Menjalani libur dengan membaca esai memang menyenangkan. Apalagi kalau menikmatinya tanpa gangguan yang berarti. Sehari lahap, rasanya bahagia. Pada kondisi seperti itu, saya akan terhasut membuat monumen. Tentu dengan cara mengulas hasil bacaan. Lalu anda membacanya.
Untuk akhir-akhir ini saya lebih memilih mengeja banyak esai. Bukan karena tidak sanggup menuntaskan buku-buku tebal yang baru saya beli, seperti Sejarah Estetika karya Martin Surjaya. Tapi itu saya pilih karena ingin menikmati hentakan-hentakan esai. Genre atau tulisan pendek yang selalu membuat saya penasaran. Di sela-sela menata pustaka, pun saya berusaha menyempatkan membaca esai.
Ada tiga buku yang sengaja saya siapkan untuk berakhir pekan. Yang pertama saya baca adalah Mencari Setangkai Daun Surga karya Anton Kurnia. Buku yang saya pinjam secara sepihak dengan status sebagai penata (muda) pustaka di Perpustakaan. Sinopis dan daftar isinya telah memancing saya membawanya. Tapi akan kembali di posisinya semula. Begitulah janjiku sebagai penata pustaka; membaca adalah untaian kesyukuran. Buku yang lain, datang dari Makassar, judulnya Telinga Palsu, kumpulan esai penulis lokal di Koran Tempo Makassar. Dan untuk menggenapi penasaran saya terhadap penulisan esai, saya memesan buku Inilah Esai : Tangkas Menulis Bersama Pesohor Karya Muhidin M. Dahlan.
Selain buku, sebetulnya ada satu benda yang tak pernah lepas dari genggaman. Tidak mengenal libur apalagi akhir pekan. Namanya smartphone. Saat ia berbunyi, maka teralihlah perhatian saya. Dan entah kenapa sering menghentikan saya membaca buku. Sebenarnya tidak ada masalah. Karena ketika menjelajah di internet atau membuka tautan di media sosial, saya pada akhirnya melahap esai-esai di situs populer. Aktivitasnya sama, tetap membaca tapi pada medium yang berbeda.
Kala ada situs yang punya kolom esai, itu menjadi sasaran. Biasanya saya tahu sebuah tulisan itu esai, kalau laman situs membilangkan dirinya esai. Itu intens saya pantau. Dan hampir setiap hari ada saja tautan-tautan esai yang memanggil untuk dibaca. Memang selalu menarik.
Kadang saya berpikir, apakah saya sebagai pembaca (netizen) sunguh-sungguh akan membaca esai setiap hari. Itu kalau hanya ada satu situs, bagaimana kalau mengikuti banyak. Yang semuanya menggugah untuk dibaca. Yang pasti saya tidak bisa menambah libur karenanya. Karena waktu libur saja telah disitanya. Maka saya sering tak punya jeda dan kesempatan mengambil nafas (refleksi) atas ketakjuban berbagai esai. Kecuali memaksa diri sejenak menyimpan smartphone. Namun cara ini terbilang aneh untuk zaman ini. Meskipun cara itu kadang membantu saya menyerap udara segar (makna) pada kondisi tertentu. Tapi akhirnya tidak sanggup berpaling darinya dalam waktu yang lama.
Hasrat membaca yang tidak berhenti digoda, juga bikin saya gagal menulis. Seperti sebuah dilema, apakah saya memilih suntuk membaca atau mulai menulis. Justru saat tugas menulis adalah kewajiban, saya mengabaikannya karena asyik membaca. Kalaupun saya menulis seperti sekarang ini, itu karena hentakan esai, dan jelas bukan karena tugas. Bahkan tertundanya penelitian, saya klaim karena membaca.
Benar membaca akan menambah kaya rujukan, tapi yang saya lakukan bukan mencari literatur yang relevan sama sekali dengan penelitian. Itu sungguh membuat wisuda tertunda. Setiap membuka draft penelitian, saya merasa terbebani. Dan satu cara menghilangkan beban itu, yah membaca. Boleh jadi membaca untuk membaca adalah aktivitas ala hedonis. Aktivitas yang bersifat akademis, tapi menghiraukan aturan akademik. Yang karena larut dalam candu, saya akhirnya tertelan masa.
Bagaimanapun membaca bagi siapa saja kiwari ini adalah keniscayaan. Peradaban teks dengan rimba aksara atau informasi. Karena itu, esai yang saya serap setiap hari, boleh jadi bak udara yang musti diserap dan terhembus. Karena sirkulasi itu untuk menjaga kehidupan. Memberi kesegaran, tapi tergantung udara yang terhirup. Disamping itu, saya pun menggangapnya dunia keaksaraan sebagai teknologi-teknologi baru yang semakin canggih dan mengungkap banyak hal. Menjadi alat yang siap digunakan untuk membedah kedirian dan diri sosial.
Efek lain, itu juga yang menjebak saya untuk terus membaca. Realistisnya, sebagai pembaca, saya menuntut penulis menyiapkan sajian yang lezat setiap hari. Boleh jadi saya menjadi rakus membaca, dan mulai memaksa para penulis agar menerbitkan esai-esai yang nikmat.
Bekerja sebagai pembaca memang bukan profesi. Walaupun saya masih ragu, apakah seseorang yang setiap hari membaca dapat dikatakan sebagai pembaca. Bukankah menjadi pembaca itu berpotensi mengambil jarak dalam kelas sosial, sebagaimana bacaan masih sulit diakses oleh banyak orang. Namun aktivitas ini mulai memaksa kita untuk merayakan membaca. Dan kabar baiknya, gerakan membaca telah semarak di negeri ini, menjangkau pelosok negeri dengan berbagai moda dan modal untuk membaca.
Tentu dunia yang diisi oleh lautan infomasi setiap hari, menjadi ujian yang baru. Fenomena hoax yang menggelisahkan rezim dan masyarakat ternyata menjadi ujian. Ujiannya dijawab dengan membacalah!, dan dengan cara kritis dan analisis. Kalaulah hoax ini dilawan dengan tulisan yang berkualitas, tentu masih meminta pembaca yang literat.
Dan bagi saya, membaca esai cukup membantu saya menghindari hoax. Menghindari diri yang palsu.