Kehadiran ruang baca di suatu lingkungan potensial mempengaruhi orang-orang sekitar tersebut. Pengaruh yang diharapkan tentu saja ialah memacu minat baca mereka. Namun argumen positif semacam ini beroperasi bilamana pengelola ruang baca melakukan kreasi mengajak orang-orang memanfaatkan ruang baca itu.
Ada banyak model ruang baca yang saat ini bisa ditiru beserta praktik literasinya. Namun setiap upaya dan konsep sebaiknya didasarkan pada konteks. Karena itu literasi lokal yang digerakkan mempertimbangkan pendekatan kultural.
Di suatu desa agraris misalnya, warganya tidak semua memiliki waktu luang yang cukup untuk mengakses perpustakaan desa maupun layanan publik. Para pemuda dan lelaki yang telah berkeluarga lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun atau bekerja ladang. Pagi ia berangkat dan malam baru tiba di rumah. Demikian ibu-ibu rumah tangga yang tidak meninggalkan pekerjaan domestiknya di rumah. Lalu kapan mereka punya waktu ke perpustakaan?
Pada malam hari biasanya mereka meluangkan waktunya untuk beristirahat, menonton, atau bersosialisasi di luar rumah. Sesekali para warga bercengkrama di pos ronda, bermain domino di rumah tetangga. Intinya, malam memberikan kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkan. Maka pada waktu itulah yang memungkinkan mereka untuk sejenak membaca. Tapi adakah layanan membaca buka pada malam hari?
Sebab perpustakaan desa yang ada, jangankan dimanfaatkan masyarakat petani, para pelajar yang full day school, tak sempat ke perpustakaan desa karena tutupnya mengikuti jam kantor. Kecuali bila sekolah menjadikan literasi di luar sekolah sebagai bagian yang integral dalam mendorong budaya membaca.
Kondisi yang seperti itu, tidaklah berarti mengendurkan upaya mengajak warga membaca. Namun sejatinya mendorong gerakan literasi agar menjangkau warga lebih dekat secara intens. Salah satunya dengan menghadirkan bacaan melalui Kotak Baca di halaman rumah warga.
Konsep serupa sebenarnya sudah lama berlangsung di Amerika dengan Little Free Library sebagai gerakan berbagi buku (book-sharing movement). Di kabupaten Enrekang sendiri, beberapa titik di desa Karrang sudah tersedia semacam kotak buku (perpustakaan mini), salah satunya halaman rumah kepala desa. Juga baru-baru ini di Lampung terdapat konsep yang sama, yang medapatkan support dari PLN.
Tersedianya kotak baca di halaman rumah, akan memudahkan warga mengakses bacaan kapan saja. Warga yang semula hanya punya waktu luang di malam hari, nantinya dapat memanfaatkan kotak baca.
Selain itu, hadirnya ruang baca (perpustakaan keluarga) dapat membentuk keluarga yang pembelajar. Aktivitas membaca yang selama ini identik dengan kegiatan individual, mungkin akan menunjukkan peristiwa sosial dalam keluarga. Interaksi antar anak dan istri pun diselingi dengan membaca.
Terkait bacaan apa yang tersedia, di sini peran relawan literasi atau pengelola (perpustakaan desa) yang diberi tugas untuk menyediakan koleksi yang beracuan pada kebutuhan mereka. Pengelola mengidentifikasi berdasarkan masukan, karena pemilik rumah ada yang masih sekolah, pegawai atau petani. Masukan selanjutnya dapat sampaikan secara langsung melalui SMS atau menuliskan saran (memo) yang disimpan di kotak baca tersebut.
Tidak hanya menunggu, para pengelola sebaiknya aktif menghubungi melalui SMS atau berkunjung langsung menanyakan kebutuhan bacaan. Paling tidak dilakukan sekali dalam sebulan. Misalnya, Kotak Baca yang memuat 10 judul buku akan diperbaharui dengan bacaan lain yang diputar dari rumah lainnya. Jadi kotak yang menetap menanti pustaka bergerak dari rumah ke rumah. Mungkin pula pinjam-tukar buku akan berlangsung antar tetangga.
Supaya maksimal, konsep kotak baca ini harus dijalankan dengan konsisten. Sebab itu, pengelola perpustakaan desa dan relawan selayaknya mendapat dukungan penuh dari pemerintah desa. Jika perlu Kepala Desa setempat membuat kebijakan simultan yang mengajak warganya membuat tanaman obat, taman bunga, kotak P4K dan taman (kotak) baca.
Terakhir, kita dapat membangun jiwa kerelawanan dan saling menyemangati kepada setiap keluarga agar terus belajar. Barangkali, kita tak lagi terlalu membebani relawan dan pengelola perpustakaan bila setiap ‘keluarga berencana’ menanamkan sikap sukarela seperti budaya gotong royong.
Berikutnya, kita dapat membangun jiwa kerelawanan dan saling menyemangati kepada setiap keluarga agar terus belajar. Barangkali, kita tak lagi terlalu membebani relawan dan pengelola perpustakaan bila setiap ‘keluarga berencana’ menanamkan sikap sukarela seperti budaya gotong royong.
Saya percaya masyarakat agraris bukan subyek yang pasif ketika paham arti membaca. Mereka pun punya niat dan potensi mandiri. Mungkin.