Di mana itu Pustakawan (Birokrat)?

Sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN) di lembaga pemerintahan tentu saja harus tunduk pada aturan yang ada dalam struktur pemerintahan. Demikian dengan seorang pustakawan yang bekerja Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Namun berbicara tentang profesi yang satu ini, ada semacam dilema pada titik tertentu. Ketika pustakawan menyadari dirinya bekerja secara profesional, maka sebenarnya disitulah pertanyaan mulai muncul.

Pustakawan yang sejatinya merupakan jabatan fungsional, memiliki peran yang berbeda dengan jabatan struktural. Namun saat ini ‘pustakawan birokrat’ terkesan dikepung dalam nuansa struktural di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Malah sesama pustakawan, sering menganggap dirinya salah tempat. Hal ini mungkin maklum, sebab lembaga yang bernama dinas ini memang merupakan organisasi perangkat daerah (OPD) yang bertugas pada bidang perpustakaan dan kearsipan, sehingga dominan diisi oleh pejabat struktural. Olehnya posisi pustakawan di lembaga ini lebih berperan sebagai mitra kerja dan berkoordinasi dengan para pejabat struktural. Sehingga pustakawan bukan staf dari kepala bidang dan kepala seksi, tapi langsung bertanggungjawab kepada atasan, yakni kepala dinas perpustakaan.

Sementara pada struktur dinas perpustakaan dan kearsipan yang penulis amati, perpustakaan umum tidak tergambar, karena keberadaannya dianggap adalah dinas perpustakaan dan kearsipan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat pada contoh di bawah ini:

Maka jika dilihat, pustakawan seakan tidak tampak dalam ruang kerjanya yakni perpustakaan umum. Justru pustakawan tergabung menjadi satu kelompok fungsional dalam struktur Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Posisi ini memang menunjukkan perannya yang strategis, tetapi justru mengaburkan eksistensi pustakawan dan perpustakaan umum. Maka tak jarang ada yang menyentilnya sebagai ‘perpustakaan khusus’ yang berada di dinas perpustakaan dam kearsipan.

Jika dibandingkan dengan beberapa profesi lainnya seperti dokter, dosen atau guru, posisi mereka tidak terlepas dimana ia mengerjakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat fungsional.  Guru berada di sekolah, yang dihuni oleh dominan guru (fungsional) dan pimpinannya (kepala sekolah) dijabat oleh guru. Demikian pula seorang direktur di rumah sakit adalah fungsional dokter, yang menjalankan tugas tambahan administratif dan manajerial. Di perguruan tinggi, dosen yang tugas utamanya mengajar dibantu oleh staf tata usaha (pejabat struktural) dalam membuat ijazah, membuat absensi mahasiswa dan hal-hal administratif lainnya. Kemudian ‘lembaga fungsional’ ini bertanggungjawab secara struktural pada dinas pendidikan, dinas kesehehatan dan kementerian pendidikan tinggi. Inilah yang berbeda dengan pustakawan.

Ambil contoh, pada saat pengadaan bahan pustaka, dalam tugasnya pustakawan menyeleksi koleksi yang akan diadakan untuk perpustakaan umum, namun hal ini akan menimbulkan masalah manakala proses ini tidak dipahami oleh pejabat struktural. Misalnya bila pustakawan mengadakan bacaan pemikiran dan politik yang radikal karena diusul oleh pemustaka,  dan ternyata dianggap tidak sesuai seleranya.

Tidak hanya pada kerja tersebut, karena dalam dinas yang sekarang ini, ada dua hingga empat kepala bidang yang menangani urusan perpustakaan. Dan pustakawan memiliki tupoksi yang tersebar pada semua bidang tersebut. Secara positif, sebenarnya bila semua bidang ini mau dan mampu memahami perpustakaan dan peran pustakawan, maka kekhawatiran di atas tidak akan terjadi.

Akan tetapi, “ketidakberadaan” pustakawan secara fokus dalam pengelolaan perpustakaan umum, menunjukkan perbedaan dengan rekan fungsional dari profesi lainnya seperti guru, dokter, dosen dan profesi lainnya. Pustakawan tidak punya kesempatan pada jenjang karirnya sebagai fungsional seperti guru yang mendapat tugas menjadi kepala sekolah, dokter yang direktur, atau dosen yang rektor. Sebab pustakawan berada dalam lembaga struktural bukan lembaga fungsional. Dan saat itu pula, wajar jika orang bilang kepala perpustakaan umum (atau juga sering disebut perpustakaan daerah) adalah kepala dinas perpustakaan dan kearsipan. Padahal dalam UU No 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan (BAB VII pasal 30), pustakawan (atau tenaga ahli dalam bidang perpustakaan) punya kesempatan memimpin perpustakaan umum (pemerintah/provinsi/kabupaten/kota). Jadi seperti apa itu perpustakaan umum?

Hal yang sama rupanya terjadi di perpustakaan perguruan tinggi (negeri), pustakawan sebenarnya sudah dominan secara kuantitas dan diantaranya sudah ‘berpangkat’, namun tetap saja belum diberikan fungsi sebagaimana amanat UU No. 43 Tahun 2007 di atas. Karena fungsional yang dominan di lembaga fungsional itu, yang dialamatkan. Justru yang berbeda, perguruan tinggi swasta, yang banyak mengangkat pengelola perpustakaan (pustakawan) sebagai kepala perpustakaan.

Bisakah Perpustakaan menjadi Ruang Publik?

Perpustakaan umum yang berada dalam lingkungan kantor/dinas, seringkali dipandang masyarakat dengan suasana dan kesan yang normatif. Dengan beragam aktivitas ala perkantoran, pengunjung merasa segan dan kaku untuk memanfaatkan layanan yang tersedia. Bahkan, soal seragam petugas yang memiliki pangkat dan atribut lainnya, sering menunjukkan interaksi sosial di perpustakaan kurang cair dan dinamis. Dan memang belum ada seragam profesi (khusus pustakawan) seperti yang kenakan profesi lainnya. Belum lagi jika aturan yang berlaku dianggap membuat pemustaka tidak nyaman.

Ini menandakan layanan perpustakaan umum tidak selayaknya diciptakan dengan nuansa yang normatif. Di sini pulalah, kita patut merefleksikan bahwa perpustakaan merupakan lembaga yang didalamnya mengedepankan layanan yang inklusif dengan mengelaborasi aspek kultural. Jika perpustakaan telah didudukkan sebagai lembaga yang fungsinya untuk menggali pengetahuan, mencari informasi, penelitian dan rekreasi.  Itulah sebabnya, perpustakaan juga dianggap sebagai ruang bebas nilai dan demokratis. Boleh dikatakan perpustakaan identik dengan nuansa perguruan tinggi. Bahkan perpustakaan di perguruan tinggi adalah pilar keilmuan.

Sudah seharusnya pegawai di perpustakaan, tidak alergi dengan diskusi dan dialektika yang dinamik, sekalipun itu membicarakan pemerintahan itu sendiri. Seorang pustakawan (birokrat) adalah kebal dari aspirasi kritis, dan tentunya tampil terdepan dalam memfasilitasi ruang perjumpaan bagi pengunjung berbagi pengetahuan. Pustakawan seharusnya menjadi mitra kritis sesama birokrat dan birokrasi, jika ingin jua dikatakan ‘birokrat’.

Karenanya, perpustakaan sekaligus merupakan lembaga kultural yang bertujuan memfasilitasi masyarakat ‘kritis’ dan berkonstribusi untuk membangun masyarakat pembelajar (sepanjang hayat). Peran ini tidak akan mungkin bisa tercapai jika perpustakaan masih terkungkung oleh ‘dogmatis birokrasi’, yang dalam kritik Putu Laxman Pendit diberi judul ‘birokratisasi pustaka’. Kritik ini sekaligus mempertanyakan sikap pustakawan (birokrat) dalam mengurus pustaka dan perihal membaca.

Paradigma yang demikian itu, selanjutnya mengharapkan perpustakaan agar menjadi ruang publik. Ruang dimana terbangun kesetaraan, yang memberikan posisi yang sama bagi setiap pemustaka untuk menampilkan gagasannya. Mereka membawa minat dan potensinya ke perpustakaan tanpa segan, karena ia merasa tidak dibatasi untuk melakukan ativitasnya, sembari bisa menyerap pengetahuan. Perpustakaan yang demikian, pada prinsipnya tumbuh mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Bagi pustakawan (yang bersungguh), kondisi seperti itulah yang strategis untuk mengarahkan pemustaka agar akrab dengan buku dan membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *