Akhir-akhir ini saya banyak menonton acara talkshow dan panggung ilmiah. Yang menyita animo saya sebenarnya ialah pembicaranya yang betapa retoris. Argumennya bernas dan menyengat dalam merespon berbagai topik.
Saya memperhatikan mimik dan bahasa tubuhnya seakan padu dengan retorikanya. Ada kepercayaan diri yang meluap saat kata-kata sedang ia tuturkan. Jeda yang dibuatnya pun seakan mengajak untuk ikut mengernyit memikirkan suatu masalah.
Dari tontonan itu, rupanya diam-diam saya resapi dengan sebuah pengandaian “jika pustakawan adalah manusia yang retorik”. Agak ragu sebenarnya untuk memikirkannya lebih lanjut, hingga harus saya tuliskan pula di sini. Namun adagium bilang “tak ada yang tidak mungkin”, sepertinya akan saya coba berlakukan. Paling tidak dimulai dari tataran wacana.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan retorika dengan keterampilan berbahasa secara efektif atau seni berpidato. Sebenarnya jika ingin menggali lebih dalam, defenisi dan pemakanaan retorika itu akan beragam. Tentunya pengartian retorika yang saya terangkan akan berangkat dari keterangan KBBI. Maka ilustrasinya, saat pustakawan berbicara di sebuah panggung, kalimatnya disimak karena keterampilannya menyampaikan gagasan dan berbahasa secara efektif. Namun, saat kapankah (semestinya) pustakawan punya panggung untuk berpidato?
Pidato yang dimaksud adalah pidato di atas podium dengan ribuan pendengar, macam calon presiden menyampaikan pidato kebangsaan. Mungkin kesempatan itu jarang bila bukan pejabat struktural atau tokoh intelektual. Walaupun sebenarnya, pustakawan sebagai keahlian atau profesi yang diakui, tentunya punya kesempatan untuk tampil memberikan pencerahan melalui seminar (paper) atau widyaiswara untuk masyarakat tentang literatur. Artinya, panggung serupa bisa dihadirkan secara inisiatif pustakawan di perpustakaan.
Karena itu retorika di sini bukan melulu soal berpidato di panggung, melainkan pada kapan saja dimana komunikasi dan informasi akan disalurkan. Entah saat diminta jadi pembicara atau memberikan informasi melalui tulisan. Dalam keseharian pun, praktik retorika bisa digunakan untuk mempersuasi orang ke perpustakaan dan menerangkan pentingnya membaca.
Jika ditinjau, kemampuan beretorika tidak meluncur begitu saja, sebab terdapat pengetahuan yang menopangnya. Untuk itu, pustakawan musti membekali diri dengan segudang pengetahuan, tak hanya ahli menata ‘gudang’ pengetahuan. Saat pustakawan berpengetahuan (knowledgeable person), retorikanya dibalut oleh referensi yang diolahnya selama ini. Tak salah bila akhirnya karakter pustakawan tampak retorik.
Lompatan ini mungkin akan melebihi mobilisasi medium (benda) pengetahuan yang selama ini diwacanakan, sebab diri pustakawan kini adalah medium pengetahuanya. Kemampuan itu misalnya bisa dipakai saat pustakawan berbicara dalam diskusi-diskusi buku atau forum literasi. Seperti budayawan dan akademisi, boleh jadi pustakawan menjadi persona baru yang akan diundang dalam berbagai talkshow. Mungkin saja, suatu saat pidato kebudayaan diisi oleh sang pustakawan.
Keterampilan retorika memang bukanlah kompetensi utama dalam kepustakawanan. Tetapi kemampuan retorika dirasa penting manakala kita mulai berupaya berbagi pengetahuan dan menyadarinya sebagai keterampilan sosial dalam kerja-kerja kepustakawanan.