Rie rie, seorang pekerja asing berusaha menggeser paradigma perihal buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong. Di sela-sela kesibukan rumah tangga yang dibebankan kepadanya, ia memanfaatkan waktu yang sedikit untuk menulis di blog. Kadang menulis sesuatu diwaktu sedang masak atau mengurusi yang lain. Selain Rie rie, ada pula BMI yang lain, yang justru harus menyembunyikan catatan agar tidak ketahuan majikan. Mereka seolah berjibaku dengan aktivitas yang padat.
Jauh dari pada itu migran asal Indonesia di Hongkong membentuk kelompok menulis dan membuka lapakan buku setiap akhir pekan di ruang publik. Ini mengisyaratkan bahwa babu bukan berarti tak berpikir maju dan berwawasan. Ada semacam kesadaran bahwa mereka membutuhkan pengetahuan yang luas dan kemampuan berbahasa agar berdaya di negeri rantau.
Cuplikan narasi diatas diterangkan dalam Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial oleh Pratiwi Retnaningdyah. Pratiwi menelaah istilah babu atau buruh migran yang kerap dianggap pekerjaan rendahan, didekonstruksi lewat medium teks. Lewat akun blog Babu Ngeblog yang dimiliki Rie rie, ia bercerita tentang keseharian sebagai pembantu tumah tangga di Hongkong. Posisi subordinat yang lekat pada istilah babu dilawan dengan praktik literasi yang menggugah. Inilah sebuah praktik dimana literasi menjadi energi ideologis.
Dalam buku yang sama, Sofie Dewayani pun menunjukkan bagaimana komunitas anak-anak jalanan terjamah nuansa literasi. Literasi digerakkan dalam kultur yang melingkupi. Olehnya proses yang digiatkan mendayagunakan teks kultural (Dyson). Salah satu metode yang tergambar ialah mengacu pada perspektif Lev Vygostky, yakni pengetahuan lokal-aktual personal (anak-anak) menjadi respon dan titik anjak pegiat literasi (guru) untuk memacu potensi secara proporsional. Pendampingan literasi demikian menjadi ilustrasi pengunaan daya (literat) menjadi medium untuk mengembangkan habitus atau komunitas (Boerdieu).
Buku ini pun menawarkan pijakan reflektif untuk mengeksplorasi literasi lokal. Praktik literasi yang dinarasikan oleh Pratiwi dan Sofie menjadi contoh bagaimana literasi beradaptasi dan terintegrasi kedalam stuktur dan kultur yang unik. Senada dengan Pahl dan Rowsell, mereka menjelaskan perlunya jalinan yang berkelindan pada praktik literasi informal sebagai bagian dari pendidikan formal. Yang tentunya mengisyaratkan agar lembaga pendidikan formal memberi jalan kepada peserta didik menggali potensi (karakter) lewat akses literasi yang tersedia di luar sekolah.
Respon mereka terhadap gerakan literasi juga tak pelak menyentak pegiat literasi agar bergerak lebih jauh. Kala gerakan literasi sedang semarak pada pemenuhan akses (ruang baca) dan penumbuhan membaca secara fungsional, justru ajakannya memantik kita untuk menjadikan literasi sebagai alat pembebasan dan melejitkan kualitas hidup masyarakat. Tak hanya berpacu dalam kampanye gerakan membaca (literasi) otonom, dan tidak dengan cara mekanistis. Refleksinya, literasi ideologis bergerak secara dinamis dalam merespon identitas, lokalitas dan kebutuhan masyarakat.
Literasi Lokal
Aksi literasi yang terintegrasi dalam lokalitas sudah saatnya diaktualisasikan. Literasi disini sekedar berkutat pada literasi dasar. Ini mengartikan bahwa teks (pengetahuan tercetak) bukanlah instrumen yang selalu mengemuka (dominan). Sebab jika literasi dipahami dalam makna yang agak luas, maka pegiat literasi dapat memerankan kemampuan literasi. Artinya ia adalah teks yang cair, sebuah upaya menerjemahkan teks dalam gerakan yang adaptif dan dinamik. Namun person (pengetahuan lokal) semacam itu hendaknya mampu memberikan pengaruh dan sanggup menciptakan pemberdayaan yang berkesinambungan. Tentu karena ia berangkat dari teks, maka sepantasnya untuk terus memadukan pengetahuan teks dan kultural.
Berdasar itu, literasi lokal bukanlah seberapa tekunnya merengkuh makna dari teks. Saat kita berbicara dalam konteks masyarakat agraris, maka literasi bisa saja berkonsep agroliterasi dan memungkinkan bergerak simultan dengan ecoliterasi. Tumbukan itu akan senantiasa dipercakapkan agar memadukan kehidupan yang egaliter. Tanpa ketimpangan, literasi lokal bergerak pada kearifannya yang khas. Antara rasio dan spirit menjadi harmoni. Kalaulah harmonisasi itu berlanjut maka barangkali literasi menjadi budaya. Itu seperti yang dikatakan dalam buku diatas, bahwa suatu saat kala cara pandang literat mempengaruhi pola pikir dan sikap hidup bangsa, maka Indonesia tak lagi merasa perlu melantangkan istilah literasi.