Diklat “Pustakawan Harus Menulis”

Di saat saya menyalakan api semangat untuk menuntaskan karya ilmiah yang tak kunjung tamat, datanglah satu tugas baru. Sebuah perintah, atau katakanlah undangan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Karya Tulis Ilmiah untuk Pustakawan di Makassar. Kabar baiknya, tugas kali ini sungguh menopang nuansa yang ingin saya raih kembali. Yah, sekali lagi! ini urusan menulis karya ilmiah.

Bagi saya menulis memang bukanlah hal yang baru. Sekeras apapun seorang motivator mendorong saya menulis, pada akhirnya saya akan memberinya terima kasih. Rasanya saya cukup kenyang mendengar ajakan perihal menulis. Sedari mahasiswa saya terlibat langsung urusan ini, mulai dari membuat makalah, hingga demi langkah yang pasti untuk sarjana; menyusun skripsi.

Justru yang jadi masalah saat ini, saya seolah kehilangan momentum yang sama dalam masa-masa produktif seperti itu. Jadilah saya penunggak semester di pascasarjana. Kampus UIN Alauddin cukup untung menerima 10 semester yang saya sumbang tanpa protes. Semua itu demi ikhtiar merayakan Magister Perpustakaan dan Informasi Islam. Tak ingin rugi lebih banyak, maka tahun ini segala cara baik akan saya tempuh.

Motif awal saya mengikuti Diklat adalah mencari celah untuk menyelesaikan tesis. Jujur kali ini saya merasakan beban yang cukup dalam soal menulis. Kelemahan yang seperti ini, memang sedikit lagi menjadi penyakit. Kewajiban menulis sebagai tugas utama, selalu dikalahkan oleh keinginan menulis yang timbul tanpa rencana dan sebetulnya tidak wajib. Justru saya kadang memaksa diri mengirim tulisan ke media, mengurus blog yang seolah mengejar tayang, padahal tak diminta. Buktinya, tulisan ini! Walaupun sebenarnya kegiatan ini juga mulai melambat. Tulisan ini nongol (terbit), itu pun karena pelarian dari situasi blank pada tesis yang akan saya lanjutkan. Entah menulis apalagi.

Di luar itu, terbengkalainya tesis saya, juga karena godaan membaca yang tak teratur. Referensi tesis pun tertutup rapi akibat kurang mood. Imbasnya saya beralih suntuk ke bacaan yang lain. Ibaratnya, saya ingin menutupi ketertinggalan, tetapi mengorbankan hal lain.

Jujur, obsesi membaca yang seakan dipaksa, baru bersemi setelah wisuda. Kekosongan aktivitas (menganggur) memang seakan menepikan diri pada renungan dan evaluatif. Di masa-masa reflektif itu, saya menyadari betapa dangkalnya pengetahuan yang kumiliki. Maka jika hari ini saya membaca, itu karena saya selalu merasa tertinggal oleh seseorang yang hebat di luar sana.

Walaupun hal lain yang terjadi ialah buku-buku baru yang saya beli tak terbaca secara tuntas. Membaca seringkali dihentikan oleh beragam kegiatan kepustakawanan yang hari-hari ini cukup padat dan hebat. Seperti diklat ini, walaupun saya katakan diawal, bahwa ini malah mendukung agar saya kembali menulis. Tak sanggup pula saya melewatkan diantaranya, sebab segudang pengalaman ditawarkan.

Baiklah, lewat paragraf ini saya selesaikan ulasan yang cenderung berbicara kegelisahan saya. Atau jika mau, saya sebut saja sebagai pengantar tulisan ini.

***

Diklat menulis yang saya ikuti bersama 29 orang memang punya cerita menarik. Hal fundamental dalam diklat ini ialah pustakawan diwajibkan menulis. Kewajiban menulis untuk pustakawan dihitung sebagai bagian dari pengembangan profesi, yang tertuang dalam angka kredit pustakawan. Barangkali inilah alasan utama diklat menulis menjadi program Perpustakaan Nasional RI, yang dilaksanakan di Hotel Aryaduta, Kota Makassar.

Selama dua pekan, 9-21 April 2018, Perpustakaan Nasional RI yang bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan ini menyusun jadwal diklat yang lumayan padat. Sinyal itu mulai telihat kala buku tebal (salinan) materi dibagikan ke para peserta. Benar saja, saya membaca agenda pelatihan, dan di situ terjadwal materi berlangsung hingga pukul 20.30 WITA.

Waktu seharusnya bukan desakan apalagi jebakan, tetapi peluang. Begitu cara saya menyakinkan diri dalam melewati tantangan. Walaupun rupanya materi yang disajikan dengan cara monolog, memang turut melambatkan segalanya. Setidaknya itu yang berlangsung selama sepekan. Ini yang membuat jeda di hari sabtu dan minggu, agak berfungsi sebagaimana baiknya untuk dirayakan. Yah, refreshing. Meski udara segar berlibur itu juga bergerak cepat.

Pekan berikutnya, adalah waktu yang memastikan daya pikir peserta digunakan agak ekstra. Tak mungkin ada yang absen dari proses ini, bukan karena wajib menulis saja, sebab rupanya kedewasaan peserta akan tujuan kegiatan ini berjalan pada relnya. Pelan-pelan para peserta mengerjakan dengan sesuka-pikirnya untuk sebuah karya ilmiah yang akan disetor di panitia.

Tahap demi tahap, dari setiap materi diikuti. Mulai dari menentukan topik, menuangkan gagasan dan hingga praktik menulis yang khusyuk. Di minggu kedua ini, sepertinya memang porsir menulis lebih banyak dilakukan peserta dengan begitu serius. Sudah diperkirakan. Hal lain, rupanya porsi makan peserta juga ikut-ikutan diatur dengan mantap.

Saya yang tadinya menjadikan kesempatan (bonus) diklat untuk bergiat dengan tesis, dan juga berniat memanfaatkan waktu untuk pergi meneliti di lokasi penelitian (yang kebetulan di Makassar), berakhir hanya dalam perencanaan (angan). Mengerjakan karya tulis ilmiah yang ditugaskan pada diklat ini ternyata lebih menyita waktu. Saya pun bahkan bekerja keras menyusun kalimat hingga paragrap demi paragrap. Membaca referensi via internet secara maraton, lalu mengutip dan memberi penjelasan yang relevan dengan topik yang saya angkat. Praktis, seminggu saya berkutat begitu intens dengan laptop lalod.

Karya ilmiah yang saya angkat berjudul “Transformasi Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang sebagai Ruang Pelibatan Masyarakat”. Topik ini terpilih atas dasar tujuan yang sebenarnya ingin dicapai dalam transformasi perpustakaan bersama program PerpuSeru. Jadi sebetulnya, untuk dikatakan apakah perpustakaan sudah menjadi ruang pelibatan masyarakat, itu masih dalam konteks evaluasi. Walaupun pada praktik tertentu, konsep pelibatan masyarakat sudah digerakkan di PUK Enrekang. Namun, saya tidak akan mendeskripsikan topik yang saya ajukan itu dalam blog ini.

Yang selanjutnya saya ingin ceritakan adalah proses interaksi yang terjadi di antara peserta. Berasal dari instansi yang berbeda, saya banyak menyerap pengetahuan dari mereka, baik secara langsung maupun tidak. Seringkali dalam suasana yang baru, saya memang lebih banyak mengyimak dan mendengar. Saya melihat sebagian dari peserta ada yang sudah S2, hal itu saya dapat lihat dari setiap papan nama di meja masing-masing.

Cara mereka menyikapi diklat kepenulisan pun saya amati. Semacam observasi sederhana. Sebagian waktu luang saya gunakan untuk melihat respon mereka terhadap apa yang sedang mereka ikuti. Di samping itu saya juga turut mengerjakan tulisan dengan serius.

