Pustaka Tanggap Bencana

Seleksi adalah perihal menemukan sesuatu. Barangkali kata itu mewakili proses yang saya lakoni selama 5 hari di Bogor. Dalam kegiatan yang dinamakan Seleksi Trainer Perluasan Pengembangan Perpustakaan, saya diajak menemukan sesuatu. Tentang apa itu? Mari saya tunjukkan di tulisan ini.

Sekelumit kisah yang bisa saja saya narasikan sebagai pengalaman, tetapi satu hal yang ingin saya ulas sebagai temuan ialah Pustaka Tanggap Bencana. Sebuah judul note project hasil diskusi tim bernama Mandiri. Entah kenapa saya ada dalam kelompok yang bernama itu. Istilah yang tak layak bersanding pada diri saya saat tak berani melakukan sesuatu dengan mandiri, kecuali bertepi dalam kesunyian. Yah, cukuplah saya menggandeng istilah ini untuk kondisi tertentu, seperti kala mandi sendiri selama 5 hari di Hotel Santika Bogor.

Project Pustaka Tanggap Bencana bermula dari sharing ide Ratih terkait kondisi aktual yang dihadapi di daerahnya. Ratih merupakan pegawai yang bekerja di perpustakaan Kabupaten Karang Asem, provinsi Bali, wilayah yang sedang dilanda efek Gunung Agung. Secara meyakinkan Ratih menguraikan bencana yang dihadapi warganya dengan data-data yang bisa di akses di berbagai media pengabaran. Atas kesepakatan bersama, hasil tugas diskusi pun memutuskan konsep Ratih yang dijadikan sebagai note project kelompok Mandiri.

Sekilas tema project tersebut mengilustrasikan adanya usaha langsung perpustakaan menanggapi bencana. Tapi sebenarnya pengunaan judul tersebut tujuannya untuk memancing perhatian pembaca project kami. Dan untuk kepentingan itu, saya kembali menggunakannya sebagai judul tulisan ini. Setidaknya begitulah kami menyepakati. Apa yang menjadi poin utama dalam project kami, ialah tentang bagaimana perpustakaan menampilkan layanan informasi terkait kebencanaan. Termasuk informasi pencegahan (pra) dan penanganan (pasca), serta membuka ruang edukatif bagi korban bencana sebagai upaya memulihkan kehidupan.

Tanpa memaksa diri untuk beralih ke domain kebencanaan, perpustakaan menyadari kondisi geografis Indonesia yang berpotensi dilanda berbagai bencana. Peran perpustakaan yang diarahkan pada kondisi demikian, dilihat sebagai satu cara perpustakaan melakukan transformasi. Transformasi ini memang merambah sangat luas, mengikuti kepercayaan akan “pengetahuan adalah kekuatan”. Karena semangat berperan jadi transformer itulah yang sepertinya membuat konsep ini seakan berpikir untuk masa depan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Alhasil memang, konsep itu diuji dalam sesi presentasi Note Project. Penilai meragukan Pustaka Tanggap Bencana merupakan program yang bisa direalisasikan dalam waktu setahun yang ditargetkan oleh pihak pendukung, alias PerpuSeru. Juga mempertanyakan kondisi perpustakaan saat bencana, termasuk bagaimana mengajak orang melirik perpustakaan saat dilanda bencana. Sebab itu Penilai melihat program itu tidak mudah dilakukan dalam tempo yang singkat. Dan harus melibatkan banyak stakeholder, utamanya yang fokus pada kebencanaan.

Kritik atas konsep tersebut juga datang dari Nurul Janah (IPB), yang menyarankan project yang lebih realistis bisa dikerjakan, atau yang “membumi” katanya. Lepas dari berbagai aspek realisasi dan teknis penyusunan project, Nurul Janah juga tidak menafikkan pentingnya menghidupkan imajinasi dan paradigma dalam bertransformasi. Baginya, perpustakaan bisa saja tampil membuka cara pandang yang baru tentang bencana, misalnya bencana itu bukan berarti larut dalam pesimistis, tetapi menanggapi bencana untuk peluang (ekonomi dan kepentingan lainnya) yang bisa ditarik.

Konsep Pustaka Tanggap Bencana tercetus bukan sepenuhnya berdasar pada latar kondisi Karang Asem semata. Karena subtansinya, ia mewakili dari potensi bencana di wilayah masing-masing anggota kelompok. Sekiranya, kondisi Karang Asem digolongkan sebagai representasi perihal tingkat ledakan bencana. Yang juga akan mengukur kekuatan perpustakaan dalam merespon kondisi tertentu, sekalipun dalam kondisi yang mungkin paling rumit. Maka jika dibawa pada daerah lain dalam karakter bencana yang berbeda, kita bisa melakukan kalkulasi tentang respon apa yang bisa dikerjakan oleh perpustakaan. Tentunya transformasi perpustakaan ini tidak terlempar jauh dari tugas utamanya hanya karena ingin berperan lebih dan luas.

Respon perpustakaan terhadap bencana memang bukanlah hal yang baru. Ini setidaknya dapat dilihat dari layanan perpustakaan yang seringkali bergerak ke lokasi pengungsian memberikan secercah harapan pada anak-anak melalui bacaan. Memang nampaknya tidak signifikan menyuguhkan buku diantara derita dan duka. Apalagi jika perpustakaan dan orang-orangnya mengalami dampak yang sama.

Dalam project ini, salah satu yang diprogramkan kelompok Mandiri ialah pembuatan manual book dan penautan informasi kebencanaan di portal informasi milik perpustakaan. Sebagai referensi, memang ketersediaan informasi tersebut penting. Tapi yang harus dipikirkan, infomasi yang demikian seyogyanya tersalurkan secara menyeluruh kepada masyarakat. Karenanya agenda pemasyarakatan bahan-sistem informasi pun musti dikerjakan dengan optimal oleh para pengelola perpustakaan.

Jika dianggap siap, rujukan untuk melihat prediksi gejala alam tidak berarti sepenuhnya dialamatkan pada sistem informasi yang dimiliki oleh perpustakaan atau jejaringnya. Sebab kecepatan memperoleh informasi saat ini dapat ditemui di berbagai sistem dan aplikasi yang digunakan setiap orang. Misalnya saja yang dilakukan Facebook, pemilik akun akan dipaparkan prediksi cuaca yang bakal terjadi. Maka pemanfaatan informasi perihal prediksi bencana tidak bisa dipusatkan seperti menganut satu kepercayaan yang teguh. Yang perlu dilakukan, sebagai alternatif dan memberdayakan warga ialah memberikan pelatihan-pelatihan literasi informasi dan media. Yang didalamnya memicu daya kritis dan inisiatif memanfaatkan sumber-sumber informasi dengan jernih. Termasuk bagaimana mereka menangkap fenomena atau meramu informasi dan mengolahnya untuk kepentingan ‘tanggap’ bencana. Atau mungkin dalam bentuknya seperti citizen journalism (jurnalisme warga).

Dalam project transformasi perpustakaan ini, bukan tindakan praktis yang dilakukan perpustakaan, bukan hanya ketersediaan sistem informasinya. Namun perannya ialah membangun kultur masyarakat informatif, sehingga memfasilitasi ruang belajar menuju manusia yang tanggap dan berdaya. Dan project semacam ini memang berjangka panjang, tidak mudah untuk menemukan outputnya secara langsung.

Di saat sesi presentasi note project, saya ikut menyampaikan contoh yang bisa dilakukan oleh perpustakaan terkait responnya terhadap kebencanaan. Ide itu sebenarnya berangkat setelah membaca opini Kompas berjudul “Bencana dan Kemiskinan” yang terbit pada hari itu (7/12/2017). Kebetulan saat nenanti giliran kelompok melakukan presentasi, saya membuka koran dan membaca tulisan Bagong Suyanto (Guru Besar Sosiologi FISIP UNAIR).

Dalam opininya itu, Bagong Suyanto menawarkan perspektif baru dalam penanganan masyarakat (miskin) yang mengalami dampak bencana. Menurutnya, selain daya tahan (survive) keluarga yang menjadi korban bencana, hal yang penting dipantik adalah potensi swakarsa dan kadar keberdayaannya, yang selanjutnya difasilitasi perkembangnnya. Nah, menurut saya, perpustakaan bisa memfasilitasi ruang untuk memantik potensi tersebut, baik sebelum (preventif) dan sesudah bencana (build back better).

***

Saya menyadari konsep perluasan transformasi perpustakaan diatas pada akhirnya kembali mendengungkan akan penting sebuah informasi bagi masyarakat. Yang jika kedepannya perpustakaan mau membicarakan banyak hal dan merespon fenomena sosial, maka hal ini akan mengubah paradigma perpustakaan yang tadinya cenderung sibuk pada hal teknis-adminisitratif menuju perpustakaan yang responsif terhadap kondisi aktual; sosial, ekonomi, bencana, dan sebagainya.

One thought on “Pustaka Tanggap Bencana”

  • Meski belum memahami sepenuhnya, saya pun yakin eksistensi perpustakaan dan tbm akan mampu menjadi magnet informasi yg utama. Bencana bisa datang kapan saja. Tapi upaya preventif dapat bermula dari penyediaan ruang baca, semisal pelatihan pemanfaatan layanan sistem informasi terpadu, atau bahkan edukasi lain yg terkait dengan upaya meminimalisir potensi bencana di suatu daerah.

    Sukses selalu kanda!
    Tulisannya inspiratif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *