Mulanya perdebatan riuh saat seorang netizen menampilkan foto pekerja yang memotong besi jembatan di grup Facebook Massenrempulu. Bagi yang tak memiliki kisah dan cerita dari pendahulu akan jembatan itu, sekilas akan mengabaikannya. Namun iringan keterangan gambar yang menerangkan seluk beluk jembatan tersebut, akhirnya mampu menjadi objek diskusi yang menyita perhatian banyak penghuni grup. Tak ayal, argumen pro dan kontra perihal foto itu tak terelakkan. Keterbukaan berkomentar di media sosial juga tak dapat dibendung.
Jembatan yang dimaksud ialah Lindeteves-Stokvis (Jembatan Gantung) Enrekang, atau orang di kota Enrekang menyebutnya Jambatang Bassi (Jambas). Muncul pendapat netizen bahwa jembatan tersebut merupakan peninggalan sejarah zaman pendudukan Belanda (1920). Dan merupakan satu-satunya benda dari zaman kolonial yang masih bertahan. Di media online bahkan menyebutkan jembatan itu masuk dalam Arsip Nasional.
Sementara respon netizen lainnya, bahwa jembatan itu sedianya diperbaiki (rebab) agar tetap terpelihara. Tak hanya warga, media pun menyasar konfirmasi pemerintah, yang akhirnya mengundang Balai Cagar Budaya Provinsi Sulsel untuk melirik jembatan itu. Pada kutub pemerhati benda sejarah, jembatan ini dianggap sebagai ikon dan memaktub nilai kesejarahan. Disamping masih digunakan sebagai akses berjalan kaki, karenanya dianggap masih fungsional. Lewat aliansi pemerhati, mereka menyuarakan penolakan karena dinilai telah mengabaikan UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Terutama bahwa pemotongan besi jembatan justru akan menggeser keasliannya.
Objek perdebatan tersebut selanjutnya memantik warga menyorot jembatan secara dekat. Bagian-bagian Jembatan Lama ditampilkan kondisinya secara detail. Ada yang menganggap besinya masih kuat untuk menahan beban. Pendokumentasian ini merupakan langkah kongkret warga berpartisipasi dalam mengawal proyek pemerintah. Lewat media sosial, foto-foto jembatan dibagikan dan berbagai elemen turut mengomentari. Hingga, salah seorang kawan -yang kemudian serius mengawal masalah ini- menanyakan arsip foto jembatan itu di lembaga kearsipan formal, yang sayangnya tidak tersedia. Bagaimana pula jadinya jika di lembaga kearsipan pemerintah ternyata memiliki arsip tersebut, beranikah para arsiparis mengambil posisi netralitas dan bebas nilai ? Karena dalam posisi demikian, arsip bisa berfungsi sebagai ‘pengingat’ (refleksi) sekaligus alat hegemoni-kuasa pengetahuan.
Alternatif menelusuri status jembatan diatas tidak hanya berpegang pada tuturan sejarah dari pemerhati. Sebab bentuk lain yang tak kalah antusiasnya, kala warga menunjukkan tautan (link) arsip gambar jembatan lama. Arsip jembatan tersebut dapat ditemukan dan diakses di internet, misalnya termuat di situs Wikipedia.com dengan kata kunci Enrekang, lengkap dengan sumber arsip yang berlokasi di Tropenmuseum (National Museum of World Cultures), Amsterdam.
Penelusuran arsip ini lantas menguatkan aspirasi aliansi yang menolak pembongkaran. Sebab nilai arsip mampu menopang argumen dan kegiatan kritis warga. Suara-suara minor dan masyarakat setempat yang peduli pada jejak atau benda bernilai sejarah, selanjutnya menjadikan arsip sebagai titik anjak gerakan. Lazimnya, orang bilang arsip adalah nyawa suatu identitas bangsa, budaya atau lembaga/komunitas.
Harry Bawono dalam artikelnya Suara Lirih Komunitas dan Aktivisme Ke-arsip-an, menggemakan pentingnya arsip sebagai narasi tandingan kelompok marjinal. Bawono menganggap kearsipan yang bermain pada hal teknis-adminsitratif semata, kurang mampu merespon isu-isu strategis, misalnya pada aspek sosial dan budaya. Untuk itu apa yang disebut archival activism atau arsiparis warga (Flinn dalam Bawono) adalah bentuk pengarsipan yang dioperasikan oleh suatu komunitas. Aktivisme berbasis arsip (communit based-archives) ini memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Efeknya bisa menyurutkan pemegang kebijakan (development) hingga menarik langkahnya.
Karenanya pengarsipan tidak saja digiatkan oleh lembaga formal. Proses pengarsipan dapat dikerjakan oleh siapa saja. Perkembangannya, banyak insan media dan komunitas turut menggeluti arsip. Seperti yang digawangi oleh Muhidin M Dahlan di Warung Arsip Indonesia Buku, merawat benda-benda yang memuat nilai/unsur kesejarahan dalam berbagai medium. Terlebih bahwa kerja pengarsipannya tidak hanya berkutat pada hal administatif dan kerja teknis semata. Lebih jauh, arsip dapat diberdayakan sebagai refleksi sosial, politik, kultural dan diseminasi pengetahuan.
Di abad yang menerbitkan kecanggihan teknologi media, arsip digiatkan dalam bentuk yang semakin variatif. Ambillah misalnya yang dikerjakan oleh Kompas. Koran nasional ini secara harian menerbitkan arsip liputannya yang berkenaan dengan momen hari itu di halaman sampul. Barangkali modelnya dapat kita istilahkan menghidupkan arsip. Pada internet (new media) seperti Wikilekas, Blog, Facebook dan sejenisnya, juga menawarkan ingatan (arsip) status dalam bingkai kenangan hari ini yang dapat kita bagikan. Suatu inovasi kolaboratif antara medium ekspresi dan ingatan.
Tak pelak, kehadiran medium mengarsip yang atraktif di tengah masyarakat mendorong warga merawat peristiwanya. Semua ini terwadahi dalam komputasi awan, digital, maupun tercetak. Entah distimulasi karena budaya pop-up (swafoto) dan gaya hidup ataupun desakan mengangkat narasi tandingan, seperti soal Jembatan Lama Enrekang diatas.