Inspeksi dan Arti Sebuah Kehadiran Bagi Pustakawan



Sebagai pegawai, kedisiplinan merupakan hal yang wajib. Apalagi pegawai yang berada pada instansi layanan publik seperti perpustakaan. Kehadiran menjadi hal yang utama. Tanpa itu, tentunya tak akan ada aktivitas maupun diskusi, apalagi bicara progresivitas.

Maksimalnya datang pagi 07.30, pulang sore 16.00. Secara formal memang sudah diatur, namun tidak selalu dapat dipenuhi. Ada banyak alasan manusiawi dengan keterangan tertentu.

Liburan yang lalu, saya kembali melihat peristiwa lumrah yang berbentuk inspeksi mendadak (sidak). Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, sebab hal ini sudah bisa diantisipasi. Yang sering terjadi biasanya jika hari kerja ‘terjepit’ oleh hari libur. Anggaplah libur hari kamis dan jumat kembali masuk bekerja, sementara sabtu akan libur lagi. Bayangkan jika liburnya mulai dari hari kamis hingga minggu, kan lumayan. Selain itu, sidak juga terjadi pada hari pertama kerja setelah libur panjang.

Selama menjadi pegawai, sebenarmya saya belum melihat inspeksi mendadak benar-benar terjadi. Sebab sidak ternyata hanya ada pada waktu setelah libur. Itu artinya sidak bisa diketahui. Seringkali malah informasinya sudah diketahui sehari sebelumnya. Karenanya masih ada celah untuk hadir sekedar formalitas belaka. Rajin hadir saat akan disidak. Hal ini tentu saja berbeda dengan defenisinya.

Idealnya, inspeksi mendadak pimpiman daerah di suatu instansi dilakukan tanpa diketahui. Bila ingin melihat bagaimana sesungguhnya suatu aktivitas yang berlangsung di sana. Maka seharusnya bisa dilakukan kapan saja, entah saat jam kerja pagi ataupun sore.

Saya beberapa kali termasuk orang yang tersangkut dengan sidak ini. Celakanya karena ketidakhadiran saya justru pada saat jam sidak. Hal yang demikian sebenarnya tidak pernah saya persoalkan. Karena setelah sidak, saya harus melanjutkan pekerjaan. Seakan saya tak punya jeda untuk memikirkan urusan tanda tangan atau segala macam kekhawatiran. Makanya saya kadang merespon sidak dengan santai, kadang pula merasa khilaf. Yang menjadi pelipur, paling-paling ketika saya sejenak membayangkan bahwa sebetulnya saya selalu hadir pagi hingga sore.

Saya pun berpikir, saat inspektur upacara ‘jengkel’ ketika upacara pesertanya sedikit yang ikut, sebaiknya luapan itu bukan disampaikan kepada peserta yang hadir, tapi kepada yang tidak hadir. Hanya memang belum tentu yang selalu ikut lebih rajin berkantor atau produktif bekerja.

Soal upacara rutin ini, saya sering bertanya-tanya mengapa pustakawan pun harus ikut, tidakkah selayaknya seperti dokter atau fungsional lainnya yang stand by melayani publik sejak jam kantor dimulai.

Bagi saya, kehadiran berkantor, paling tidak merupakan faktor pemicu untuk meningkatkan kesadaran kerja. Formalitas pun bisa dikurangi saat kita mengisi kehadiran itu dengan saling memotivasi. Intinya kedisplinan ini akan berkorelasi dengan adanya pekerjaan yang dilakukan setiap hari, sekalipun hanya sedikit.

Motivasi orang mungkin berbeda, namun saya menganggap kehadiran adalah kewajiban. Tidak hanya kewajiban sebagai pustakawan, tapi kewajiban melakukan pekerjaan dengan tulus dan progresif. Dengan kehadiran, saya pun bisa mengerjakan segala hal sesuai agenda.

Dan besok saya akan hadir dalam kesungguhan. Karena setiap buku menantiku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *