Manajemen Pengetahuan Sebagai Upaya Reformasi Birokrasi

Pengetahuan manusia merupakan modal penting dalam organisasi saat ini. Sumber pengetahuan yang dimiliki bermula dari pengalaman dan praktik baik yang dilakukan setiap orang. Organisasi yang berkarakter maju tentunya mampu mengelola pengetahuan manusia. Namun untuk mengelolanya diperlukan kebijakan dan perangkat yang mendukung proses berbagi pengetahuan.

Pelembagaan pengetahuan individu malahan dianggap sebagai asset organisasi. Hal ini dapat dipahami, karena informasi di era digital saat ini kian mudah diakses. Keterbukaan informasi tersebut selanjutnya mendorong orang memiliki pengetahuan dan keterampilan. Maksud dari organisasi mengelola pengetahuan (knowledge management) ialah mendorong organisasi bekerja secara efektif, inovatif dan menjadi pembelajar.

Pentingnya manajemen pengetahuan dalam organisasi ini juga disadari oleh pemerintah Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) No 14 tahun 2011 tentang Pedoman Penerapan Manajemen Pengetahuan. Meskipun banyak lembaga/organisasi pemerintah belum mengikuti peraturan tersebut. Sebab itu pula, menjadi tantangan kedepannya agar pedoman tersebut dapat ditindaklanjuti. Diperlukan komitmen yang kuat dari pimpinan di berbagai instansi pemerintah jika ingin mewujudkan konsep tersebut sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi.
Pedoman itu sudah secara detail menunjukkan bagaimana pengetahuan dikelola. Termasuk di dalamnya bagaimana individu berbagi dan menyimpan pengetahuan dalam sebuah aplikasi atau sistem manajemen pengetahuan. Dengan berbasis pada pengetahuan, organisasi dapat mengambil setiap ide dan inovasi tanpa harus mengetahui individu yang memasukkan pengetahuan. Karena itu pegawai tidak akan segan untuk menyampaikan input, sehingga pola hirarkis atau birokratis tidak menjadi hambatan.

Pengetahuan yang sudah didapatkan organisasi sudah seharusnya disebarkan dan diaplikasikan. Proses menyebarkan ini sebenarnya semakin mudah dilakukan dengan teknologi komunikasi, misalnya melalui facebook, messenger ataupun whatsapp. Hanya saja, tidak semua orang dapat meluangkan diri dan mampu menyerap pengetahuan. Demikian halnya kemampuan setiap orang berbeda dalam berbagi dan memahami pengetahuan.

Hambatan lain dalam berbagi pengetahuan ialah tidak adanya pertemuan yang dilakukan secara berkala dan didokumentasikan dengan baik. Apalagi setiap individu tidak selamanya ingin berbagi jika tidak diminta atau dibuatkan forumnya. Maka peran manajer/pimpinan penting memantik setiap individu untuk mengeluarkan ide dan aspirasinya dan mampu mengelolanya menjadi sebuah pengetahuan organisasi. Dengan begitu, ada penghargaan yang diberikan dalam proses berbagi. Soal apa yang relevan dikemukakan tentunya menjadi diskusi yang akan memunculkan peluang penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Pola ini turut meretas penguasaan pengetahuan oleh individu tertentu yang seringkali dianggap memonopoli dalam organisasi.

***
Di berbagai forum ilmiah perpustakaan saat ini, manajemen pengetahuan menjadi topik pembahasan. Itu artinya manajemen pengetahuan memiliki relevansi dengan kegiatan perpustakaan. Bahkan banyak insan perpustakaan mengatakan bahwa manajemen pengetahuan adalah bagian yang integral dalam aktivitas kepustakawanan selama ini. Pandangan lainnya, justru melihat manajemen pengetahuan hanyalah istilah baru dari praktik yang selama ini berlangsung di perpustakaan.

Pada dasarnya, pandangan tersebut lebih melihat pada urusan teknis mengelola pengetahuan yang telah dimediakan, yang dalam konsep manajemen pengetahuan dikatakan sebagai excplicit knowledge (pengetahuan eksplisit). Sementara dalam manajemen pengetahuan, juga melihat bagaimana tacit knowledge (pengetahuan tacit), yaitu tentang bagaimana pengetahuan yang tersimpan dalam diri setiap pegawai perpustakaan dapat terbagi menjadi pengetahuan bersama untuk selanjutnya digunakan dalam organisasi,

Sebagai lembaga yang mengelola pengetahuan, perpustakaan tentunya memiliki modal yang melimpah terhadap akses pengetahuan. Walaupun tidak lantas para pekerja di perpustakaan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk diolah untuk kepentingan organisasi. Artinya pengetahuan tersebut baru menjadi aset layanan publik, belum diserap dalam internal (pekerja) perpustakaan. Kadangkala padatnya kerja mobilisasi pengetahuan ke masyarakat membuat pekerja di perpustakaan, tak sempat mengakses pengetahuan. Jika tidak, mungkin juga karena tidak adanya budaya organisasi dalam membentuk kultur pembelajar.

Salah satu capaian dalam manajemen pengetahuan yaitu membangun organisasi yang pembelajar (learning organization). Hal itu sejalan dengan prinsip perpustakaan yang senantiasa bergerak mengikuti perubahan dan perkembangan IPTEK. Bahkan dewasa ini, perpustakaan diarahkan bertransformasi dengan mengikuti pembangunan nasional yang berkelanjutan. Maka sangat penting perpustakaan menciptakan organisasi yang terus belajar dan berinovasi melalui pemanfaatan pengetahuan yang dimilikinya.

Penerapan manajemen pengetahuan di perpustakaan juga dapat dimaknai bahwa para pekerja di perpustakaan adalah pekerja pengetahuan (knowledge worker) yang sesungguhnya. Atau jika disebut pustakawan, sebenarnya bukan karena ia sekedar terampil atau ahli mengelola pengetahuan, tetapi karena menggunakan pengetahuan untuk kebutuhan inovasi dan organisasi. Maka praktik manajemen pengetahuan pun dapat melahirkan sebuah karya, jasa/layanan bahkan perubahan kebijakan, sekaligus merupakan revitalisasi perpustakaan.

One thought on “Manajemen Pengetahuan Sebagai Upaya Reformasi Birokrasi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *