Gerakan Tagar dan Respon Pekerja Informasi



Membaca memang tidak selalu identik dengan kalimat yang panjang. Perkara membaca adalah bagaimana menyerap kata dengan refleksi, tak ditentukan jumlah karakter (kata). Itu artinya sependek apapun kata, ia terbungkus dalam konteks yang mungkin memerlukan analisis mendalam. Maka tak seharusnya mudah tergiur kata-kata untuk mewakili posisi kita. Sama bila sekedar ingin membagikan tautan. Sewajarnya sikap kita tidak sependek itu, atau secepat ketukan enter.

Hari-hari ini kita disuguhi banyak kalimat pendek yang menyita perhatian. Gerakan tagar yang bertebaran di berbagai medium saat ini, menjadi permainan kata yang begitu serius. Dari tagar menuju jejaring sosial, lalu menuai peristiwa massa. Membaca tagar seperti itu, seakan meringkas opini dalam satu tekanan. Demikian pula akhirnya, terkadang kita memangkas pembacaan. Fenomenanya nampak krusial, sebab aksi tagarnya adalah lambang dari sikap politik dalam barisan tertentu. Lalu kita permisif merangkumnya sebagai sikap bersama.

Tagar ibaratnya virus yang ingin diperluas. Bahkan tujuannya seringkali untuk viral. Ia seperti voting yang butuh legitimasi. Cara yang dianggap paling murah menyita simpati, dan dianggap efek yang demokratis. Tak masalah jika sikap terbentuk bukan sekedar memenuhi hasrat viral. Bila itu yang terjadi, maka tak ubahnya sebuah iring-iringan semata yang hanya menampilkan irisan.

Kemudahan meneruskan pesan dengan tempo yang singkat dapat pula dipahami sebagai isyarat partisan. Orang menjadikan tautan artikel sebagai bahan pembenaran, yang kadangkala terkesan ingin menggugah.

Bayangkan kala seseorang yang tersakiti hatinya, nemilih mengirimkan tautan artikel yang menopang keresahannya. Dianggapnya artikel itu cocok untuk mengajarkan seseorang untuk intropeksi dan refleksi diri. Pengunaan informasi seperti itu tentunya memiliki konstribusi, tetapi tidak selamanya memberikan makna, pun menyelesaikan persoalan.

Sikap Pekerja Informasi

Sebagai pekerja (professional) informasi atau information professionals, kita mungkin punya segudang kosakata untuk menengahi percakapan publik. Tentunya dengan bendahara pengetahuan yang cukup. Tapi sikap kita harus diuji dulu dalam praktik mengurus pengetahuan. Ujian pertama baginya ialah bagaimana menyuguhkan pencerahan yang egaliter dengan semangat membangun budaya kritis.

Maka cukup aneh bila seorang pekerja informasi, nampak begitu antusias mengambil posisi yang terbelah secara politik. Sayangnya, beberapa orang yang diketahui sebagai pekerja informasi, bahkan secara terang-terangan berpihak. Pengaruhnya mungkin tidak menonjol, tetapi menyusutkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsinya berada dalam lembaga informasi/pengetahuan. Lembaga yang harusnya dia gunakan untuk memberikan penyadaran akan penting berpikir tajam dan teliti.

Rasanya tidak elegan mengekalkan ketidaknetralan seperti itu. Pandangan yang diterbitkan bukan bermula dari dikotomi yang dijelaskan secara berimbang dan objektif. Ada semacam keraguan untuk menempuh jalur penengah. Banyak diantaranya yang khawatir tak mendapatkan tempat.

Yang perlu kita lakukan selain memasuki ranah daring (internet) dengan visi pencerahan ialah berusaha menghadirkan pertemuan langsung dalam ruang diskursus. Di daring mungkin muncul beragam persepsi karena tidak melihat langsung persitiwa. Namun di ruang diskusi, ada persepktif yang bisa betukar secara guyub sehingga akan menampung perbedaan dengan bijak. Dapat dikatakan, kecenderungan membicarakan problema yang viral, bisa direspon dengan menyediakan ruang diskurus oleh lembaga informasi/pengetahuan. Walaupun juga dapat dibuka di ruang-ruang publik oleh para pekerja informasi dan atau komunitas intelektual.

Tantangan era digital saat ini, mau tak mau menjadi perhatian para pekerja informasi, termasuk “pekerja pengetahuan” (knowledge worker). Sebuah pengetahuan yang konstruktif bisa saja digali secara aktif oleh orang tertentu, namun juga harus disebarkan secara inisiatif. Dengan memobilisasi pengetahuan diharapkan mampu mengimbangi informasi yang bias, sekaligus menjadi bacaan alternatif dalam melihat fenomena secara positif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *