Pustakawan Sebagai Fungsionaris?



Pustakawan sebagai subjek senantiasa perlu memeriksa identitasnya. Sejauh ada keresahan maupun tidak, upaya refleksi hendaknya dilakukan. Posisi dimana ia berada akan selalu memberi picuan dan pengaruh. Sebab itu responnya terhadap identitas tidak dapat dilepaskan dari organisasi yang melingkupi.

Jika kita memulai dari sebuah pertanyaan (yang mungkin juga banyak orang akan ajukan) apakah pustakawan adalah subjek yang bergerak dalam kesadaran fungsional di dinas perpustakaan? Ataukah pustakawan adalah objek dari kerja struktural yang ada?

Pertanyaan demikian mungkin akan menimbulkan silang pendapat. Maka tulisan ini sekaligus untuk menakar argumen yang akan saya kemukakan. Paling tidak, saya akan mengetahui kekeliruan berpikir yang terjadi, dan seharusnya bagaimana saya menyikapi kondisi yang demikian.

Berbicara kesadaran memang selalu bermula dari ketulusan hati yang teguh. Kesadaran ini tidak terikat oleh suatu aturan yang baku, tetapi mengakar dari suatu refleksi akan diri pustakawan. Maka aturan yang berlaku dalam perpustakaan hanya akan menjadi penegasan akan kesadaran. Namun tidak berarti semuanya akan sejalan apa yang dianggap benar oleh diri kita. Yang pasti kesadaran pustakawan merupakan suatu proses menyadari tugasnya atau mengetahui perihal kondisi (objek) perpustakaan.

Jika melirik pengalaman atau kondisi yang berlangsung, sebenarnya pustakawan punya segudang keresahan. Misalnya, adanya kesan birokratis dalam organisasi perpustakaan, kadangkala mempengaruhi fleksibilitas tugas fungsional pustakawan. Bahkan tugas tertentu akan terhalang dengan beragam kerja kedinasan yang sebetulnya tak wajib dilakukan. Bukannya tak relevan, namun ada domain kerja yang hendaknya dilakukan oleh ASN struktural.

Bayangkan jika pustakawan harus turut melakukan monitoring dan evaluasi ke semua jenis perpustakaan, sudah pasti waktunya akan terjeda untuk memaksimalkan layanan dan tetek bengek pengolahan. Ini berbeda dengan kegiatan pembinaan yang memang perlu digawangi oleh pustakawan, yang sekali-kali berkunjung ke lokasi binaan. Selain bahwa akan menambah angka kredit sang pustakawan, kegiatan tersebut juga sebagai upaya mentransfer pengetahuan dan strategi kepustakawanan.

Sering pula kita melihat pustakawan masih dianggap staf yang bisa diberi tugas apapun. Bukan hanya karena adanya faktor ‘nonteknis’ semacam usia pustakawan yang lebih junior (fresh), ketimbang ASN di suatu bidang atau seksi. Melainkan lebih kepada adanya klaim bahwa pustakawan yang lebih tahu soal-soal perpustakaan. Di beberapa kesempatan hal itu bisa dimaklumi sebagai koordinasi. Termasuk bila pengakuan ASN yang datang bahwa masih baru soal perpustakaan. Itu artinya ada upaya untuk mempelajari tugasnya secara bertahap. Selebihnya ada porsi masing-masing yang dikerjakan secara profesional.

Bukan berarti argumen tersebut pukul rata. Masih ada ASN struktural yang memahami alur yang semestinya dalam organisasi. Malah dalam taraf tertentu telah menunjukkan kolaborasi dan simpatik. Hingga jika dibawa ke dalam praktik manajemen pengetahuan, yang terjadi sudah pada tahap berbagi pengetahuan untuk menciptakan pengetahuan dan menggunakannya dalam suatu kegiatan perpustakaan.

Di satu sisi, keresahan pustakawan tidak mengartikan keengganan melakukan fungsi koordinasi. Sebab yang perlu dikondisikan adalah kepekaan saat kapan bisa dilibatkan dengan tidak. Justru sebenarnya pustakawan antusias dapat melakukan banyak hal sebagai penyaluran keterampilan sosial.

Dari latar di atas, hal ini menunjukkan adanya kesadaran pustakawan yang ingin beraktualisasi diri sebagai subjek yang profesional. Meskipun, di lain perspektif, orang bisa saja melihat organisasi yang ditempati pustakawan adalah organisasi struktural, bukanlah organisasi fungsional.

Sebagaimana memang dalam struktur ia tak berada dalam perpustakaan umum (yang juga tak disebutkan namanya). Karena itu juga, mungkin pustakawan dilihat sebagai objek dari kerja struktural yang ada? Akhirnya, bargaining-nya tidak sekuat profesi lain yang berfokus pada layanan publik dan kerja kultural. Jadi, apakah pustakawan dipandang fungsionaris?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *