Menuju Kultur Agraris yang Berdaya



Sebagian besar masyarakat Indonesia bertumpu pada alam (tanah) sebagai sumber kehidupan. Tempat dimana beragam tanaman tumbuh subur. Karenanya aktivitas pertanian merupakan potensi yang dominan digiatkan. Kecenderungan ini turut membentuk kultur agraris (agrarian culture). Sebuah kultur yang tak pernah berhenti menopang dan menyuplai kebutuhan dasar (hayati) manusia di tengah populasi yang semakin berisi (padat).

Dibalik konstribusinya itu, acapkali masyarakat agraris dipandang konservatif. Dianggap tradisional karena masyarakatnya bergantung pada pengalaman lokal dan sistem konvensional. Bahkan masyarakat agraris terstigma naif dalam narasi kapitalistik. Polaritas ini muncul semenjak ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi kekuataan baru masyarakat industri. Sekalipun dalam masyarakat agraris (yang masih mempertahankan pengetahuan lokal) telah memiliki kemampuan beraksara sekedarnya. Asumsinya bahwa petani lebih mengutamakan bekerja keras, tinimbang menunjukkan gairah pembelajar.

Dalam situasi terkini, petani semakin dituntut lebih produktif, entah posisinya terombang-ambing dalam pusaran ketidakstabilan iklim maupun ekonomi. Mereka dipacu memproduksi demi target menuju kedaulatan pangan dengan suntikan berupa subsidi, teknologi, pupuk hingga serdadu. Impaknya, kondisi tersebut justru membuat masyarakat agraris terhimpit oleh agenda akselerasi produksi.

Yang terjadi, kultur agraris terseret ke dalam laju kebutuhan masyarakat industri yang kian lahap. Tak heran bila masyarakat agraris pada akhirnya meninggalkan pertanian alami, harmoni alam (keseimbangan lingkungan) dan kebersahajaan. Berdiam memilih arus produktifitas yang mengandalkan fisik. Sehingga waktu untuk bersenggang tersisa minim, apalagi sekedar mengakses informasi dan ruang belajar yang tersedia di pedesaan.

Asumsi yang wataknya permisif di atas tidak seharusnya diberi jalan yang panjang. Yang berarti, hendaknya kultur agraris menggeser cara pandang dan kesenjangan pengetahuan yang melekat terhadapnya. Kondisi demikian juga mengonfirmasi bahwa masyarakat agraris pun bisa bertumpu pada pengetahuan (literasi), sebagaimana masyarakat industri. Tentu gerakannya bermula tidak secara spontan tanpa stimulan dari para pelaku literasi kepada masyarakat agraris.

Dalam hal ini format literasi harus diterjemahkan ke dalam kultur agraris melalui pendekatan yang adaptif. Tentu dengan tidak menggeser tradisi lokal yang menjadi pijakannya. Termasuk kehadiran literasi terhindar jauh dari pola yang mengagetkan budaya (culture shock) setempat. Artinya, tradisi lokalitas-kelisanan dan keberaksaraan dapat berkelindan secara simultan, yang selanjutnya dapat mengurai kembali (merefleksi) identitas masyarakat agraris. Dengan begitu para petani dapat memanfaatkan sumber daya literasi dalam kehidupannya. Hingga predikat sebagai petani bukanlah suatu kondisi yang inferior.

Menjadi Berdaya dengan Pengetahuan

Kehendak melakukan transformasi kultur agraris mesti dikerjakan melalui pencerahan yang tiada henti dari para ‘penyuluh’. Penyuluh dalam konteks ini, ialah pribadi dan kelompok yang menyalakan aksi literasi sebagai alat transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pendampingan petani atau desa pertanian yang selama ini berimpak dependen, sudah seharusnya dipicu menuju kemandirian.

Lewat pembukaan ruang baca dan akses informasi berbasis TIK, masyarakat agraris dibentangkan referensi perihal bagaimana ia terinspirasi dalam mengembangkan pertanian. Sumber bacaan yang dimaksud tidak saja mengenai cara bertani dan dalam bentuknya yang tutorial semata, tetapi juga bacaan yang membuka imajinasi mereka tentang inovasi apa yang hendak mereka terbitkan secara kontekstual. Tentunya dengan stimulan dari para fasilitator literasi.

Pada titik tertentu, literasi lokal akan berjalan secara khas dalam responnya terhadap narasi global. Globalisasi ataupun modernisasi bisa saja mempengaruhi masyarakat agraris melalui TIK, tetapi pengunaannya berada dalam narasi lokal yang berlaku. Sebuah teknologi memang disatu sisi membuka keran demokratis dan kesempatan pasar tradisional, tetapi juga sebaliknya, serta menghadirkan dampak-dampak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tetapi bagi mereka yang percaya kekuatan pengetahuan, punya kesempatan merangkai kehidupan yang lebih baik tanpa menggusur kearifan lokal.

Disini, mereka tidak lagi menerapkan kemampuan membaca ala kadarnya. Sehingga sistem bertani mereka tidak hanya terpacu pada aspek teknologis dan demi kepentingan praktis semata –sebagai isyarat percepatan- tetapi terdorong untuk menyegarkan (membebaskan) diri dan turut mereproduksi pemaknaan ihwal pertanian. Karenanya membaca untuk kesejahteraan hanyalah bagian awal untuk berdaya, selangkah untuk berdaulat dalam pertanian.

Selagi pengetahuan menjadi modal penting industrialisme di abad ini, tidak berarti pengetahuan adalah milik mereka yang bermodal (kapitalis). Sebab itu, praktik manajemen pengetahuan (knowledge management) hendaknya tidak hanya berlangsung di perusahaan dan lembaga yang mapan. Tetapi juga, knowledge sharing terbangun dalam komunitas petani melalui ruang (perangkat) literasi yang diasuh oleh pegiat literasi, sehingga kehidupan bertani dan kearifannya berbasis pengetahuan teks dan kontekstual (kultural).

Disamping itu, “knowledge is power” seyogyanya terlepas dari instrumen hegemonik kala pengetahuan terakses secara merata, baik kalangan industriawan maupun kaum tani. Tugas ini harus dimainkan dalam praktik literasi yang berikhtiar proporsional dan ideologis. Dalam salah satu bentuknya yang khas, literasi pada konteks industrialisme -yang acapkali inheren dengan kapitalisme- adalah kemampuan menerapkan ecoliterasi untuk merawat ekologi. Dan agroliterasi membimbing masyarakat agraris. Darinya, literasi tidak bertabiat antroposentris atau egosentris karena berpengetahuan (knowledgeable), melainkan menerbitkan kebijaksanaan menghormati ekosistem dan harmoni alam, yang sebenarnya juga dipertahankan selama ini melalui pengetahuan lokal (tradisi).

Sinyal yang ditunjukan akhir-akhir ini oleh beragam gerakan (pegiat) literasi yang mendatangi akar rumput dan melejitkan literasi dasar, memancarkan kesadaran pentingnya suplai pengetahuan untuk pemberdayaan masyarakat agraris. Kabar baik itu direspon dengan kebijakan Presiden Indonesia melalui pengiriman buku gratis pada setiap tanggal 17. Dan baru-baru ini di Perpustakaan Nasional, Presiden mendorong agar dana desa dialokasikan untuk pembangunan perpustakaan desa. Prasyarat ini menjadi langkah baru untuk membangun pemerataan akses pengetahuan di negeri agraris.

Yang Muda yang Bertani

Tak salah bila masa kini disebut era pengetahuan. Inovasi teknologi yang memanjakan tercipta berkat pengetahuan. Dalam banyak negara maju, teknologi pertanian sudah sangat mengefisienkan kerja serta meningkatkan efektifitas produksi. Sentuhan mereka pada kultur agraris berbasis riset, dengan memanfaatkan data-data yang diperoleh untuk mengolah lahan pertanian. Sehingga kemampuan yang dimiliki tersebut pada dasarnya ditopang oleh pengetahuan (pendidikan).

Bangsa ini memiliki banyak ruang strategis melakukan riset pertanian, yang ditandai dengan eksistensi lembaga penelitian, kampus, fakultas dan jurusan pertanian. Hanya saja seberapa besar lulusan pertanian bergiat langsung dengan kerja pertanian, cenderung sangat minim. Terlebih bahwa adanya keengganan melakoni pekerjaan itu, disebabkan oleh paradigma dan nuansa yang menempatkan petani sebagai suatu kondisi yang ‘sederhana’. Bahkan pekerjaan tersebut kerap dianggap kalah, manakala seorang yang berpendidikan akhirnya bertumpu pada kerja fisik dan menggarap ladang.

Dalam konteks pendidikan, kesan minor bidang pertanian sudah terhitung sejak pendidikan dasar. Imajinasi kultural (pertanian) yang sering muncul dalam pelajaran bergambar anak-anak, seringkali terhapus saat cita-cita mereka ditawar dalam ilustrasi yang tak menampakkan profesi di bidang pertanian. Seolah tak etis jika petani disandingkan dengan guru, polisi, tentara, dokter dan profesi lainnya yang bermodalkan ijazah pendidikan tinggi. Yang belakangan turut merayu para pelajar hijrah dari tumpuannya, yakni bertani. Asumsinya, warisan tanah dan etos bertani tak cukup menjanjikan masa depan yang cerah.

Saat kebutuhan pangan mendesak, mereka pun memaklumi pestisida sebagai jalan keluar mengatasi hama dan memperoleh hasil yang maksimal. Seiring dengan itu, pengetahuan lokal dalam bertani kian tergusur oleh industri pupuk yang tak alami. Pertanian alami justru ditinggalkan karena tak sanggup bertahan dalam dilema ekonomi yang krusial.

Minimnya inovasi bertani yang dimiliki, dibayangi  kondisi yang tak berdaya. Itulah kemudian para pemuda di desa, dengan memanggul pengetahuan terbatas, memilih jalur urban menuju kota industri. Lalu menjadi buruh sebagai pilihan yang diterka realistis. Pengaduan nasib yang tak menuai hasil maksimal di luar desa, kerap memanggil untuk memikirkan ulang pertanian. Dan hanya sedikit dari pemuda yang kembali ke desa yang mampu berinovasi di sektor pertanian.

Maka, keadaan demikian urgen ditanggapi dengan rekonstruksi cara pandang. Di tengah menipisnya kaum muda dalam sektor pertanian, tepat bila para insinyur dan sarjana pertanian berbondong-bondong memasuki kehidupan pertanian. Tentu dengan terlebih dulu menyiapkan transformasi diri dengan IPTEK. Kiranya dengan tenaga-tenaga muda yang literat-pembelajar, kedaulatan pangan dan pertanian dapat tercapai. Dengan elegan mereka seterusnya mengajak masyarakat kembali ke alam dan merenungkan kealaman. Sembari memupuk perbincangan kritis dan eksploratif tentang agraria dan ekologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *