Agroliterasi, Praktik Literasi dalam Agropolitan



Beberapa tahun lalu kabupaten Enrekang mengusung identitas sebagai agropolitan. Sebuah konsep yang mengaplikasikan wilayah pertanian dengan sistem dan usaha/ekonomi berbasis pertanian, dalam arti yang luas. Disebut agropolitan bilamana kawasan tersebut tersedia fasilitas yang mendukung pertanian, layaknya fasilitas di perkotaan. Karena itu, kawasannya meliputi kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian.

Lewat konsep ini, pengembangan ekonomi dirancang mendorong agribisnis untuk kemajuan daerah. Sebab itu, sistem agribisnis merupakan elemen yang penting. Kegiatan agribisnis meliputi usaha pertanian dari hulu sampai hilir, dari menyediakan bibit hingga peralatan/teknologi pertanian.

Konsep agropolitan mengisyaratkan kemandirian ekonomi lokal dan kemerataan pelaku usaha. Hal ini berbeda tentunya pada industri di kota-kota besar, seperti manufaktur yang menghasilkan produk yang massal. Karenanya perekonomian ala agropolitan sejatinya adalah sistem yang memberdayakan kultur agraris yang unik dan khas.

Menjadi agropolitan tidak berbicara hanya dalam pengertian ekonomi semata, tapi juga dapat menuntun kearifan dan refleksi dalam aspek lingkungan hidup, kultural, sosial dan politik.

Kreativitas dalam Pertanian

Potensi kabupaten Enrekang untuk sektor agroindustri memang masih cenderung berbasis industri rumah tangga. Sehingga yang dominan adalah pelaku usaha kecil, mikro dan menengah. Walaupun jika dilihat, beberapa pangan Enrekang yang melimpah, sudah cukup bisa diolah untuk menghasilkan produk dalam industri skala besar.

Bisnis yang bergerak pada hasil pertanian dan perkebunan Enrekang sebenarnya sangatlah potensial. Apalagi agribisnis saat ini sudah memanfaatkan akses internet untuk memasarkan produk lokal. Dan sebagaimana kita ketahui pemasaran online cukup membantu pelaku UMKM dan industri rumah tangga di Enrekang.

Saat ini dampak internet telah menunjukkan bahwa bisnis di bidang pertanian tidak lagi dimonopoli oleh incumbent (produsen besar makanan), tetapi kini diusahakan dengan mandiri oleh banyak petani maupun komunitas bisnis. Para pemuda (generasi millennial) pun mulai turut andil dalam industri dan bisnis pertanian dengan modal kreativitas dan penguasaanya terhadap teknologi dan sistem informasi.

Dapat kita saksikan pula, generasi muda Enrekang kini mulai menggeluti dunia bisnis kuliner secara online. Mereka kini menemukan alasan kembali ke kampung dengan melirik kebun-kebun kopi yang tak pernah disambangi. Pada saat yang bersamaan mereka punya konstribusi membangun daerahnya melalui kopi.

Alat industri yang mudah diperoleh juga menjadi pendorong bagi petani untuk melakukan pergeseran pola kerja. Misalnya, banyak petani yang sebelumnya hanya menjual biji kopi (bean), kini mulai bergiat pada proses pasca panennya. Bekal informasi dan pelatihan yang diperoleh, mereka belajar menghasilkan kopi yang berkualitas. Mulai dari proses mengeringkan secara steril, menyanggrai mengikuti standar kematangan, mengemas bubuk atau biji kopi dalam kemasan, hingga memasarkannya secara kreatif dalam jaringan (online).

Produk lokal yang dikerjakan seperti itu dapat merepresentasikan kemandirian. Menjadi lebih bergema lagi, sebab diantara pelaku bisnis kopi berjejaring dalam mengusung produk lokal secara kolektif. Kemauan untuk membangun relasi seperti itu, selain mendorong produk agar lebih dikenal, juga menciptakan iklim bisnis yang sehat di antara sesama.

Sama halnya, menjadi relevan bila di era yang kian kompetitif ini mulai tumbuh pelaku agribisnis kreatif. Bahkan Iwan Setiawan dalam Agribisnis Kreatif; Pilar Wirausaha Masa Depan, Kekuatan Menuju Kemakmuran Hijau, mengemukakan alasan pentingnya gagasan agrbisnis kreatif. Pertama, agrbisnis kreatif membuka kesempatan untuk memecahkan masalah migrasi, membuka kesempatan ruang kerja dari para wirausaha, mendorong kesejahteraan masyarakat desa. Kedua, memacu pelaku ekonomi dan industri kreatif, agar tidak terpaku pada kepentingan isme dari pihak luar. Ketiga, mempraktikkan agribisnis dalam ekonomi dan industri kreatif yang dominan digeluti generasi muda. Dan keempat, aktivitas pertanian yang merawat ekologi dan ekonomi hijau.

Sebab itu kekuatan yang menopang produktivitas dan produk hari ini sebenarnya adalah kreatifitas. Tentunya potensi kreatif merupakan aset usaha yang paling menentukan untuk menghasilkan inovasi. Sehingga pelaku agribisnis yang kreatif haruslah memiliki pengetahuan dan keterampilan menggunakan teknologi informasi.

Agroliterasi

Untuk mendukung agrbisnis kreatif tentunya diperlukan upaya yang simultan dalam gerakan literasi. Literasi tidak bisa berjalan secara otonom, tetapi ia digerakkan dalam konteks yang melingkupi. Karena kita berada dalam kultur agraris, maka salah satu konsep yang dapat diajukan ialah agroliterasi.

Bagi penulis, agroliterasi merupakan upaya membangun kultur agraris yang berbasis literasi (pengetahuan). Potensi kreatif seorang petani dapat terpicu bilamana akses informasi dan pengetahuan dimilikinya. Untuk itu diperlukan ruang-ruang menyerap pengetahuan yang di dalamnya menyiapkan kebutuhan informasi masyarakat agraris.

Dalam mengaktualisasikan konsep agroliterasi ini, maka penggeraknya harus mampu mendorong seseorang untuk menggali kreativitasnya. Prosesnya dimulai dari meyakinkan masyarakat akan kekuatan pengetahuan dalam melahirkan inovasi. Saat mereka mulai terhubung dengan akses informasi, maka fasilitator pun turut membuka paradigma baru dalam bertani. Mereka dilatih mengakses internet dan menggunakannya untuk kepentingan positif.

Karenanya, konsep agroliterasi tak ubahnya menyiapkan ruang belajar yang sekaligus menjadi laboratorium masyarakat menghasilkan inovasi. Di tempat itu pula mereka dapat merajut karya, berbisnis online, dan memperbarui informasi terkait perkembangan mutakhir kondisi pertanian.  Dari sini pula agribisnis kreatif dapat tumbuh menopang konsep agropolitan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *