Tak ada ruang publik yang sebebas perpustakaan. Apapun yang menjadi bahasan sedianya bisa dilakukan di situ. Seumpama televisi, kita bisa meremotenya sesuai minat dan kebutuhan. Menyaksikan tayangan apa saja di waktu-waktu tertentu. Pagi hari menonton politik, malamnya menonton sinetron. Ets, itu bayangan saya.
Di perpustakaan umum, remote semacam itu belumlah berada di tangan pemustaka, melainkan masih dipegang dinas perpustakaan. Selain bahwa birokrasi bergerak hierarkis, juga karena upaya fleksibilitasnya terpengaruh oleh aktivitas perkantoran atau kedinasan yang tampak normatif. Apalagi bila perpustakaan umum yang sejalin dengan dinas tersebut kurang membuka diri.
Jika terjadi demikian, tak ayal pustakawan pun harus berkreasi. Untuk memulai kreasi, beberapa hal yang menjadi catatan soal mengapa perpustakaan umum belum sebebas yang dibayangkan.
Pertama, perencanaan pada suatu program belum dilakukan dengan melibatkan kebutuhan pemustaka secara intensif. Hanya pada saat pengadaaan bahan pustaka, mereka dimintai masukan terkait koleksi apa yang dibutuhkan. Itupun tak berarti semua koleksi berdasarkan masukan. Sebab dalam pengembangan koleksi, banyak kriteria yang harus dipertimbangkan sebagai aturan.
Selebihnya, untuk program lain, itu masih dirancang berdasarkan pembacaan atau telaah instansi. Terkadang, program yang tersusun kurang memperhatikan urgensinya, karena adanya semacam keyakinan (sepihak) bahwa inilah yang dibutuhkan oleh mereka. Klaim ini seharusnya diuji, paling tidak melakukan konfirmasi, sehingga tak terkesan program semata.
Walaupun di sisi lain, ketakmampuan pemustaka memberikan masukan perihal apa yang baik untuk difasilitasi pada mereka, juga pada akhirnya kembali bertumpu pada kemampuan pustakawan menerjemahkan suatu kondisi mereka. Soal ini tak akan berurusan dengan konfirmasi kebutuhan, tetapi lebih kepada pengetahuan yang dimiliki.
Jika saat ini pengembangan perpustakaan umum berbicara konsep inklusi sosial, secara implisit sebenarnya membuka ruang partisipatoris bagi pemustaka. Bagi saya, inklusi sosial dapat dibilang setala dengan pembentukan ruang publik. Ruang dimana orang-orang dapat merumuskan agenda yang dibutuhkan dan terlibat dalam pelaksanaannya.
Perpustakaan umum yang berciri partisipatoris ini akan memberikan kesempatan yang luas bagi pemustaka untuk terlibat aktif dalam agenda bersama. Mereka secara sukarela mengajak masyarakat datang ke perpustakaan umum dan tampil sebagai motivator literasi untuk yang lainnya. Anggaplah saat akan menentukan topik Bincang Buku, maka setiap orang dari pesertanya akan terlibat.
Tak hanya pemustaka, tetapi perpustakaan umum juga bisa menjalin kolaborasi dengan berbagai komunitas-komunitas dan mengajak mereka memusatkan kegiatannya di perpustakaan. Dengan keterlibatan mereka, perpustakaan pun dapat dihiasi dengan beragam aktivitas belajar dan diharapkan membangun kultur literasi. Tentunya perpustakaan umum perlu memberikan support yang memadai dalam pelaksanaannya.
Adanya partisipasi dari pemustaka dan komunitas memang sebaiknya ditampung dengan jalinan kolaboratif. Memberi jalan kepada mereka menyusun strategi literasi, seakan perpustakaan adalah rumah mereka sendiri. Menciptakan trust dan sinergi literasi. Sudah barang tentu pustakawan beserta para pegawai dinas perpustakaan harus merajut interaksi yang cair dengan partisipan-relawan.