Sebuah perpustakaan haruslah dikenal oleh masyarakat. Sebabnya promosi merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan, baik melalui penyampaian lisan maupun media. Dan salah satu yang bisa dengan intens dilakukan yaitu promosi di media sosial.
Jika melihat perkembangan yang ada, sebenarnya sudah banyak perpustakaan yang aktif mempromosikan kegiatannya di media sosial. Nah, itu kalau lewat akun resmi instansi. Lantas, bagaimana dengan para pengelolanya, apakah sudah turut mengenalkan perpustakaan di akun pribadi?
Sebenarnya setiap individu berhak menentukan kebebasan dalam bermedia sosial. Jadi apapun yang disalurkan pengelola perpustakaan di media sosial itu adalah pilihan ekspresinya. Sama pula, tidak menandakan bahwa pengelola yang tidak menggencarkan promosi, dipastikan apatis dengan perpustakaan. Sebab boleh jadi ia melakukannya dalam saluran lain, atau aktif melibatkan warga berkunjung ke perpustakaan.
Kenyataannya, tak sedikit pengelola perpustakaan sering mengunggah aktivitasnya kala di perpustakaan. Ada yang malah aktif membagikan halaman atau tautan informasi perpustakaan yang ditempatinya. Termasuk ada yang giat bikin poster dan video ajakan membaca dengan siaran Youtube-nya.
Demikian halnya dengan biodata di profil mereka, ada yang menampilkan pekerjaan sebagai pustakawan/pengelola perpustakaan. Paling tidak secara implisit, pemilik akun menunjukkan kepercayaan diri akan profesinya sebagai pustakawan/pengelola perpustakaan. Jadi seperti kehidupan nyata, kita punya status yang bisa diketahui orang banyak (netizen) dan menjadi pengantar orang bisa memahami aktivitas kita dari postingan. Sekalian menyiratkan bahwa keberadaannya di media sosial merupakan cerminan dirinya.
Tentunya memang akan lebih progresif bila pengelola perpustakaan turut memanfaatkan media sosial untuk berbagi informasi perpustakaan dan pengetahuannya. Selain memperkuat citra selaku pengelola pengetahuan, juga meluaskan promosi dan melakukan transformasi layanan tanpa batas seputar perpustakaannya. Andaikata aktif menciptakan pengetahuan (knowledge creation) hingga berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di media sosial itu akan menjadi nilai plus, sebab itu telah melampaui tugasnya memobilisasi pengetahuan.
Melebarkan peran hingga ke media sosial memang akan menambah kerepotan baru. Sebab potensi untuk merespon setiap komentar sangat terbuka. Itu artinya ada pekerjaan tambahan yang sudah diprediksi. Boleh dikata, era informasi (berbasis digital) membuka kesempatan untuk transparan dan informatif, namun konsekuensinya adalah kesediaan membaca dan atau merespon setiap paparan yang terpublis.
Beberapa tokoh kepustakawanan yang saya jumpai di Facebook, dapat memberi teladan yang baik dalam sharing pengetahuan. Karena bukan saja informasi perpustakaan yang disebarnya, tetapi juga yang terkait dengan kajian informasi, arsip, dokumentasi, internet dan manajemen pengetahuan. Dari publikasinya, saya menjadi tahu ada kegiatan apa yang akan digelar serta artikel apa yang terbaru terkait pengembangan perpustakaan.
Lebih lanjut, pengelola perpustakaan yang menceburkan diri dalam media sosial, sudah selayaknya memikirkan perannya di ruang publik (media) baru ini. Hingga menyadari tanggungjawab moral menantinya sebagai teladan di era informasi saat ini. Maka saat gelombang hoaks menjelma, kehadirannya adalah angin segar. Mungkinkah?