Itu Hanya Teori ?

Suatu teori terbukti berimplikasi. Kita telah menyaksikan sendiri, bagaimana teori mampu membuat seseorang menjadi fanatik, yakin dan berdaya. Tentu efeknya tidak beroperasi secara cepat, tetapi ia terserap sebagai spirit untuk berikhtiar atau teraktualisasi. Ada proses yang bergerak. Itulah mengapa banyak orang yang takut akan tumbuhnya suatu pemikiran yang dianggap meresahkan. Teori yang beraroma subversif, tidak akan diberi jalan untuk terbaca. Dan bagi yang membacanya, bersiap-siaplah untuk dicap sebagai oposisi.

***

Mungkin kita pernah mendengar sentilan karena berteori.

“Ah, teori ji saja,” enteng Sang Pengucap. Begitu contoh sentilan yang mulai ramai kita dengarkan.

Mendengarkan ucapan “teori saja”, sebenarnya penting untuk menyimak siapa pengucapnya. Sama pentingnya mengetahui konteks ucapannya. Agar tak salah menafsir.

Saya agak ragu, bagaimana mungkin orang yang berpendidikan mengeluarkan ungkapan sinis. Yah, saya katakan sinis, karena menghakimi teori dengan emosional. Coba kalau berpikir jernih, pasti sinisme itu tak terpeleset. Kalimat seperti ini tentu saja membuat baper. Dosen yang pekerjaannya menyampaikan teori, kala mendengarnya akan tersinggung. Kecuali kalau dosennya bijaksana, mungkin menyungging senyum. Bisa juga balik menyerang lewat tulisan. Anggaplah seperti tulisan ini. Lalu menghantam Sang Pengucap dengan bahasa ilmiah.

Sinis itu sepertinya telah diserap dengan serampangan oleh banyak orang. Lucu kalau misalnya mahasiswa pascasarjana ikut-ikutan menggunakan jurus itu. Pengalaman ini saya dapati di beberapa tempat. Bagi saya, tempat yang haram untuk kalimat sinis yaitu sekolah (kampus) dan perpustakaan. Eh, tak disangka masih ada juga yang membuang sinis disitu. Ironinya karena keluar dari mulut kaum terdidik.

Banyak juga yang curhat di media sosial. Biasanya mengkritik orang yang katanya hanya tahu berteori. Padahal berteori itu suatu kerja. Bentuknya kerja konstruktif. Menyudutkan teori sama dengan mempertanyakan eksistensi lembaga belajar dan orang-orang yang berpikir didalamnya. Nyatanya, motif sinis tersebut tertuju kepada respon subjek yang berteori, bukan berbentuk kritik atas topik atau teori yang tersampaikan. Apa gunanya pula sinis pada suatu teori ?

Rasanya tak adil, menyudutkan dinamika berpikir manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *