Ketika Gerobak Kopi di Depan Perpustakaan Umum



Ada rasa yang berbeda saat bekerja ditemani dengan segelas kopi. Demikian halnya jika sedang membaca buku. Apalagi jika berada di waktu sedang mengantuk berat, maka kopi pun seakan menemukan gilirannya.

Jika diamati banyak ternyata pembaca buku yang suka dengan kopi. Manalagi rasa pahit kopi dan seduhan panasnya memang tidak untuk sekali teguk, jadi cocok bila dijadikan teman membaca. Tentunya agar pembaca tertahan dari kantuknya. Apalagi tak sedikit orang yang bilang membaca mendatangkan kantuk. Malah ada yang suka memancing dirinya supaya tidur dengan membaca.

Maka kopi pun hadir bak penawar bila terjadi membaca dapat menyebabkan mengantuk. Di balik itulah, kopi menjadi suplemen sekaligus membantu daya tahan membaca. Karena itu, cocok sekali Gerobak Gila Kopi muncul depan kantor Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang.

Paling tidak jika pemustaka mulai kendor karena ngantuk, sajian kopi bisa mereka dapati dengan praktis. Tinggal mereka akan memilih antara ngopi dulu lalu membaca, atau ngopi sambil membaca. Ada dua pilihan, membacanya di gerobak kopi, atau meminta izin ke petugas sirkulasi untuk membaca sambil minum kopi dengan syarat yang diberikan. Mungkin ada bertanya kok harus lapor? Iya, supaya petugas merasa yakin pemustaka diberi kebebasan yang esensinya menunjang kenyamanan membaca.

Memang sih, tidak perlu ada aturan yang terlalu ketat untuk soal itu. Namun tentunya setiap pemustaka perlu tertib agar layanan terjaga. Itu demi siklus pelayanan bagi pemustaka sendiri. Karenanya konsep perpustakaan umum yang inklusif pun memang harus menununjukkan nilai kesopanan dan kenyamanan bersama (egaliter).

Kembali ke soal gerobak kopi tadi. Menariknya, juga disediakan beberapa buah buku di situ yang bisa dijamah. Jadi sebenarnya, kesadaran literasi pemilik gerobak juga tinggi. Maklum, perkenalannya dengan perpustakaan dan pegawainya sudah cukup lama. Menu itu bisa jadi alternatif, minimal sembari menanti pelanggan atau menghabiskan kopi.

Dari sana pun tersirat pesan bahwa kopi sangat cocok dengan buku, perpustakaan, atau aktivitas berkantor. Letaknya juga dapat dibilang strategis, sebab dapat memicu masyarakat untuk mulai membicarakan perpustakaan. Paling tidak orang akan menunjuk lokasi gerobak itu ada di depan perpustakaan, yah kan? Atau setidaknya pustakawan tak harus bikin kopi di dapur kantor atau keluar ke cafe. Eh, tapi namanya gerobak, yah mungkin akan bergeser kalau baristanya ingin cari suasana baru.

Hal lainnya, juga ada persandingan antara cara membaca di ruang terbuka dengan ruang tertutup. Tinggal memilih yang mana asyiknya. Tapi sekali lagi kopi hanyalah medium penawar, yang utama adalah membacalah.

Untuk saat ini, kopi yang saya pesan belum jadi kawan membaca. Cuman sudah menemani dalam kegiatan entri katalog dan scan cover buku yang kerjanya terbilang cukup padat. Beberapa kawan laki-laki plus seorang perempuan pun juga melakukan hal yang sama. Biasanya jika memesannya di pagi hari, habisnya di sore hari. Cukup praktis sebab bisa dibawa dalam bentuk cup. Dan cukup menyiapkan uang Rp. 12.000 untuk mencicipi sepanjang jam kantor.

Besok, rencananya jika kesibukan pengolahan katalog sudah beres, saya akan pesan kopi hanya untuk membaca dan menulis. Mungkinkah ada waktu? Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *