Jelang pekan literasi bulan Maret 2018, saya bersama rekan perpusda Enrekang beranjak menuju kota Makassar. Selama dua hari, kami mengajukan proposal kerjasama pameran buku ke beberapa penerbit. Juga menemui penulis yang akan memberikan materi Workshop Menulis di acara Pekan Literasi.
Dalam perjalanan, seorang rekan pustakawan dari kantor menghubungi kami untuk membeli buku-buku terbaru di Makassar. Buku yang harus kami beli nomimalnya Rp. 3.000.000. Sebelum menunaikan permintaan itu, saya menyambangi Gramedia Makassar Mal Panakukang. Di sana saya berbincang mengenai prosedur kerjasama pengadaan dalam jumlah itu. Sebenarnya lebih kepada pembicaraan bukti serah terima dan kwitansi yang lazim dilaporkan oleh pemerintah. Pihak Gramedia menyambut baik, selagi laporannya memang sesuai struk pembelian.
Di atas mobil menuju penerbit, kami sempat membincangkan seputar pengadaan buku di perpustakaan. Keinginan yang membuncah dari setiap rekan adalah tersedianya buku baru secara aktual. Kami membayangkan setiap terbitan terbaru segera tersaji kepada pemustaka agar kian tertarik ke perpustakaan.
Kami antusias dapat memilih buku secara langsung tanpa perantara. Adanya pembelian buku-buku terbaru merupakan langkah yang bagus. Bayangkan jika ada pembaca rakus (aktif), mungkin buku baru yang diinginkan bulan ini, tak lagi diakses di perpustakaan, karena ia sudah membacanya sebelum perpustakaan mengadakan. Karena jika dilakukan hanya sekali dalam setahun, sebenarnya sama saja dengan pengadaan biasanya.
Berbeda tentunya bila buku baru dapat diadakan dalam triwulan bahkan sebulan sekali. Dengan mempertimbangkan pengadaan yang berdasarkan kebutuhan dan minat pemustaka.
Kabar baiknya, pengadaan buku-buku baru di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang akan dilakukan dalam triwulan, itu artinya dalam setahun akan dilaksanakan empat kali. Pengadaan tersebut di luar dari pengadaan buku-buku umum yang dilakukan setahun sekali.
Besoknya, bersama 3 orang rekan Dispustaka, saya bergerak mengumpulkan buku baru. Subjek buku yang dikumpul sudah dirinci yakni novel, motivasi, agama, sosial, sosiologi, pendidikan, parenting, dan komunikasi. Sebelumnya kami telah memperkirakan jumlah buku dengan nominal tiga juta. Jumlahnya sekitar 20-25 judul buku dengan masing-masing 2 eksmplar.
Selama hampir 3 jam kami memilih dan menghitung buku yang terpilih. Cukup rumit sebenarnya karena kami hanya menggunakan kalkulator HP untuk menghitung. Kesulitannya bertambah sebab buku harus terbeli berjumlah tiga juta. Berulang kali kami menghitung tapi selalu tidak pas. Kami mengeluarkan beberapa buku dan menggantinya dengan buku yang harganya mendekati bilangan tiga juta. Setelah kami mencocokan lagi, akhirnya hitungan tiga juta berhasil.
Namun saat dihitung oleh petugas toko, ternyata hitungan kami tidak sama sebab beberapa buku ternyata berdiskon. Lalu kami mengambil satu buku lagi, hingga totalnya Rp. 2.999.400. Bukunya berjumlah 40 eksmplar dari 20 judul. Jadi sisa kembalian Rp. 600, juga itu katanya dikembalikan pula ke Negara. Gumamku, tidak ada masalah, yang jelas bukan lebih RP. 600.
Kerepotan ini mungkin tidak akan terjadi jika terdapat katalog lengkap atau informasi yang dihimpun sebelum menghunting. Tapi memang tidak ada waktu untuk itu, karena kami pun meluangkan waktu hanya dua hari di Makassar. Dan targetnya buku itu terbawa pulang hari itu juga.
Selesai belanja buku, rekan saya langsung balik ke Enrekang. Sementara saya harus tinggal sehari mengurus kwitansinya, juga sebetulnya punya urusan kampus.
***
Menyediakan buku terbaru di perpustakaan adalah salah satu layanan yang idamkan pemustaka. Secara aktual, pemustaka tentunya tidak merasa ketinggalan mendapatkan bacaan. Kalau diibaratkan perpustakaan itu bioskop, mula-mula film terbaru akan ditayangkan secara perdana di sana. Memang ada banyak peluncuran buku yang diadakan di perpustakaan, tapi belum tentu langsung dikoleksi.
Sementara jika dikoleksi, ia masih dalam tahap pengolahan yang juga akan memakan waktu untuk dilayankan dan diakses pemustaka. Mengenai buku baru ini, saat mahasiswa dulu, saya pernah iseng mengajukan argumen di kelas pada kuliah Pengembangan Bahan Pustaka, bahwa penerbit sudah saatnya mempertimbangkan lulusan ilmu perpustakaan. Tujuannya untuk bekerja mengurus halaman katalog, klasifikasi, label buku pada buku yang akan diterbitkan. Bagi perpustakaan yang ingin menampilkan identitasnya, tinggal menambahkan saja.
Dari kuliah tersebut, saya pun mengetahui beberapa penerbit sudah mencantumkan Katalog dalam Terbitan (KDT) di halaman awal buku. Karena KDT bisa diperoleh saat penerbit mendapatkan ISBN di Perpustakaan Nasional RI.
Kelebihan lain pada buku yang memuat KDT yakni adanya standar atau keseragaman entri (penginputan) seluruh perpustakaan. Karena KDT itu jadi rujukan awal, maka pengatalog dan pengklasir di PNRI adalah orang yang ahli. Saat kita menelusur suatu buku dalam satu pintu pencarian, semisal onesearch.id atau dalam katalog induk online, maka akan tampil buku di beberapa perpustakaan yang klasifikasinya mungkin seragam.
Di tambah adanya copy cataloging yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional RI kian mengefisienkan proses entri data. Meskipun copy cataloging secara radikal memangkas waktu dalam entri data, pustakawan harus mampu menguasai keterampilan dasar klasifikasi dan katalogisasi. Sebab praktik lain seperti penataan koleksi di rak buku masih diperlukan. Plus sebagai tolak ukur dalam ujian kompetensi bagi si pustakawan.
Adanya sistem tersebut tentunya mendukung pengolahan buku terbaru secara cepat, sehingga segera dapat dilayankan kepada pemustaka. Proses seperti ini akan memacu pemustaka untuk terus berkunjung ke perpustakaan. Dan hal ini dapat dilakukan oleh Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang yang memfasilitasi buku-buku terbaru secara berkala (triwulan).