Hoaks dan Respon Pustakawan



Hari-hari ini istilah hoaks seakan menjadi seksi. Ia bahkan sering menjadi topik di berbagai media. Peringatannya bisa dijumpai melalui spanduk, poster maupun siaran televisi.

Isu ini makin melonjak saat bahasan politik kian memanas. Soalnya banyak yang khawatir hoaks dapat menganggu ketertiban pemilu yang sebentar lagi akan digelar.

Hoaks di era Informasi memang tak dapat dielakkan. Mungkin pula inilah keniscayaan dari apa yang disebut dengan masyarakat informasi. Jika diibaratkan, hoaks semacam perilaku manusia (di dunia nyata) yang memutarbalikkan informasi. Ada maksud terselubung yang dilakukan orang-orang dengan motif tertentu. Pelakunya menyadari bahwa media adalah instrumen yang dapat membangun opini publik.

Suatu informasi memang tidak seharusnya diterima secara permisif. Idealnya, kita harus melakukan analisa sebelumnya. Proses ini memerlukan sikap kritis dan selektif. Apalagi jika informasi akan dibagikan ke orang lain. Sebab saat ini, orang seakan berlomba-lomba berbagi informasi, yang kerap tidak sempat dibacanya.

Jika kita mendapatkan informasi terkait politik, maka sebaiknya digali lebih dalam. Namanya politik, banyak spekulasi yang beredar. Jika perlu memandangnya secara objektif, bukannya mengandalkan subjektifitas.

Lantas bagaimana semestinya pustakawan merespon hoaks ini? Selain yang telah disebutkan di atas. Ada beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan pertimbangan.

Pertama, pustakawan harus memaknai fungsinya sebagai penyedia layanan informasi yang bersandarkan pada nilai-nilai objektivitas dan kesetaraan. Ada juga yang sering berpendapat pustakawan harus netral dalam layanan informasi. Walaupun pendapat tersebut memang masih bisa diperbincangkan. Sebab apakah benar pustakawan mampu netral atau menunjukkan keadilan informasi?

Kedua, menjunjung prinsip setiap informasi adalah pelajaran dan setiap pengaksesnya musti mempelajari. Artinya entah informasinya hoaks atau valid, tetap dibutuhkan kemampuan untuk mengenali informasi. Perihal ini sejalan dengan bersikap kritis dan selektif.

Ketiga, membekali masyarakat dengan kemampuan literasi informasi dan literasi media yang diarahkan untuk memfilter dan memahami hoaks. Fasilitasi kegiatan ini penting untuk dilakukan oleh pustakawan. Jika memungkinkan dapat dilaksanakan secara berkala untuk pemustaka.

Sebenarnya banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk menangkal hoaks. Dan nyatanya ini menjadi tugas terkini para pekerja informasi, tak terkecuali pustakawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *