Saat Purnabakti, Esok Belajar lagi



Tak ada yang benar-benar selesai. Bergerak terus maju adalah keniscayaan manusia. Hanya jika tubuh ditinggal jiwa, manusia tuntas dari dayanya. Selagi nafas berhembus itulah, manusia adalah potensial.

Hari ini di atas motor yang melaju, saya berbincang dengan seorang kawan tentang istilah pensiun dan juga usia. Kebetulan hari ini saya menghadiri acara perpisahan rekan kantor yang pensiun.

Sebuah cerita yang dilontarkan oleh kawan saya. Katanya begini, ia sering menemukan fakta di lingkungan kerja, para pekerja yang sudah berusia lanjut pasrah dan mengalah dengan usianya. Ketika diajak untuk mempelajari sesuatu, serahan tanggungjawab tertuju kepada yang muda. Sementara daya berpikir juga dikatakan berkorelasi dengan daya fisik untuk melakukannya. Intinya faktor usia seringkali jadi alasan yang entah kenapa berlaku bagi banyak orang

Soal ini memang dilematis dalam kerja-kerja yang menuntut profesionalisme. Penghormatan yang terberi kadangkala bukan soal fungsionalitasnya.

Peristiwa yang diceritakan kawan saya itu, terjadi pada saat melakukan pembinaan terkait pengelolaan perpustakaan berbasis TI. Hampir dikata keinginan untuk berpikir dibatasi, atau juga karena tidak ingin terlalu repot mengurusi hal yang baru. Meskipun sebenarnya masih banyak orang yang usianya tidak muda lagi, tapi mampu menunjukkan produktivitas. Ada yang bahkan mengikuti tren teknologi dengan baik, dan mereka ini digital imigran.

Saya pun pernah suatu kali mendapati orang yang lebih tua (meskipun tua sedikit) dari saya melimpahkan urusan bersama hanya karena alasan fresh graduate. Sungguh agak berat sebenarnya, namun kerendahan hati kadang takluk dengan prosedur dan takzim pada senioritas. Saya pun seringkali melihat beberapa orang yang tertumpuk banyak pekerjaan yang sebenarnya bukan tugas utamanya.

Saya berpendapat, saat kita berbicara di perpustakaan, sejatinya usia bukanlah dalil yang menghentikan diri belajar. Makanya agak riskan bila orang di perpustakaan yang mendorong terciptanya masyarakat pembelajar (sepanjang hayat) harus berserah pada usia. Filsuf dari Yunani, Socrates, dimasa tuanya saja masih belajar musik. Lantas ada yang bertanya, “Apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Socrates bilang “Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua.”

Usia memang kodrati, tapi tak seharusnya menjadi dalih. Paling tidak, kemauan terus belajar tidak tertutup dengan stigma diri yang seperti itu. Kawan saya pun bergurau nembayangkan seandainya pensiun itu berlaku bukan karena usia, tapi saat mereka tak lagi produktif. Tafsirnya mungkin luas, tapi beberapa kondisi mungkin konkret. Seperti saat melihat kinerja yang tak berkonstribusi bagi lembaga. Tentunya ketegasan semacam itu masih sebatas wacana.

Ada banyak sih yang pensiun dini dari sebuah kantor, tapi cenderung bukan karena ia tak produktif, justru karena prinsip kerjanya terusik. Juga mungkin karena ingin beralih dari zona nyaman yang membekapnya. Memilih mulai dari awal lagi suatu pekerjaan, yang pastinya berdasarkan dambaan. Namun sangat sedikit yang memilih hal demikian di tengah lapangan kerja yang minim.

Saat ikut pelatihan Training of Trainer Pengembangan Perpustakaan di Bali tahun lalu, saya mendapatkan tugas yang membahas tentang bagaimana perpustakaan memfasilitasi pensiunan. Saya didaulat melakukan role play (bermain peran) dengan menjadi presenter untuk memotivasi para pensiunan agar produktif di masa pensiun mereka. Dari sana pun saya memahami bahwa pensiunan pun harus berdaya dan mampu melakukan usaha di masa tuanya. Bagi kepentingan perpustakaan, juga bisa menjadikan mereka sebagai tokoh yang mengajak orang berkunjung membaca dan berkunjung ke perpustakaan.

Akhirnya, pensiun itu juga niscaya. Entah pensiun sebelum ambang batasnya atau lebih dini. Tinggal memilih saja mau jadi purna dengan bakti dan karya yang maksimal. Yang pastinya teruslah belajar sepanjang hayat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *