Akhiri Tahun dengan Membaca Pembaca



Ada resah saat perpustakaan umum tak dipenuhi dengan nuansa membaca dan diskusi. Seakan sepi jadi stigma yang tak pernah pudar dari perpustakaan.

Konsep perubahan telah banyak diajukan, hingga diprogramkan. Namun terkadang, lompatan pengembangan perpustakaan lalai dengan sendirinya dari penguatan budaya membaca.

Memang transformasi ruang baca untuk segala aktivitas positif bisa dilakukan, namun titik berangkatnya mustilah membaca. Konsep menyerap pengetahuan bisa ditemukan dalam berbagai medium, entah dalam pelatihan maupun kegiatan lainnya. Hanya rupanya sungguh kurang elegan bila pengembangan budaya baca justru tertinggal tanpa sengaja. Kecanggihan perangkat dan wacana pun belum seprogresif dengan kecanggihan mengembangkan budaya membaca.

Saya merasakan banyak kritik yang diajukan dari luar perihal ini, yang tidak secara langsung dikemukakan. Dan kepekaan itu pun tidak datang begitu saja bila kita tak berusaha mengamati peristiwa literasi yang berlangsung.

Di sekeliling kita ternyata banyak kegiatan yang agaknya berfungsi sederhana tapi jelas bergerak mencari calon pembaca. Jika disadari, kegiatan seperti itu sebenarnya menggugah, yang ternyata juga memantik saya untuk melihat identitas diri dan tempat di mana saya bergiat.

Kini di banyak wilayah, termasuk perpustakaan umum Enrekang dikembangkan dengan cara inklusif, yang mengajukan diri untuk memfasilitasi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Bagi saya, rasanya agak sulit untuk menikmati sejumlah kegiatan pelibatan masyarakat jika tak melahirkan pembaca-pembaca dan kultur membaca. Idealnya pergeseran paradigma layanan perpustakaan mustilah tuntas dari pondasinya, bukannya bergerak sentrifugal (menjauhi ‘pusatnya’).

Juga bukannya mendefenisikan perpustakaan hanya tempat para pembaca tulen atau kalangan tertentu, sehingga terkesan ekslusif. Namun tugas perpustakaan seyogyanya berupaya menjadikan pembelajar yang tak berhenti puas diri. Karena perubahan itu niscaya di era yang disruptif, yang boleh jadi menuntut untuk terus belajar (membaca).

Saya pun menyadari kebutuhan masyarakat dalam perubahan hidup yang praktis memang sangat dibutuhkan. Masalah kesenjangan ekonomi rakyat bahkan dijadikan sebagai prioritas pemerintah di berbagai sektor, termasuk perpustakaan. Makanya perpustakaan pun didorong berperan dalam visi literasi untuk kesejahteraan.

Saya membacanya, program seperti itu juga mengajak kita untuk move on dari persepsi impak jangka menengah dan panjang dari aktivitas membaca. Jadi ada upaya jangka pendek yang musti dihasilkan, misalnya melalui literasi informasi terapan yang menyediakaan bacaan tutorial. Mengukurnya tidak lagi soal banyaknya pengunjung mengakses perpustakaan, tapi seberapa banyak yang menerima manfaat suatu layanan dan perubahan hidup yang lebih positif.

Tentunya saya mengetahui program seperti itu, sebab saya terlibat di dalamnya sebagai fasilitator cum trainer. Dan apa yang telah saya kerjakan dalam program ini haruslah saya evaluasi. Paling tidak saya berkesempatan membaca kondisi apa yang berubah dan tertinggal saat suatu program dioperasikan.

Tidak ada yang salah dalam konsep pengembangan perpustakaan tersebut, namun tentunya sekali-kali patut rasanya kita membuka catatan kuantitas dan kualitas orang membaca.

Ataukah, mungkin tak ada yang sempurna dapat kita lakukan secara simultan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *