Di Hari Kartini Saya Membaca Pancaitana Bungawalie’



Dering ponsel pagi itu memancing saya mengucek mata. Pemberitahuan (notification) yang masuk di akun Facebook saya, seakan berkejaran mengisi tempat di ponsel. Demikianlah di kampung ini, jaringan berlari tak tentu. Suatu kali tiba masanya, jaringan menjadi kencang, seperti pagi ini. Dan saat kabut masih senangnya menampilkan parasnya yang sejuk. Saya melangkah ke bale-bale halaman rumah dan menuntaskan rasa penasaran yang menumpuk. Rasanya tumpukan pemberitahuan yang setiap hari masuk, seperti kejutan-kejutan yang tak habis-habisnya menyita waktu. Selalu membuat saya suntuk dan tak hirau cahaya matahari mulai membakar kulit saya.

Baiklah, saatnya membuka Facebook. Yang selalu manja dengan pertanyaan tentang yang saya pikirkan. Kuusap layar ponsel dengan jari sembari membacai pemberitahuan dan status para facebooker. Topik tren hari ini, tanggal 21 April 2017, ternyata penuh dengan keriuhan selamatan Hari Kartini.

Kekuatan menulis R.A Kartini adalah senjata yang menggetarkan jiwa nusantara. Lewat Armin Pane dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, aktivitas korespondesi R.A Kartini termuat. Hingga sastrawan tersohor Pramoedya Ananta Toer membukukan peristiwanya. Kalau kita ingin membaca kisah Raden Ajeng Kartini, juga sangat mudah menemukan referensinya. Kini banyak tersaji di dalam jaringan (online).

Saya turut berucap selamat, tentu hanya dengan menyukai status-status facebooker yang menyertakan wajah Raden Ajeng Kartini (1878-1905). Saya menduga momen ini sama meriahnya pada Hari Bumi (22 April 2017). Fotonya yang viral seharian mengantar pikiran saya pada nama Pancaitana Bungawali’e. Nama yang tidak serta merta tertuju tanpa alasan, sebab kabar tentang pejuang wanita Enrekang yang satu ini telah menyita perhatian saya sejak tahun 2015 dalam sebuah buku.

Lantas kubawa diriku masuk ke ruang tamu, dan mengambil buku (photocopy) berjudul Jejak Perjuangan Para Raja di Kabupaten Enrekang : Tandu Mataranna Enrekang (2003). Sebenarnya, penulis Hj. Buapala (Hj. St. Rahmawati, A.Ma.Pd) dimuka sampul melarang menggandakan tanpa seizinnya (penyusun), tapi saya mengabaikan peringatan itu. Karena saya awam perihal sejarah Enrekang, termasuk Pancaitana Bungawali’e, maka kuputuskan untuk mencetak salinannya. Ditemani rasa penasaran, buku itu saya gunakan untuk tujuan yang edukatif. Dan memang diharapkan terbaca, sebagaimana rekoemndasi Seminar I dan Bedah Buku ini (29 Agusutus 2004) mengajak masyarakat memahami budaya Massenrempulu dan meningkatkan minat baca.

Seumpama kehausan, buku itu saya teguk dan membacanya pelan-pelan. Sekilas profil Pancaitana Bungawali’e dalam halaman 16 dan 17 memancing saya berimajinasi akan kisahnya. Di buku itu Pancaitana Bungawali’e (1878-1915) dihadirkan sebagai perempuan bertahta ratu dan menggantikan ibunya We Tonang Arung Enrekang sebagai pemimpin kerajaan Enrekang. Gelar Arung Enrekang XI melekat pada dirinya oleh penobatan pemangku adat Ada Sapulo Kore di Enrekang. Terkait Ada Sapulo Kore, Hj. Buapala merujuk Gevens Over Land En Volk Van Enrekang karya Tideman G.A yang juga bisa diunduh di Perpustakaan UI (lib.ui.ac.id).

Pancaitana Bungawali’e memang tidaklah sepopuler Raden Ajeng Kartini. Namun keduanya berjuang atas nama ibu pertiwi. Keduanya terlahir sebagai putri bangsawan (selisih kelahiran keduanya beda satu tahun) yang ditakdirkan berjuang dijalurnya masing-masing. Kalau R.A Kartini berjuang atas nama emansipasi yang memantik kebangkitan perempuan pribumi di masa kolonialisme Belanda. Maka Pancaitana Bungawali’e ditakdirkan menjadi pemuka kerajaan dan berjuang dalam perang fisik melawan Belanda. Perjuangan Pancaitana Bungawali’e Arung Enrekang surut kala terdesak oleh suaminya dan anggota adat menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) Belanda pada tahun 1906. Namun, semangatnya mengusir penjajah tetap dilanjutkan oleh para pejuang lainnya.

Selain perjuangannya di medan perang, minat saya terpicu pada ulasan tentang Pancaitana Bungawali’e yang gemar membaca di waktu luangnya. Sekiranya terdapat referensi yang menguatkan ulasan tersebut, hal ini dapat dieksplorasi sebagai inspirasi. Dan kiranya ini tepat dihadirkan pada refleksi Hari Buku Sedunia (23 April 2017). Menurut Hj. Buapala, Pancaitana Bungawali’e telah membaca Lontara dan Kronik La Galigo. Disitu ia mempelajari petuah Pau-Pau Rikadong dan Meong Palo Ti Karallea. Ia belajar membaca dan menulis aksara bugis atas tempaan ibundanya. Tentang kemampuan Pancaitana Bungawali’e mencipta puisi, juga dilukiskan Hj. Buapala dengan Elong Ngosong.

Bentangan informasi Hj. Buapala, menerangkan bahwa di masa itu, kerajaan Enrekang telah mengenal bacaan. Bahkan kisah La Galigo yang tersohor menjadi santapan ratu perkasa. Namun apakah naskah Lontara dan Kronik La Galigo tercetak dalam aksara Bugis? Kiranya juga akan mengonfirmasi teknik dan alat percetakan pada masa itu. Boleh jadi saat itu kerja pengarsipan telah dilakukan atau terdapat ruang pustaka dalam kerajaan, dimana Lontara tersimpan.

Hal ini menyodorkan dua hal penting yakni keberaksaraan telah mengisi kehidupan (kerajaan) Enrekang masa itu, dan tentu saja kelisanan melalui puisi atau pepatah (penyemangat) adalah tradisi yang menyertai perjuangan. Disamping bahwa masuknya Belanda dan sistem (pendidikannya) yang berlaku, barangkali perlahan menggeser aksara Bugis, beralih pada aksara latin. Jejak keberaksaraan ini akan terlihat jika narasi konteks sosial-budaya lebih kaya. Catatan ini bisa saja keliru, namun sekaligus menjadi lapangan kerja baru bagi para pengkaji dan peminat sejarah untuk mendalaminya.

Selain itu, pencatatan yang dikerjakan Hj. Buapala ini sesungguhnya bagian dari kesadaran untuk melestarikan sejarah perjuangan. Sekalipun terbitan ini masih ditemukan banyak kekurangaan, saya menganggap buku ini mengisi kedahagaan masyarakat yang terputus dari tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan sejarah dan budaya. Disamping kita bisa membaca karya Mohammad Natsir Sitonda Pancaitana Bungawali’e: Perjuangan Rakyat Maiwa, Enrekang, Duri Melawan Kolonilisme Belanda (2013). Saya pun merasakan jejak perjuangan Pancaitana Bungawali’e terpanggil kembali, baik karena nuansa Hari Kartini maupun refeleksi atas Hari Buku Sedunia.

Pancaitana Bungawali’e diabadikan menjadi nama jalan yang berdekatan dengan sekolah-sekolah dan perpustakaan, tepat di jantung Enrekang. Untuk itu saya mengucapkan selamat membaca Pancaitana Bungawali’e.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *