atau medium, pola komunikasi yang hangat tidaklah seutuhnya diperoleh. Meskipun munculnya beragam simbol-simbol emiticon sebagai upaya representasi kehangatan.
Justru dalam fenomenanya, interaksi yang berlangsung di media sosial akhir-akhir ini menuai konfilk baru yang tak terelakkan. Batas-batas berkomunikasi tidak dapat dibendung, karena komunikan menjadi yang lain daripada dirinya. Prinsip demokratis pun seakan diteguhkan dalam komunikasi berbasis internet, yang juga gilirannya menorobos sekat/kelas, dan secara vulgar beradu pendapat.
Fenomena di atas, tentunya bukanlah catatan baru untuk diketahui oleh para pustakawan. Isu semacam ini sudah menjadi hal yang disadari, bahkan dalam titik tertentu banyak pustakawan saat ini terlibat dalam upaya merespon apa yang disebut masyarakat informasi, atau juga digital age. Bahkan dikatakan kerja pelayanan informasi merupakan suatu keniscayaan bagi pustakawan dan menjadi bagian yang integral dalam perkembangan teknologi (teori) informasi.
Menyadari hal itu, maka tak ayal kita pun secara tidak langsung mempertaruhkan profesi pustakawan dengan beragam inisiatif dan inovasi yang menunjukkan eksistensi. Ketimbang larut dalam perbincangan yang politis di internet, tugas pustakawan agaknya memang perlu jam tambahan dalam arti mengamati perilaku informasi. Juga tak hanya menyaksikan atau meneliti perilaku penggunaan informasi (generasi net), tetapi merespon perubahan bentuk penelusuran informasi. Hal ini tak seharusnya dilakukan hanya dengan sosialisasi atau pun aturan-aturan yang dibuat di perpustakaan.
Pendekatan dengan beragam simulasi pada akhirnya merupakan konsekuensi yang dijalankan pustakawan. Menjangkau pemustaka dengan pendekatan negosiatif atau hubungan yang kompromi, dapat menambahkan panduan untuk perubahan perspektifnya. Akan tetapi karakter multipel dan fleksibel ini agaknya harus menyertai pustakawan yang ingin memerankan laku demikian. Relasi peer to peer pastinya merupakan aksesori yang melengkapi kekuatannya.
Menjadi pustakawan sepanjang hari tentu tidak dapat dilakukan dengan cara yang konvensional. Dibutuhkan bantuan aplikasi perpustakaan digital atau grup (komunitas) online yang memfasilitasi kebutuhan informasi pemustaka. Jika misalnya di Perpustakaan Umum telah ditutup hingga pukul 22.00 WITA, tidak berarti setelah jam itu kita berhenti belajar. Sebab aplikasi dapat diakses kapan saja. Relasi tatap muka lalu beralih dalam komunikasi termediasi oleh internet. Andakah pustakawan 24 jam?