Memang yang mengesankan dari pengamatan saya, ialah kemauan para peserta untuk merumuskan topik yang akan diteliti dan menelusur informasi relevan di internet. Hampir bisa dipastikan, peserta lebih banyak mengakses jurnal online. Di tempat yang tanpa sajian buku, kami memanfaatkan internet gratis hotel untuk mencari sebanyak mungkin rujukan ilmiah. Pada akhirnya, semua mengumpulkan karya tulis ilmiah sesuai jadwal. Meskipun beberapa karya setelah diuji aplikasi deteksi plagiat, masih perlu diperbaiki, terutama dalam menuliskan pengutipan (sitasi).

Dalam obrolan santai di sela-sela diklat, perbincangan yang cukup menarik yakni kegelisahan pustakawan akan waktu yang terbatas untuk menulis. Sebab mereka paham bahwa pustakawan hari ini segencar apapun mengatakan dirinya mulai fokus pada layanan dan aspek sosial, tetapi urusan adminstrasi masih cukup dominan. Karena itu, seperti misalnya ketika Dr. Tuti (pemateri Topik dari Dosen UNHAS) menyampaikan bahwa ia melepaskan jabatan struktural untuk fokus meneliti, sebenarnya menjadi renungan pula bagi kami yang dituntut menulis. Saya setuju, pertimbangan seperti itu bisa saja berlaku bagi pustakawan, tinggal bagaimana mengatur waktunya.

Lagi pula ternyata, Dr. Tuti mengakui bahwa saat memilih fokus sebagai “dosen peneliti”, tetap saja akan sibuk memeriksa penelitian mahasiswa. Maka kalau seandainya ada yang disebut “pustakawan peneliti”, mungkin juga tak lepas dari tupoksi lainnya. Karena fakta inilah dirasakan oleh teman pustakawan, yakni adanya kesibukan mengurus perihal teknis-administratif di perpustakaan. Bisa pula karena tidak adanya tenaga terampil, sehingga tugas teknis masih banyak dikerjakan. Padahal meneliti atau menulis bagi pustakawan untuk tingkat ahli ke atasnya sudah disediakan porsi yang lebih banyak.

Alasan klasik itu sebenarnya selalu membekap diri saya dan termasuk diakui oleh teman diklat. Padahal jika kita memutuskan diri untuk menjadi penulis, atau katakanlah pustakawan menulis, maka tidak ada cara selain memaksa diri untuk itu. Di samping memang karena menulis merupakan amanat pengembangan profesi. Karena itu menulis bagi pustakawan hendaknya dijadikan sebagai bagian dari spirit berkepustakawanan. Bukan sembari menanti mood atau mengelak karena alasan usia dan menunggu redanya kesibukan.

Hal ini rupanya juga menjadi cermin untuk kita belajar, sebagaimana pustakawan mengajak masyarakat belajar sepanjang hayat. Dan untuk menulis, kita tidak boleh kalah dengan situasi dan kondisi yang sering kita anggap tidak ideal. Justru dalam segala keterbatasan, tulisan itu akan selesai, bagaimanapun hasilnya.

Memang penting agar pustakawan membiasakan diri untuk tidak menyerah. Apalagi dalam IPTEK yang kian laju dan disebut era disruption ini. Saat saya berdialog dengan beberapa teman diklat, rupanya mereka menyadari hal itu. Ada semacam gelora agar bisa meretas segala kelemahan yang selama ini membekap. Walau, entah nanti semangat seperti itu kelak dimakan waktu dan zona nyaman di masing-masing perpustakaan.

Perjumpaan yang intens dalam dua minggu membawa segudang asa. Saya mengibaratkannya sebagai sebuah laboratorium akan kondisi perpustakaan dan pustakawan. Mungkin melalui laboratorium semacam ini terdapat banyak inovasi yang sebetulnya bisa ditularkan dan diaktualisasikan di perpustakaan masing-masing. Tulisan yang setiap peserta diklat paparkan di kelas juga terbagi sebagai pengetahuan tambahan.

Karakter yang unik dari 29 orang peserta tentunya menjadi input bagi setiap orang untuk belajar darinya. Di antara mereka memang sudah cukup maju dalam hal menulis dan dengan wawasan yang luas. Keunikan itu makin khas kala passion mereka salurkan dalam karya tulis. Dari situ saya banyak belajar, dan rasanya saya harus mengucapkan terima kasih kepada semuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *